Kamis, 17 Agustus 2017

Proposal Penikahan



            “Dimata mu tersimpan cinta yang suci
berawal dalam pernikahan dari beda dunia”

Alunan musik nasyid menggema seantero sudut menggetarkan hati siapa saja yang tanpa sengaja terbius suara nan merdu pemuda berusia sekitar 26, tubuhnya di balut jas bewarna putih gading sederhana namun memajaga penglihatan, jas pengantin warisan kakaknya yang sudah terlebih dahulu menyempurnakan diennya lima tahun silam.

“Duhai pendampingku akhlak mu permata bagi ku
Buat aku makin cinta
Tetapkan selalu janji awal kita bersatu
Bahagia sampai kesurga”

Sebenarnya cukup ganjal musik nasyid menggemakan kampung. Memangnya  kemana para biduan dangdut di kampung tersebut. Karna setiap kali pernikahan sedang berlangsung yang akan terdengar tabuhan gendang dan seorang biduan dibalut gaung seksi melenggok-lenggokan badannya tanpa dosa di depan para tamu undangan. Namun sepertinya tamu undangan yang datang untuk mendoakan terlihat menikmati suguhan musik yang ditampilkan tamu undangan malah akan kecewa kalau sampai ada biduan seksi pada pernikahan muda-mudi tersebut.

Pengantin wanita memandang lekat pria yang berada tepat di depan matanya, baginya lirik nasyid tersebut bukan hanya pelengkap kemanisan dalam pernikahan setiap insan tetapi seperti sebuah janji yang di ucapkan sehidup semati. Terbesit dalam fikirannya tau apa dia tentang cinta, bukankah sebelumnya ia tidak pernah mengenal cinta.

“Maaf aku jika tak bisa sempurna
Karna ku bukan lelaki yang turun dari surga
Ketulusan hati mu anugrah hidupku
Doakan langkah kita tak terpisah untuk selamanya.”

Butiran air memenuhi sudut pelupuk mata pengantin wanita saat mendengar lirik terakhir. Ia hanyut dengan biusan suara indah suaminya wanita mana pun akan merasa bahagia lelaki yang di tunggu-tunggu dalam hidupnya seromantis aktor kawakan Leonardo ketika bertransformasi menjadi Romeo. Dirinya tak menyangka ternyata pangeran bekuda putih yang selama ini diimpikannya hadir juga dalam hidupnya dengan takdir yang tak pernah terbesit dalam lamunannya.

***
Beberapa tahun silam.
Settingan berubah pada sebuah ruangan organisasi seorang gadis mengenakan kerudung hijau toska yang hampir menutupi sebagian dari tubuh mungilnya asik berbicara. Ia memiliki wajah standar orang asia, hidungnya cukup mancung, kulitnya hitam manis, tubuhnya tidak tinggi tidak pula pendek. Gadis tersebut sedang asik berbicara di depan teman-teman yang di dominasi laki-laki dan perempuan, matanya menyapu seluruh sudut ruangan sesekali tertuju pada barisan tempat duduk laki-laki, namun pandangannya akan berhenti lama pada barisan tempat duduk perempuan. Setiap kali dirinya berbicara pasti tangannya tidak bisa diam, nada bicaranya sedikit cepat namun kalimat yang diucapkan tetap teratur seperti banyak ide didalam kepalanya yang sedang mengantri untuk segera di ucapkan, semua orang yang ada di dalam ruangan menikmati presentasi yang sedang berlangsung, dengan beberapa kali anggukan dari teman-temannya tanda setuju dengan ide yang di paparkan olehnya. Kepercayaan diri yang tersirat dalam wajahnya menunjukkan bahwa ini bukan pertama kali dirinya berbicara di depan khalayak ramai, nyali dan kepandaiannya melebihi postur tubuhnya tak jarang teman-temannya akan fokus setiap kali dirinya berbicara.

“Kalau menurut ane lebih baik baksos tahun ini kita adakan langsung di TKP, buat suasan yang berbeda dari tahun-tahun yang lalu” Nina menyampaikan idenya.

“Ane setuju baksos tahun ini di adakan langsung di TKP”  Adit menyetujui ide yang di paparkan Nina.

“Berarti sehari sebelum acara kita harus ke TKP nyiapin semua keperluan yang di butuhkan” Timpal Rina yang duduk pada kursi barisan kedua.

“Saran ane yang ikhwan mabit aja di TKP gimana?”

“Ok ane setuju, supaya ga terlalu repot besok paginya.”

“Afwan ukhti Rina anti berarti langsung buat surat izin kegiatan diluar.”

“Ok teman-teman bisa di bilang persiapan sudah mencapai 95%, ada yang masih mau dibahas lagi?, kalau memang sudah tidak ada ane tutup syuro kali ini dengan membaca hambdallah, istigfar dan doa kafaratul majlis. Jazakallah perhatiannya Assalamualaikum Wr,Wb. Agung menyudahi kalimatnya.
***
            “Ukhti kalau presentasi santai aja dong” ledek Qarimah yang tangannya selalu tidak bisa diam setiap kali sedang berbicara dengan sahabatnya kali ini ia mendaratkan cubitan nakal di pipi Nina
“Aw sakit, jerit Nina yang langsung mengusap-usap pipinya “Tapi keren kan ide ane?” Nina tak mau kalah, gantian mencubit pipi sahabatnya.

