Jumat, 18 Agustus 2017

Untukmu Palestina Tercinta






“Kenapa si harus Palestina? Mikir dong banyak kali rakyat Indonesia yang masih butuh bantuan.”

“Iya. Dari pada infaq untuk mereka mendingan untuk negara sendiri.”

Rani dan Desta menggerutu kesal saat Sari anak rohis SMA Pertiwi berjalan  mendekati mereka. Langkah Sari terhenti tepat di hadapan keduanya sorot matanya menampakkan kemarahan seakan ia tak terima dengan pernyataan temannya. Gadis berjilbab panjang itu enggan untuk menanggapi keduanya ia terus berjalan menjauh menyodorkan kardus aqua yang sudah di bungkus sampul kopi, tertulis dengan jelas one man one dollar to save Palestina dilengkapi dengan bendera Palestin dan NKRI siapapun yang membacanya pasti akan tersihir dengan kalimat yang  mereka baca.

“Lagi-lagi kita harus infaq, mendingan gw kasih sama pengemis di lampu merah.” Cerocos Rani sembari meleparkan senyum meremehkan.

“Kalau menurut gw nih uang asikan buat beli mie ayam Mang Udin. Ketauan perut gw kenyang. Dari pada infaq apa yang gw dapet.” Ucap Desta tak  mau kalah.

Suasana kelas menjadi gaduh anak-anak yang tadinya diam ikut mendukung Rani dan Desta, semula hanya satu dua orang yang berbisik namun kini hampir semua anak membicarakannya seakan  mereka memiliki opini masing-masing untuk disuarakan. Melihat kelas menjadi gaduh Rani dan Desta seakan membusungkan dada mereka berhasil mempengaruhi fikiran penghuni kelas. Apa yang terjadi dengan keduanya, padahal dari atas sampai bawah tubuh mereka tertutup, ya walaupun kerudung yang mereka gunakan tidak sampai menutupi dada namun akhal dan sikap mereka bertolak belakang dengan pakaian yang digunakan.    

            Sari, Deni dan Uni diam melihat apa yang terjadi, seakan sedang memberikan kesempatan bagi teman-teman untuk mengeluarkan pendapat mereka. Dengan sabar ketiganya menunggu sampai suasan kelas menjadi tenang kembali. Limat  menit berlalu kelas masih juga gaduh, ucapan buruk satu orang mampu meracuni hampir seluruh penghuni kelas. Sama halnya dengan hati yang semula bersih melakukan satu keburukan maka ada satu noda hitam yang melekat dalam diri, untuk menghilangkan noda tersebut pasti butuh banyak perjuangan. Seperti halnya anak-anak Palestina yang berjuang dengan nyawa mereka untuk membela kiblat pertama umat muslim, apa yang mereka hadapi saat ini tak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan pengorbanan dan semangat juang rakyat Palestina.

            “Palestin memang bukan siapa-siapa untuk kita, apa gunanya membela mereka. Toh negara sendiri saja masih banyak yang membutuhkan bantuan.” Dengan tenang dan santai Uni berbicara kalimatnya tersusun dengan rapih intonasinya pun tak gentar. Padahal ia tidak sedang menghadapi teman-teman sekelasnya. Kelas yang semula gaduh menjadi sunyi kembali kini semua pasang mata melihat ke arahnya, suara kipas angin terdengar merobek kesunyian.

            “Mengeluarkan uang untuk mie ayam dan teh manis memang lebih nampol ketimbang mengeluarkan uang untuk infaq yang tak ada rasanya.” Kini giliran Deni yang bersuara, sorot matanya menatap tajam teman-teman yang ada di hadapannya.

            “Tapi apakah kalian tahu? Indonesia dan Palestina dua negara yang tak bisa di pisahkan. Seperti halnya dua sisi mata uang. Keduanya seperti saudara yang saling membutuhkan. Kakak yang selalu mendukung adik, dan adik yang selalu mengharap lindungan kakak.” Sari menatap seluruh penghuni kelas, matanya menyapu semua sudut ruangan tanpa ada satu pun yang luput dari pandangannya.

            Rani dan Desta saling melempar pandangan, keduanya tersenyum meremehkan ketiga aktivis rohis SMA Pertiwi. Anak-anak yang semula enggan untuk mendengar mereka kini seakan menanti kalimat apa yang akan keluar setelah ini.

