“Kenapa si harus
Palestina? Mikir dong banyak kali rakyat Indonesia yang masih butuh bantuan.”
“Iya. Dari pada infaq
untuk mereka mendingan untuk negara sendiri.”
Rani dan Desta
menggerutu kesal saat Sari anak rohis SMA Pertiwi berjalan mendekati mereka. Langkah Sari terhenti tepat
di hadapan keduanya sorot matanya menampakkan kemarahan seakan ia tak terima
dengan pernyataan temannya. Gadis berjilbab panjang itu enggan untuk menanggapi
keduanya ia terus berjalan menjauh menyodorkan kardus aqua yang sudah di
bungkus sampul kopi, tertulis dengan jelas one
man one dollar to save Palestina dilengkapi dengan bendera Palestin dan
NKRI siapapun yang membacanya pasti akan tersihir dengan kalimat yang mereka baca.
“Lagi-lagi kita harus
infaq, mendingan gw kasih sama pengemis di lampu merah.” Cerocos Rani sembari
meleparkan senyum meremehkan.
“Kalau menurut gw nih
uang asikan buat beli mie ayam Mang Udin. Ketauan perut gw kenyang. Dari pada
infaq apa yang gw dapet.” Ucap Desta tak
mau kalah.
Suasana kelas menjadi
gaduh anak-anak yang tadinya diam ikut mendukung Rani dan Desta, semula hanya
satu dua orang yang berbisik namun kini hampir semua anak membicarakannya
seakan mereka memiliki opini
masing-masing untuk disuarakan. Melihat kelas menjadi gaduh Rani dan Desta
seakan membusungkan dada mereka berhasil mempengaruhi fikiran penghuni kelas.
Apa yang terjadi dengan keduanya, padahal dari atas sampai bawah tubuh mereka
tertutup, ya walaupun kerudung yang mereka gunakan tidak sampai menutupi dada
namun akhal dan sikap mereka bertolak belakang dengan pakaian yang digunakan.
Sari,
Deni dan Uni diam melihat apa yang terjadi, seakan sedang memberikan kesempatan
bagi teman-teman untuk mengeluarkan pendapat mereka. Dengan sabar ketiganya
menunggu sampai suasan kelas menjadi tenang kembali. Limat menit berlalu kelas masih juga gaduh, ucapan
buruk satu orang mampu meracuni hampir seluruh penghuni kelas. Sama halnya
dengan hati yang semula bersih melakukan satu keburukan maka ada satu noda
hitam yang melekat dalam diri, untuk menghilangkan noda tersebut pasti butuh
banyak perjuangan. Seperti halnya anak-anak Palestina yang berjuang dengan
nyawa mereka untuk membela kiblat pertama umat muslim, apa yang mereka hadapi
saat ini tak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan pengorbanan dan semangat
juang rakyat Palestina.
“Palestin
memang bukan siapa-siapa untuk kita, apa gunanya membela mereka. Toh negara
sendiri saja masih banyak yang membutuhkan bantuan.” Dengan tenang dan santai
Uni berbicara kalimatnya tersusun dengan rapih intonasinya pun tak gentar.
Padahal ia tidak sedang menghadapi teman-teman sekelasnya. Kelas yang semula
gaduh menjadi sunyi kembali kini semua pasang mata melihat ke arahnya, suara
kipas angin terdengar merobek kesunyian.
“Mengeluarkan
uang untuk mie ayam dan teh manis memang lebih nampol ketimbang mengeluarkan
uang untuk infaq yang tak ada rasanya.” Kini giliran Deni yang bersuara, sorot
matanya menatap tajam teman-teman yang ada di hadapannya.
“Tapi
apakah kalian tahu? Indonesia dan Palestina dua negara yang tak bisa di
pisahkan. Seperti halnya dua sisi mata uang. Keduanya seperti saudara yang
saling membutuhkan. Kakak yang selalu mendukung adik, dan adik yang selalu
mengharap lindungan kakak.” Sari menatap seluruh penghuni kelas, matanya
menyapu semua sudut ruangan tanpa ada satu pun yang luput dari pandangannya.
Rani
dan Desta saling melempar pandangan, keduanya tersenyum meremehkan ketiga
aktivis rohis SMA Pertiwi. Anak-anak yang semula enggan untuk mendengar mereka
kini seakan menanti kalimat apa yang akan keluar setelah ini.
“Kita
tidak butuh tau sejarah, udah gak zaman.” Sembari merubah posisi duduk Desta
berkata dengan judes.