“Rimah hari ini ane disuruh mampir kerumah umi, kira-kira kenapa ya?”, tanya Nina polos sembari terus berjalan menuju kantin “Cie cie ada angin apa nih umi nyuruh anti dateng kerumahnya” dengan tersenyum jahil Qarimah menyenggol bahu Nina, secara kompak keduanya menghentikan langkah mereka saat melihat tempat duduk kosong di kantin.

“Pastinya ada hal yang bikin anti senang setelah pulang dari rumah Umi” ucap Qarimah diplomatis dan segera berjalan menghampiri tukang bakso. Nina hanya mengangkat bahu dan memiringkan sedikit kepalanya.
***
Qiyamulai seakan menjadi cara yang ampuh untuk dirinya mendapatkan jawaban tepat dari sang Kuasa, setelah sholat tahajud dan di tutup dengan witir Nina langsung beranjak berdiri mengambil sesuatu yang dari kemarin sore menempati meja belajarnya, ia  bergegas duduk diatas sajadah dengan langkah yang sedikit kurang percaya diri. Seperti sedang menerima beban yang amat berat ia menghembuskan nafas dan menggigit separuh bibir bawahnya. Matanya terpaku pada sesuatu yang berada tepat didepannya, sebuah benda yang mengingatkan ia dengan percakapan kemarin sore bersama Murrobinya.

“Umi rasa kamu sudah cukup siap untuk melakukan proses ini Nin, ada ikhwan yang Umi rasa cocok untuk kamu”, ucap Umi Ida percaya diri. Nina hanya bisa mematung tak ada kata yang dapat menggambarkan rasa kagetnya tersebut. “Ingat Nin dari segi kafaah dan kemampuan kamu terlihat sudah siap untuk menjadi seorang isteri” Umi Ida hanya berusaha mencarikan jodoh terbaik untuk orang yang sudah di anggap seperti anaknya. “Orang di sekitar bisa menilai kita siap atau tidak untuk menikah, dan Umi rasa kamu sudah siap. Kenapa tidak dicoba” ucapan Umi Ida yang memantabkan dirinya membawa pulang proposal tersebut. Walau sebenarnya ia belum memikirkan menjadi istri orang.

Cukup lama Nina memantabkan hatinya, ia merasa dirinya masih fakir dalam ilmu terlebih lagi dengan umur yang terbilang masih muda segudang aktifitas dan impiannya belum dapat terealisasikan apakah semuanya harus ia korbankan demi sebuah pernikahan. Hal tersebut tidak dengan mudah bisa dijadikan alasan olehnya, mau bagaimana lagi ia tak berani menolak permintaan dari Murrobinya tersebut, orang yang sudah banyak berjasa untuk dirinya dalam negeri perantauan ini. Dengan mengucap basmallah dan rasa percaya diri yang dibuat-buat ia membuka proposal tersebut. Awalnya ia tidak teralu tertarik dengan profil sang ikhwan namun ketika dirinya terus membalik proposal tersebut mampu menyulutkan hatinya, wajahnya langsung memerah seprti kepiting rebus ia hanyut dengan segudang organisasi yang pernah diikuti oleh sang ikhwan. Satu dua kali ia mengucapkan kata “Subhanallah” ternyata si penulis mampu membuat Nina mengagumi visi misi yang menjadi alasan dibalik dirinya ingin menikah, Galih Ramadhan Nugroho penulis proposal yang di pegang Nina, Nina mengangguk-ngagguk dan mengucapkan nama ikhwan tersebut. Usia mereka terpaut 5 tahun, Galih memiliki pekerjaan di bidang arsitektur. Ternyata bukan pekerjaan dan kemapanan Galih yang membuat Nina kagum visi misi yang menjadi alasan dibalik dirinya ingin menikah itu yang membuat Nina kagum.

 Ada senyuman kecil yang tersungging di bibir Nina setelah membaca isi dari proposal pemberian Umi Ida kemari sore, seakan ia sudah menyiapkan jawaban yang akan di beritahukan kepada Umi Ida. Tetapi ia tetap harus meminta jawaban dari sang Ar-Rosyid untuk memupuk rasa yakin atas pilihannya.
***
Dua minggu berlalu waktu yang di berikan Umi Ida kepada Nina untuk mencari jawaban yang tepat dari Ar-Rahim, hari ini akan menjadi hari pertama dirinya bertemu dengan ikhwan yang akan menjadi pasangan hidupnya, karena memikirkan hal tersebut membuat Nina tidak bisa tidur dengan nyenyak tadi malam, bahkan ketika Umi Ida bertanya Nina memberikan jawaban yang tidak nyambung, mungkinkah akan seperti itu setiap orang yang sedang menjalankan fase taaruf? Otaknya akan berubah bodoh

“Jangan menampakkan rasa grogi kamu Nin, kalau seperti itu kamu terlihat seperti orang ling-lung” pesan Umi Ida yang duduk bersebelahan dengan Nina. Umi Ida menangkupkan tangannya di atas tangan Nina dan tersenyum ia berharap dengan caranya itu akan membuat Nina lebih tenang.

“Afwan Umi, Nina deg-degkan.” Timbal Nina dengan suara sedikit bergetar

“Kamu berdoa saja Nin, ga usah terlalu dirasakan karena Umi khawatir nanti kamu malah sakit perut, biasanya kalau sedangg tegang orang bisa menjadi sakit  perut.” Nina mengangguk mengiyahkan ucapan Umi Ida.
Tamu yang di tunggu-tunggu pun tiba sang ikhwan yang di antar oleh Murrobi dan isteri Murrobinya bergegas masuk. Jantung Nina berdegup kencang bahkan sudah tak berirama kedua telapak tangannya berkeringat untuk mendongakan kepalanya saja hanya sekedar mencuri pandang bakal calon pendampingnya tersebut ia tak mampu. 