            “Kita tidak butuh tau sejarah, udah gak zaman.” Sembari merubah posisi duduk Desta berkata dengan judes.

            “Sejarah ada sebagai bukti nyata bahwa mereka pernah ada. Hanya orang bodoh dan tak berakal yang berusaha mengubur sejarah. Kalau saja pada saat itu Palestin tidak membuka suara tentang kemerdekaan Indonesia mungkin sampai saat ini kita akan terus hidup dalam bayang-bayang penjajahan.” Dengan menggebu-gebu Sari berkata.

            “Bermula dari Palestina di saat negara-negara lain bungkam tak bersuara namun Palestin berteriak lantang tentang kemerdekaan Indonesia. Pada 6 september 1944 melalui radio Berlin berbahasa Arab Syekh Muhammad Amin Al-Husaini mufti besar Palestina menyiarkan ucapan selamat beliau keseluruh dunia Islam. Perlu kalian tahu dukungan beliau sudah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI. Seorang saudagar kaya Muhammad Ali Taher yang memiliki rasa simpati besar spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti bahkan ia berkata : “Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia.” Sari menarik nafas sedih, sudut matanya meneteskan air, seakan ia dapat merasakan suasan heroic pada saat itu. Teman-teman yang ada di hadapan Sari seperti sedang memasuki lorong waktu yang mengantarkan mereka pada masa lalu.

             “Entah berapa banyak hutang kita pada mereka? Tentu tak ternilai walaupun semua kekayaan di bumi Allah kita bayarkan pada Palestin tentu tidak akan cukup.” Dalam suara Deni terdengar getaran kesedihan. Ia mengadahkan kepalanya menatap langit-langit kelas untuk menyembunyikan air matanya.

            Anak-anak yang tadi mendukung Rani dan Desta kini berubah haluan bahkan mereka menitikan air mata, Dewi yang duduk di bangku paling belakang sibuk mengusap matanya yang terus menganak sungai.

            “Lalu apa yang dapat di lakukan saudara kita di Palestin ketika ia sedang membutuhkan bantuan? Tetangga kanan, kiri, depan, belakang mereka tak bisa dimintai bantuan karena mereka sama-sama sengsara. Apakah kalian tega dengan keadaan ini?” 

            “Sungguh hanya manusia yang lebih rendah dari binatang yang abai dengan konfilik ini.” Ajeng berteriak lantang, ia berdiri dari tempat duduknya. Semua pasang mata langsung beralih menatap anak yang terkenal selalu melanggar peraturan sekolah. “Gw setuju kita yang berhutang dengan Palestin dan saat ini saatnya kita membayar lunas hutang tersebut.”

            “Ingat musuh-musuh Islam tidak akan tinggal diam untuk merusak fikiran kita, bahkan dalam tidur mereka selalu menyusun strategi untuk mempecah belah muslim diseluruh dunia.”

            “Al-Aqso kiblat pertama kita sedang dikepung oleh musuh Islam, bukankan Palestin banyak melahirkan para Nabi dan Rasul. Bagaimana kita akan menjawab pertanyaan Allah nanti tentang Palestin? Kalau saat ini saja kita abai dengan mereka”

            “Bukan masalah seberapa banyak uang yang kalian keluarkan, tetapi seberapa perdulikah kita tentang kiblat pertama umat Islam.”

            “Masalah tidak mau menyisihkan sebagian rizki kalian kami tidak akan memaksa. Karena nanti tanggung jawab ini akan kita pikul  masing-masing, semoga kalian yang masih ragu akan diberikan hidayah oleh Allah.”

            Setelah panjang lebar Sari, Deni dan Uni menjelaskan tentang Palestina mereka berjalan meninggalkan ruang kelas IX IPA 3. Konflik Palestin memang selalu menjadi isu yang tidak akan ada habisnya, bahkan konon sampai menjelang kiamat pun Palestin akan selalu menjadi tranding topik. Dari Palestin kita dapat belajar dunia hanyalah tempat singgah sementara seperti layaknya musafir yang singgah sementara dari waktu ashar ke waktu magrib. Tidak ada yang abadi di dunia yang abadi hanyalah pemilik keabadian itu sendiri.

Tangerang, 18 Agustus 2017
Indahnya Melukis Hari

KECE Day 2

0 komentar:

Posting Komentar

 

Melukis Hari dengan Kata Template by Ipietoon Cute Blog Design