“Sejarah
ada sebagai bukti nyata bahwa mereka pernah ada. Hanya orang bodoh dan tak
berakal yang berusaha mengubur sejarah. Kalau saja pada saat itu Palestin tidak
membuka suara tentang kemerdekaan Indonesia mungkin sampai saat ini kita akan
terus hidup dalam bayang-bayang penjajahan.” Dengan menggebu-gebu Sari berkata.
“Bermula
dari Palestina di saat negara-negara lain bungkam tak bersuara namun Palestin
berteriak lantang tentang kemerdekaan Indonesia. Pada 6 september 1944 melalui
radio Berlin berbahasa Arab Syekh Muhammad Amin Al-Husaini mufti besar
Palestina menyiarkan ucapan selamat beliau keseluruh dunia Islam. Perlu kalian
tahu dukungan beliau sudah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar
memproklamirkan kemerdekaan RI. Seorang saudagar kaya Muhammad Ali Taher yang
memiliki rasa simpati besar spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia
tanpa meminta tanda bukti bahkan ia berkata : “Terimalah semua kekayaan saya
ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia.” Sari menarik nafas sedih, sudut
matanya meneteskan air, seakan ia dapat merasakan suasan heroic pada saat itu. Teman-teman yang ada di hadapan Sari seperti
sedang memasuki lorong waktu yang mengantarkan mereka pada masa lalu.
“Entah berapa banyak hutang kita pada mereka?
Tentu tak ternilai walaupun semua kekayaan di bumi Allah kita bayarkan pada
Palestin tentu tidak akan cukup.” Dalam suara Deni terdengar getaran kesedihan.
Ia mengadahkan kepalanya menatap langit-langit kelas untuk menyembunyikan air
matanya.
Anak-anak
yang tadi mendukung Rani dan Desta kini berubah haluan bahkan mereka menitikan
air mata, Dewi yang duduk di bangku paling belakang sibuk mengusap matanya yang
terus menganak sungai.
“Lalu
apa yang dapat di lakukan saudara kita di Palestin ketika ia sedang membutuhkan
bantuan? Tetangga kanan, kiri, depan, belakang mereka tak bisa dimintai bantuan
karena mereka sama-sama sengsara. Apakah kalian tega dengan keadaan ini?”
“Sungguh
hanya manusia yang lebih rendah dari binatang yang abai dengan konfilik ini.”
Ajeng berteriak lantang, ia berdiri dari tempat duduknya. Semua pasang mata
langsung beralih menatap anak yang terkenal selalu melanggar peraturan sekolah.
“Gw setuju kita yang berhutang dengan Palestin dan saat ini saatnya kita
membayar lunas hutang tersebut.”
“Ingat
musuh-musuh Islam tidak akan tinggal diam untuk merusak fikiran kita, bahkan
dalam tidur mereka selalu menyusun strategi untuk mempecah belah muslim
diseluruh dunia.”
“Al-Aqso
kiblat pertama kita sedang dikepung oleh musuh Islam, bukankan Palestin banyak
melahirkan para Nabi dan Rasul. Bagaimana kita akan menjawab pertanyaan Allah
nanti tentang Palestin? Kalau saat ini saja kita abai dengan mereka”
“Bukan
masalah seberapa banyak uang yang kalian keluarkan, tetapi seberapa perdulikah
kita tentang kiblat pertama umat Islam.”
“Masalah
tidak mau menyisihkan sebagian rizki kalian kami tidak akan memaksa. Karena
nanti tanggung jawab ini akan kita pikul
masing-masing, semoga kalian yang masih ragu akan diberikan hidayah oleh
Allah.”
Setelah
panjang lebar Sari, Deni dan Uni menjelaskan tentang Palestina mereka berjalan
meninggalkan ruang kelas IX IPA 3. Konflik Palestin memang selalu menjadi isu
yang tidak akan ada habisnya, bahkan konon sampai menjelang kiamat pun Palestin
akan selalu menjadi tranding topik. Dari Palestin kita dapat belajar dunia hanyalah
tempat singgah sementara seperti layaknya musafir yang singgah sementara dari
waktu ashar ke waktu magrib. Tidak ada yang abadi di dunia
yang abadi hanyalah pemilik keabadian itu sendiri.
Tangerang, 18 Agustus 2017
Indahnya Melukis Hari
KECE Day 2
0 komentar:
Posting Komentar