“Nina perkenalakan ini Galih.” ketika suami  umi Ida memperkenalkan Galih, Nina baru memberanikan diri untuk melihatnya, dan pertama kali hal yang terbesit dalam fikiran Nina adalah inikah calon laki-laki yang akan membawanya menuju surga Allah, inikah sang ikhwan yang memiliki visi misi yang teramat indah itu, inikah sang ikhwan yang akan mewarnai hari-harinya sampai maut datang menghampirinya. Nina memang tidak melihat foto yang diselipkan Galih dalam proposalnya, karena baginya visi misi sudah cukup untuk meyakinkan dirinya tentang kepribadian calon pendamping hidupnya. Dari wajahnya Galih terlihat seperti seorang pekerja keras, hidungnya mancung, kulitnya bewarna sawo matang, mungkin tinggi badangnya sekitar 170-175, lesung pipit di wajahnya nampak dengan jelas dan matanya akan sedikit menyipit karena tarikan dari otot-otot diwajahnya saat ia sedang tersenyum. Ketika berbicara menunjukkan bahwa ia adalah orang yang cukup pandai, terlihat dari pemilihan kata dan jawaban yang tepat pada setiap pertanyaan yang diajukan, Galih selalu menjaga pandangannya sebelum adanya ijab-qobul. Sepanjang percakapan berlangsung Nina dan Galih tidak berani untuk memandang satu sama lain. Satu jam pun berlalu ada beberapa hal yang di tanyakan oleh masing-masing dari mereka tentang progres mereka setelah menikah dan beberapa kesepakatan yang dibuat tentunya tidak saling memberatkan satu sama lain.

“Ukhti ane harap anti tidak merasa keberatan kalau diadakannya check up pra nikah?” Galih mengajukan syarat sebelum proses taaruf ini di tutup.

“Ya ane tidak keberatan sama sekali, akan lebih baik hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.” dengan mantab Nina menyetujui syarat yang di ajukan Galih padanya.

“Alhamdulillah kalau memang sudah sama-sama setuju nanti umi saja yang mengatur waktu dan tempatnya untuk kalian check up.” Umi Ida menawarkan diri untuk membantu Nina dan Galih
***
Setelah melakukan check up pra nikah mereka harus bersabar menunggu hasil dari pemeriksaan selama satu minggu. Dengan rasa dag dig dug, dengan rasa tidak sabar, dengan rasa khawatir semuanya pasti ingin segera mengetahui hasil pemeriksaan. Satu minggu pun berlalu, Nina, Galih dan umi Ida duduk dengan tenang dalam ruang dokter, ruangan yang memberikan kesan menakutkan untuk Nina terlebih lagi ada beberapa peralatan rumah sakit yang menurutnya aneh karena ia baru pertama kali melihatnya.

“Sebelumnya saya mau bertanya, boleh saya tahu alasan apa yang menjadi dasar di lakukannya check up ini?” Tanya dokter Rusdi penasaran.

“Pemeriksaan sebelum menikah dok” jawab umi Ida dengan senyuman khasnya.
“oooo Jadi mereka berdua calon pasangan.” Dokter Rusdi tersenyum jahil nampaklah barisan gigi yang beraturan dengan rapih dibalik senyumnya. Itu cara dokter Rusdi untuk  mencairkan suasana dalam ruangan. Nina dan Galih sama-sama tersenyum tipis.

“Baik saya akan langsung menjelaskan hasil dari pemeriksaan Ibu Nina dan Bapak Galih”
***
Ruangan hening tampak tak berpenghuni, seorang gadis mengadu kepada sang penentu takdir “Ya Allah sampai detik ini hamba belum mampu ikhlas.” batin Nina dalam hati. Dikamar kossan yang hanya satu petak Nina seorang diri meratapi rasa sedihnya tanpa ada satu orangpun menjadi teman pengusir sedih, ia hanya bisa bertanya dalam sepi tanpa menemukan jawaban dari pertanyaannya. Dirinya tidak menyalahkanNya ketika suratan takdir ini yang terjadi, kodratnya sebagai manusia memaksanya untuk meratapi keinginannya yang tidak dapat terealisasikan. Nina butuh waktu untuk dapat menenangkan dan meyakinkan bahwa hal ini menjadi jawaban terbaik dari Al-Qowwi. Bukannya ia merasa bahwa masih belum siap untuk menjadi seorang isteri, bukannya ia merasa bahwa pernikahan akan menghentikan jalan aktifitasnya, bukannya ia meresa bahwa ia masih fakir dalam ilmu keagamaan. Jadi apapun yang terjadi pada proses taaruf ini tidak akan membuatnya berlarut dalam kesedihan. Tetapi gagalnya taaruf menjadikan pukulan terdahsyat dalam hidupnya. Titik terendah yang ia lewati adalah saat ini.

            Padahal sudah jam 23.30 WIB Nina masih belum bisa menghentikan air matanya, jawaban dari dokter Rusdi tadi siang masih saja menari-nari dalam fikirannya tentang dibalik alasan dirinya tidak dapat melanjutkan penikahan ini. Ia dan Galih sama-sama memiliki gen carier atau Thalasemia, yang bila menikah akan berpotensi untuk memiliki anak thalasemia.  Awalnya Nina masih di buat bingung dengan jawaban tersebut karena dengan keterbatasan ilmu yang ia miliki. Galih saat itu terlihat mematung dirinya syok dengan pemaparan dari dokter Rusdi, spontan kedua tangan umi Ida langsung menutup mulutnya.

“Apakah penyakit tersebut sangat parah dok?” tanya Nina penasaran.

“Saya terpaksa harus mengatakan ya.” jawab dokter Rusdi diplomatis 

“Apakah ada cara yang bisa kami lakukan untuk menghindari hal tersebut?” Tanya Nina dengan harapan ia dan Galih masih bisa menikah, wajahnya masih menyimpan banyak tanya saat itu.

“Hal yang terbaik adalah meridhoi tidak terjadinya pernikahan, karena sampai saat ini penyakit tersebut belum ditemukan obatnya.” Dokter Rusdi pasrah dengan jawabannya.

Nina sudah tidak mampu membendung air matanya walaupun ia masih tidak mengerti efek yang lebih spesifikasi dari penyakit tersebut.

“Saya akan menjelaskan tentang penyakit thalasemia lebih rinci, agar Ibu Nina dan Bapak Galih bisa mengambil jalan yang tepat setelah ini” Dokter Rusdi merubah posisi duduknya wajahnya mulai menampakan keseriusan “Thalasemia adalah sekelompok gejala atau penyakit keturunan yang diakibatkan karena kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai amino yang membentuk hemoglobin, sebagai bahan utama darah” Sampai disini Nina sudah sedikit memahami apa yang dokter Rusdi katakan “Darah manusia terdiri atas plasma dan sel darah yang berupa sel darah merah (eritrosit) sel dara putih (leukosit) dan kepingan darah (trombosit). Seluruh sel darah tersebut  dibentuk oleh sumsum tulang, sementara hemoglobin merupakan salah satu pembentuk sel darah merah. Hemoglobin terdiri dari empat rantai asam amino (dua rantai amino alfa dan dua rantai amino beta) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Rantai asam amino inilah yang gagal dibentuk sehingga menyebabkan timbulnya thalasemia.” Terlihat dari wajah dokter Rusdi dirinya juga ikut sedih dengan hal yang menimpah Nina dan Galih ketika menjelaskan hal tersebut.

“Apakah akan ada resiko besar jika pernikahan ini tetap di langsungkan?” Tanya Umi Ida dengan suara yang terdengar bergetar.

“Anak yang menderita thalasemia akan mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, pembesaran limpa dan hati akibat anemia yang lama dan berat, perut membuncit karena pembesaran kedua organ tersebut, sakit kuning (jaundice) luka terbuka dikulit (borok) batu empedu, pucat, lesu, sesak nafas karena jantung bekerja terlalu berat, dan aktif dalam usahanya membentuk darah yang cukup bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang terutama tulang kepala dan wajah. Bahkan akan terjadi gagal jantung karena disebabkan seringnya tranfusi berulang, penyerapan zat besi meningkat dan kelebihan zat besi tersebut terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung.”
 Umi Ida sudah tidak kuat dengan pemaparan dari dokter Rusdi dirinya juga menangis dengan hal yang menimpa Nina dan Galih. Bagaikan di siram air es satu truck Nina tidak dapat membayangkan kemungkinan buruk yang dipaparkan dokter Rusdi. Posisi dokter Rusdi saat itu memang harus berkata benar tentang kondisi Nina dan Galih, karena jika tidak maka Nina dan Galih akan menyesal di masa depan.

“Tidak hanya sampai situ saja.” lanjut dokter Rusdi “Resiko terburuk yang akan terjadi pada anak yang menderita thalasemia adalah usia darahnya tidak sampai 120 hari dan bersifat rapuh dan mengharuskan seumur hidupnya cuci darah minimal 1-2 kali per bulan. Selain itu perkembangan fisiknya tidak normal, terlihat begitu pucat dengan kulit menghitam karena penumpukan zat besi (akibat cuci darah terus menerus) usia mereka biasanya hanya bertahan di 20 tahunan karena tubuhnya tidak akan kuat untuk bertahan lebih lama.” dokter Rusdi langsung menghembuskan nafas yang berat dihadapan mereka bertiga setelah menjelaskan hasil check up. Bahkan Galih pun menyeka ujung matanya dengan sapu tangan, kenyataan perih yang mengiris hati. Kesimpulan yang dapat Nina ambil dari pemaparan dokter Rusdi tadi siang adalah jika penikahan ini berlangsung maka akan berakhir pada kemodharatan yang cukup besar, tujuan menikah dalam mencetak generasi terbaik untuk agama ini akan menjadi sirna ketika dirinya dan Galih sampai menikah. Dan yang paling menderita adalah anak mereka karena harus menanggung sakit seumur hidupnya. 
***
Dua bulan berlalu, waktu yang cukup berat bagi Nina untuk menghilangkan bayangan Galih dalam benaknya, ikhwan yang nyaris sempurna pada zaman sekarang ini. Hanya Umi Ida yang menemani dirinya menghadapi fase terberat dalam hidupnya. Mau mengadu pada siapa lagi kalau bukan kepada Allah dan Umi Ida, karena mengumbar taaruf yang gagal bukan kebiasaan akhwat yang memiliki gelar militan. Sampai saat ini Nina masih berusaha untuk bangkit kembali dan tidak meratapi takdir yang Allah tetapkan untuk dirinya.

Nina harus menjadi kuat seperti julukkannya akhwat tangguh. Namun seprtinya Allah ingin menjadikan hambanya yang satu ini menjadi lebih kuat. Kabar menyedihkan menyapa hidupnya kembali undangan warna merah tua berpadu dengan gold dibalut pita krem membuat wajah Nina sedih ternyata ada nama Galih Putra Santoso dalam undangan tersebut. Awalnya Umi Ida ingin menyembunyikan undangan tersebut dari Nina namun cara tersebut ia rasa tidak akan membuat Nina belajar dari rasa sedihnya. Awan mendung masih setia menemani hari-hari Nina. Apakah Tuhan begitu jahat kepada dirinya, Tuhan tidak jahat Ia hanya ingin memberikan jalan indah kepada hamba yang amat mencintainya.
***
“Selamat ya Nin akhirnya kita lulus juga, selamat juga karena kamu berhasil menjadi mahasiswi dengan nilai terbaik.” Peluk Qarimah bahagia.

“Jangan lupa teraktir ya, awas kalau engga.” bisik Qarimah jahil sambil melepaskan pelukannya.

Nina tersenyum lebar menanggapi tingkah sahabatnya tersebut, tidak lama kemudian Rizal suami Qarimah menghampiri mereka yang asik mengobrol. Ada rasa iri yang tersirat di balik wajah bahagianya, suami Qarimah memberikan setangkai mawar merah atas kelulusan isterinya. Mungkin dulu kalau ia dan Galih sampai menikah hal yang sama akan ia rasakan juga untuk hari ini. “Astagfirullah kenapa si aku.” Ucap Nina berbisik buru-buru ia menghapus khayalan dalam benaknya. Dirinya tidak boleh berandai-andai dengan kenyataan yang sudah terjadi. Ingat Nin iblis yang membuat skenario khayalan di otak mu itu, bangkitlah lah dan bersiap siagalah untuk menyambut skenario indah yang akan menjadi pelengkap hidupmu. Karena Allah sedang menyiapkan kejutan istimewa untuk mu yang selalu membela agamanya.

Hari, minggu, bulan dan tahun berlalu hari ini ia dipusingkan dengan kegagalannya untuk yang kedua kalianya taaruf. Mungkin bukan rasa sedih yang ia rasakan lebih tepatnya lagi rasa muak dan benci kepada ikhwan tersebut bagaimana tidak muak dengan alasan dirinya kurang putih dan kurang tinggi kata ikhwan yang dijodohkan dengannya. Alasan yang menurutnya tidak wajar, ia harus sabar menghadapi realita bahwa ikhwan zaman sekarang yang sudah membelot ketika mengartikan pernikahan dalam mencari calon isteri. Yang hanya menomor satukan penampilan fisik saja. Mereka salah besar jika hanya penampilan fisik yang menjadi alasan pertama untuk menikah, sampai kapanpun Allah akan membuat jalan buntu bagi mereka yang seperti itu. Desah Nina dalam hati.

Tetapi bagaimana pun rasa sedih itu tetap ada. Ia bertanya dalam hatinya apakah niat pernikahannya masih ada yang salah, ia tak memasang target tinggi. Sabar Nina jangan berputus asa, tunggulah sampai waktunya tiba dan kau akan menyadarinya bahwan wanita baik hanya untuk laki-laki baik pula. Berkhalawat tidak akan di ridhoi Allah, biarlah semua ikhwan dan akhwat di luar sana tidak mementingkahn harga dirinya demi cinta semu dari dunia yang semu ini. Ingat Nin Allah pastikan bersamamu jika kau selalu bersamanya.
***
“Kapan kamu mau pulang Nduk? sudah lima bulan kamu tidak menjenguk Ibu dan Bapak”. keluh Ibu dari seberang pesawat telepon.

“Ya Bu Insyallah kalau semua pekerjaan Nina sudah selesai, Nina langsung minta cuti dan pulang kerumah.” Jawab Nina pasrah mendengarkan keluhan Ibunya.

“Ibu sama Bapak nunggu kamu cepet pulang ya, oh ya Nin masih ingat Assad teman SD dan ngaji kamu dulu?” tanya Ibu penasaran.

“Assad hmmmm.” Nina mencoba menggalih memorinya “Aduh Nina udah lupa Bu, memang kenapa?” Tanya Nina santai.

“Teman kamu itu baru pulang dari Mesir hebat ya.” puji Ibu berlebihan dengan semangat.
“Coba nanti Nina ingat-ingat dulu ya Bu tentang Assad” Ledek Nina.

“Ibu sama Bapak sudah rindu, bulan depan kamu harus pulang” Ucap perempuan setengan baya itu memaksa anak semata wayangnya.

“Insyallah Bu.” Nina bingung dengan obrolannya dengan Ibu, kenapa pula Ibu harus menyinggung tentang Assad, Ternyata percakapan dengan sang Ibu membuatnya penasaran untuk mengingat kembali tentang masa-masa kecilnya dulu, dirinya mana mungkin lupa dengan Assad yang selalu berada tepat tiga langkah dibelakangnya. Hanya Assad teman yang menurutnya cerdas, ia memiliki mimpi besar untuk dapat belajar keluar Negeri.  Impiannya terkabul setelah empat tahun dirinya mondok di Gontor ia mendapatkan nilai terbaik dan lantas mampu merbangkannya ke negeri Fir’aun. Impian setiap pemuda di kampungku pada saat itu, bagaikan menerima hadiah istimewa dari Tuhan Assad mampu membuat siapa saja iri dengannya.

Sambil menyelam minum air pasti kepulangannya dari negeri pyramid dirinya sudah menggandeng wanita berwajah Cleopatra yang menjadi pemanis kehidupan pernikahannya. Itulah yang dikatakan setiap pemuda yang memberikan selamat kepada Assad sebelum kepergihannya.
***
“Assalamualaikum  Bu, Pak” Nina mengetok pintu rumahnya jam sudah menunjukan pukul 03.00 dini hari setelah ucapan salam yang ketiga kalinya Bapak membukakan pintu Nina langsung meraih tangan lelaki di hadapannya dan menciumnya. Karena mendengar suara Nina di luar, Ibu langsung bangun dan bergegas menyabut anak gadisnya.

“Pulang juga Nin?” ucap Ibu sambil sedikit menguap.

“Kan Nina kangen sama Ibu dan Bapak makanya Nina pulang.” Jawab Nina sekenanya dan memberikannya pelukan hangat untuk menghibur hati Ibu.

“Kamu kalau Ibu engga suruh pulang juga, kamu engga akan pulang Nin.” ucap Ibu sembari melepaskan pelukan Nina.

“Bu Nina capek banget, Nina langsung masuk kamar ya.” Nina berjalan meninggalkan Ibu dan Bapak yang masih ingin melepas rindu. Setelah membuka pintu ia menaruh barang yang dibawanya pada sudut kamar, dirinya sudah tidak bisa melawan rasa kantuk dan lelah yang menyerangnya secara bersamaan setelah kurang lebih melakukan perjalanan selama 12 jam menggunakan bis. Tidurlah menjadi jawaban paling terampuh baginya.

Suara adzan merobek heningnya malam, Bapak mengentuk pelan pintu kamar Nina.

“Ya Pak, Nina bangun.” Spontan Bapak menghentikan ketukannya. Mata Nina mengkerjip-kerjip menatap langit-langit kamarnya mengusir kantuk yang masih setiap menghuni matanya, setelah berusahan mengumpulkan nyawa ia bergegas membuka pintu kamar dan menuju kamar mandi. Selepas sholat subuh ia urungkan niatnya untuk masuk dapur boro-boro mau membantu Ibu memasak, matanya masih tidak bisa di ajak kompromi satu setengah jam mana mungkin bisa mengusir kantuknya. Nina menuju tempat tidurnya kembali menarik selimut dan melanjutkan mimpinya yang sempat bersambung, Ibu dan Bapak sudah memaklumi membiarkan Nina melanjutkan mimpinya dan melepas kangen pada kamar yang menyimpan banyak kenangan manis pada masa kecil dan remajanya.

Kamar yang menjadi saksi Nina bekerja keras pada saat di bangku SMP dan SMA, Nina memang gemar mengumpulkan kalimat motivasi dari beberapa orang sukses di belahan bumi. Ia rajin menulis dan memberikan hiasan pada kalimat motivasi tersebut mungkin sipapun yang melihatnya akan terguguah untuk mengikuti sihir. Pantas saja ia mampu menyabet beberapa piagam penghargaan dari berbagai lomba yang mengisi masa-masa SMP dan SMA nya, beberapa lomba yang di ikutinya mulai dari lomba matematika, SAINS sampai lomba debat bahasa inggris, piagam tersebut memberikan kesan yang berbeda pada dekorasi ruangan tidurnya. Orang tua mana yang tidak bangga memiliki anak gadis yang mampu mengharumkan nama keluarga.

Beberapa pemuda yang tinggal di kampungnya pun kadang menyampaikan niat untuk mempersunting Nina, namun di tolak dengan halus oleh Bapak karena alasan Nina yang masih sibuk di Jakarta.
***
            “Nin umur kamu tuh sudah mau menginjak usia 26 tahun waktu yang tepat untuk mendapatkan pendamping hidup.” Nina yang sedang mengunyah makanan langsung menghentikan aktivitasnya dan memandang Ibu dengan seksama, hatinya berbisik pertanyaan yang selama ini di bayangkannya akhirnya terucap juga oleh Ibu. Nina tidak memiliki kekuatan untuk dapat menjawab pertanyaan yang dialamatkan kepada dirinya ia hanya mampu menghembuskan nafasnya dan melanjutkan aktivitasnya kembali.

Pertanyaann yang lontarkan Ibu mampu membuat Nina mengurung diri dalam kamar mengingat kembali proses taaruf  beberapa tahun silam yang sempat membuatnya berderai air mata. Kontan hal tersebut mengusik hari-harinya hal yang susah payah ia lupakan dengan deraian air mata yang tak terhitung. Dua tahunnya untuk melupakan dua ikhwan yang memberi rasa berbeda dalam hatinya di kalahkan dengan pertanyaan Ibu. Ia memandang langit lekat-lekat dari jendela kamarnya hari ini tidak ada bintang yang nampak satu pun gumpalan awan hitam yang dilihatnya mewakilkan perasaan hatinya. Menurutnya ia harus belajar memupuk rasa sabar yang lebih selama berada dirumahnya.

Malam panjang penuh dengan kesedihan pun berlalu dengan lambat seakan malam merangkak menuju pagi geraknya lamban membuat Nina melewati malamnya dengan suram. Awalnya ia malas untuk sarapan bersama Ibu dan Bapak pasti topik yang sama kemarin akan didentangkan kembali oleh Ibu bagaikan makanan pembuka pagi ini, benar saja Ibu masih sama memberikan pertanyaan yang tidak mampu untuk di jawab Nina paginya sudah di sambut dengan pertanyaan yang mengusik batinnya. Malah Bapak terlihat tidak terlalu memperdulikan pertanyaan yang di lontarkan Ibu, Bapak masih melakukan aktivitas seperti lima menit yang lalu menikmati nasi goreng buatan Nina anak semata wayangnya. Sudah dua hari ini Ibu mengajak Nina untuk membuka memori yang sudah lama terpendam dalam otaknya Ibu terus saja membahas tentang satu nama yang menjadi tanda tanya untuk Nina. Setiap ditanya oleh Ibu Nina akan pura-pura lupa dengan Assad. Ia tidak lupa dengan laki-laki itu hampir separuh masa kecil dan remajanya ia lewatkan bersamanya teman yang di jodoh-jodohkan olehnya ketika mengaji di surau kampung, tapi kondisinya saat ini berbeda dengan masa lalu mana mungkin Assad mampu mengalihkan pandangannya dari pesona Cleopatra yang lalu lalang di Negeri tempatnya menimba ilmu, seekor serigala tidak akan mampu melewatkan daging segar yang disuguhkan untuknya. Ia hanya berkilah setiap kali nama Assad yang terucap dari mulut Ibu Nina hanya tidak mau membahas ikhwan yang satu itu. 

***
Selama di rumah Nina banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, keluar dan menyapa tetanggnya pun Nina tak mau. Sekalipun ia keluar akan banyak pertanyaan yang membuatnya kesal.

“Nikahnya kapan neng? “Kok belum menikah kan sudah tua.”

Itu baru sedikit pertanyaan yang pasti akan dilontarkan, aka nada yang lebih menyat hati lagi. Makanya Nina memutuskan menghabiskan waktu di dalam rumah pasti lebih baik.

***
Selepas makan malam Ibu mengutarakan alasan sebenarya menyuruh Nina untuk pulang
“Nin Ibu sudah tidak bisa lagi menunggu kamu mendapatkan calon pendamping pilihan kamu sendiri, sudah terlalu lama Ibu menunggu kamu memberitahu Ibu dan Bapak tentang laki-laki yang mampu menarik hati dan perhatian mu, Ibu berusaha untuk bersabar menunggu hal tersebut tetapi sampai usia mu yang sudah hampir 26 kata tersebut tidak sekali pun pernah terlontar dari mu Nak.” Ibu berbicara dengan lembut nafasnya diatur sesuai dengan intonasi suaranya tangan Ibu menggenggam pundak Nina yang duduk disebelahnya.

“Maafkan Nina bu kalau ternyata Ibu dan Bapak menunggu lama untuk Nina memberitahukan laki-laki yang mampu mengisi hati Nina.” Nina tak mampu menatap mata kedua orang tuanya matanya hanya mampu menatap lantai bewarna kuning ruang tamunya.

 Nina memantabkan hatinya pada malam itu untuk memberitahukan proses taaruf ia dengan Galih yang gagal. Nina menceritakan secara detail tentang kesamaan ia dan Galih yang memiliki gen carier. Ibu berusaha untuk menghibur Nina dan tidak lagi berlarut dalam kesedihan seorang diri. Nina sudah bias menebak kearah mana pembicaraan ini bermuara, terlebih Ibu dan Ayah selalu membahas topik ini selama satu bulan kebelakang. Malam ini ia pasrah dengan siapa dirinya akan di jodohkan bukankah ridho Allah itu ada pada ridho orang tua.

Ibu dan Bapak pasti sudah memikirkan dan mempertimbangkan hal ini dengan baik. Sipapun ia yang terpenting soleh karena soleh dapat mengalahkan segala kenikmatan di dunia ini. Rajin membaca qur’an, menjalankan sunnah Rasul, dan bertutur kata baik ia akan rela dijodohkan olehnya.

“Bapak tau Nin mungkin kamu akan kaget setelah mendengar apa yang nanti Bapak dan Ibu sampaikan.” Kata-kata Bapak memecah kesunyian intonasi suara Bapak tidak mampu mengalahkan suara jangkrik di luar sana. “Ini sudah rencana kami untuk menjodohkan kamu dengan Assad.” Nina kaget bukan kepalang mendengar Nama Assad keluar dari mulut Bapak. Apakah ia tak salah dengar tentang satu nama itu. Ada tanda tanya besar sekarang yang mengisi fikiran Nina.

“Mengapa harus Assad bu? Tidak kah ada yang lain yang akan Ibu jodohkan untuk  Nina.” Sontak pertanyaan tersebut keluar dari mulut Nina, dirinya juga kaget mengapa pertanyaan tersebut yang keluar. Ia hanya tidak mau nasibnya sama dengan tokoh yang ada pada buku yang pernah dibacanya pudarnya pesona Cleopatra si isteri yang nelangsa menghadapi sikap acuh suaminya karena dirinya tak secantik bidadari dari negeri Fir’aun tempat studi suaminya. Apakah dirinya akan merasakan hal yang sama. Jika menikah dengan Assad.  

“Assad sendiri Nin yang menunjuk kamu untuk menjadi isterinya.” Ada senyum di wajah manis Ibu. Ibu melanjutkan ucapannya, dulu sebelum Assad pergi ke Mesir ia sangat menghawatirkan hal ini, apakah nanti setelah ia pulang dari Mesir kamu sudah di sunting orang, ataukah nanti ketika ia pulang dari Mesir kamu sudah memiliki beberapa anak buah dari pernikahanmu dengan orang lain. Bahkan Assad sempat berfikir untuk menolak bea siswa tersebut, tetapi Ibunya memantabkan Assad untuk melanjutkan studinya ke Mesir dan menitipkan mu pada Allah, dengan bermodal doa yang selalu di lantunkan kepadaNya ia percaya bahwa Allah yang akan menjaga mu untuk dirinya.

“Sebelum Assad ke Mesir tadinya ia berniat ingin kata yang sejujurnya kalau ia ingin menikah dengan Ninan tetapi ia mengurungkan niatnya karena mana mungkin ia yang berasal dari keluarga yang serba kekurangan mampu mempersunting putri seorang lurah.”

 “Sekembalinya ia dengan mengandeng gelar istimewa yang bersanding dengan namanya dapat menjadiknnya ia pantas memiliki pendamping seperti Nina. Ketika Assad pulang dan mengetahui bahwa kamu belum menikah ia selalu membujuk Ibunya untuk segera mengutarakan niatnya melamar mu Nin.”

Butiran-butiran bening jatuh satu demi satu dari pelupuk matanya, ia sangat kagum dengan skenario yang Allah gariskan padanya. Sedikit demi sedikit ia mengerti ternyata ada ada seseorang yang selalu memanjatka doanya untuk dapat membina rumah tangga bersamanya.

“Kalau kamu setuju pernikahan akan di langsungkan dua hari kemudian, karena Assad sudah harus bekerja di salah satu pesantren modern di Bandung.” Bapak menyadarkan lamunan Nina

Nina hanya bisa mematung memandang kedua orang tuanya skenario apa yang sedang Ar-Rahman atur untuk dirinya. Tuntas sudah malam itu ia membuang jauh-jauh rasa sakit yang pernah terjadi pada dirinya tentang proses taaruf yang kandas, proposal yang di tolak mentah-mentah ternyata itu semua dibayar oleh Allah dengan harga yang sangat mahal. Assad sudah lama memendam kagum pada Nina, dan ada satu nama yang sedang memantaskan dirinya untuk dapat menikah dengan Nina.

Assad pun sempat bingung ketika mendapatkan bea siswa dari Mesir apakah harus ia terima karena untuk mendapatkan predikat LC dari sana bukan hal mudah ia harus bersusah payah dan menghabiskan waktu yang lama untuk sebuah pendidikan, terlebih lagi Nina teman kecil yang memiliki perhatian khusus dihatinya mungkin  saja dipersunting orang lain. Namun alasan tersebut ia enyahkan dalam benaknya ia percaya di pertiga malam ia bisa merayu Allah tentang hal tersebut. Berdoa kepada Allah semoga Nina masih tetap single sampai dirinya mampu untuk mempersunting Nina.

Dengan lulusan salah satu universitas ternama di Mesir dan segudang prestasi yang di raihnya ditambah predikat cum laude yang menghiasi ijazahnya mampu meluluhkan hati Nina, dan ternyata ada satu hal yang tidak pernah di lupakan oleh Nina kelembutan hati Assad sejak masa kanak-kanak dan remajan masih bisa di rasakan Nina sampai saat ini.

Setelah di mabuk kepalangan dengan kenyataan Assad memiliki niat untuk mempersunting dirinya tak lupa Nina meminta nasehat dari Umi Ida ia berbincang lewat pesawat telephon sampai larut malam mengenai langkah apa yang harus ia tempuh, Umi Ida menyarankan Nina untuk meminta jawaban terbaik dari Allah.  
***
Mungkin ini bukan kisah romantis atau kisah cinta terbaik yang dapat mengalahkan kisah romeo dan Juliet, kisah Jodhan dan Akbar, atau kisah Nabi Lukman dan Ratu Bilqis. Namun kisah cinta yang terjadi dalam kehidupan kita masing-masing adalah kisah cinta yang paling menarik, berharga, yang mampu menerbangkan diri kita sendiri. Pernikahan indah yang di tunggu-tunggu oleh semua wanita, pangeran berkuda putih atau kah abu-abu itu tak jadi masalah ketika pangeran tersebut sudah mampu menerobos benteng terkuat dalam hati seorang wanita makan kata pantaslah yang keluar menjadi ucapan setiap orang. Ternyata memupuk rasa sabar dan deraian air mata itu satu hal yang amat penting bagi siapa saja yang bersedia mengizinkan Allah mengatur kisah cintanya.

Percayalah di luar sana mungkin ada seseorang yang sedang merayu Allah siang dan malam untuk menjadikan kita sebagai pendamping hidupnya untuk bersama-sama membangun benteng dakwah dalam sebuah pernikahan yang halal. Semoga siapapun kalian yang selalu menjadikan agama Allah sebagai lahan dakwah tidak akan terkalahkan dari sikap iblis yang selalu mengganggu jalan halal kita menuju pernikahan. Sadarlah bahwa ghodul bashor itu nikmat dan khalawat itu menyedihkan. Ayo sama-sama meraih surga Allah dengan pasanga halal yang di takdirkan untuk kita.

Tangerang, 17 Agustus 2017
Indahnya Melukis Hari
KECE Day 1





1 komentar:

  1. KINI DEWALOTTO MENYEDIAKAN DEPOSIT VIA PULSA TELKOMSEL / XL
    UNTUK KEMUDAHAN TRANSAKSI , ONLINE 24 JAM BOSKU ^-^
    WWW.DEWA-LOTTO.NAME
    WA : +855 88 876 5575

    BalasHapus

 

Melukis Hari dengan Kata Template by Ipietoon Cute Blog Design