“Dimata
mu tersimpan cinta yang suci
berawal dalam pernikahan dari beda dunia”
Alunan musik nasyid menggema seantero sudut
menggetarkan hati siapa saja yang tanpa sengaja terbius suara nan merdu pemuda
berusia sekitar 26, tubuhnya di balut jas bewarna putih gading sederhana namun
memajaga penglihatan, jas pengantin warisan kakaknya yang sudah terlebih dahulu
menyempurnakan diennya lima tahun silam.
“Duhai pendampingku akhlak mu permata bagi ku
Buat aku makin cinta
Tetapkan selalu janji awal kita bersatu
Bahagia sampai kesurga”
Sebenarnya cukup ganjal musik nasyid menggemakan kampung.
Memangnya kemana para biduan dangdut di
kampung tersebut. Karna setiap kali pernikahan sedang berlangsung yang akan
terdengar tabuhan gendang dan seorang biduan dibalut gaung seksi
melenggok-lenggokan badannya tanpa dosa di depan para tamu undangan. Namun
sepertinya tamu undangan yang datang untuk mendoakan terlihat menikmati suguhan
musik yang ditampilkan tamu undangan malah akan kecewa kalau sampai ada biduan
seksi pada pernikahan muda-mudi tersebut.
Pengantin wanita memandang lekat pria yang berada
tepat di depan matanya, baginya lirik nasyid tersebut bukan hanya pelengkap
kemanisan dalam pernikahan setiap insan tetapi seperti sebuah janji yang di
ucapkan sehidup semati. Terbesit dalam fikirannya tau apa dia tentang cinta,
bukankah sebelumnya ia tidak pernah mengenal cinta.
“Maaf aku jika tak bisa sempurna
Karna ku bukan lelaki yang turun dari surga
Ketulusan hati mu anugrah hidupku
Doakan langkah kita tak terpisah untuk selamanya.”
Butiran air memenuhi sudut pelupuk mata pengantin
wanita saat mendengar lirik terakhir. Ia hanyut dengan biusan suara indah
suaminya wanita mana pun akan merasa bahagia lelaki yang di tunggu-tunggu dalam
hidupnya seromantis aktor kawakan Leonardo ketika bertransformasi menjadi
Romeo. Dirinya tak menyangka ternyata pangeran bekuda putih yang selama ini
diimpikannya hadir juga dalam hidupnya dengan takdir yang tak pernah terbesit
dalam lamunannya.
***
Beberapa tahun silam.
Settingan berubah pada sebuah ruangan organisasi seorang
gadis mengenakan kerudung hijau toska yang hampir menutupi sebagian dari tubuh
mungilnya asik berbicara. Ia memiliki wajah standar orang asia, hidungnya cukup
mancung, kulitnya hitam manis, tubuhnya tidak tinggi tidak pula pendek. Gadis
tersebut sedang asik berbicara di depan teman-teman yang di dominasi laki-laki
dan perempuan, matanya menyapu seluruh sudut ruangan sesekali tertuju pada barisan
tempat duduk laki-laki, namun pandangannya akan berhenti lama pada barisan
tempat duduk perempuan. Setiap kali dirinya berbicara pasti tangannya tidak
bisa diam, nada bicaranya sedikit cepat namun kalimat yang diucapkan tetap
teratur seperti banyak ide didalam kepalanya yang sedang mengantri untuk segera
di ucapkan, semua orang yang ada di dalam ruangan menikmati presentasi yang
sedang berlangsung, dengan beberapa kali anggukan dari teman-temannya tanda
setuju dengan ide yang di paparkan olehnya. Kepercayaan diri yang tersirat
dalam wajahnya menunjukkan bahwa ini bukan pertama kali dirinya berbicara di depan
khalayak ramai, nyali dan kepandaiannya melebihi postur tubuhnya tak jarang
teman-temannya akan fokus setiap kali dirinya berbicara.
“Kalau menurut ane lebih baik baksos tahun ini kita
adakan langsung di TKP, buat suasan yang berbeda dari tahun-tahun yang lalu”
Nina menyampaikan idenya.
“Ane setuju baksos tahun ini di adakan langsung di
TKP” Adit menyetujui ide yang di
paparkan Nina.
“Berarti sehari sebelum acara kita harus ke TKP
nyiapin semua keperluan yang di butuhkan” Timpal Rina yang duduk pada kursi
barisan kedua.
“Saran ane yang ikhwan mabit aja di TKP gimana?”
“Ok ane setuju, supaya ga terlalu repot besok
paginya.”
“Afwan ukhti Rina anti berarti langsung buat surat
izin kegiatan diluar.”
“Ok teman-teman bisa di bilang persiapan sudah
mencapai 95%, ada yang masih mau dibahas lagi?, kalau memang sudah tidak ada
ane tutup syuro kali ini dengan membaca hambdallah, istigfar dan doa kafaratul
majlis. Jazakallah perhatiannya Assalamualaikum Wr,Wb. Agung menyudahi
kalimatnya.
***
“Ukhti
kalau presentasi santai aja dong” ledek Qarimah yang tangannya selalu tidak
bisa diam setiap kali sedang berbicara dengan sahabatnya kali ini ia
mendaratkan cubitan nakal di pipi Nina
“Aw sakit, jerit Nina yang langsung mengusap-usap
pipinya “Tapi keren kan ide ane?” Nina tak mau kalah, gantian mencubit pipi
sahabatnya.
“Rimah hari ini ane disuruh mampir kerumah umi,
kira-kira kenapa ya?”, tanya Nina polos sembari terus berjalan menuju kantin “Cie
cie ada angin apa nih umi nyuruh anti dateng kerumahnya” dengan tersenyum jahil
Qarimah menyenggol bahu Nina, secara kompak keduanya menghentikan langkah
mereka saat melihat tempat duduk kosong di kantin.
“Pastinya ada hal yang bikin anti senang setelah
pulang dari rumah Umi” ucap Qarimah diplomatis dan segera berjalan menghampiri
tukang bakso. Nina hanya mengangkat bahu dan memiringkan sedikit kepalanya.
***
Qiyamulai seakan menjadi cara yang ampuh untuk
dirinya mendapatkan jawaban tepat dari sang Kuasa, setelah sholat tahajud dan
di tutup dengan witir Nina langsung beranjak berdiri mengambil sesuatu yang dari
kemarin sore menempati meja belajarnya, ia
bergegas duduk diatas sajadah dengan langkah yang sedikit kurang percaya
diri. Seperti sedang menerima beban yang amat berat ia menghembuskan nafas dan
menggigit separuh bibir bawahnya. Matanya terpaku pada sesuatu yang berada
tepat didepannya, sebuah benda yang mengingatkan ia dengan percakapan kemarin
sore bersama Murrobinya.
“Umi rasa kamu sudah cukup siap untuk melakukan
proses ini Nin, ada ikhwan yang Umi rasa cocok untuk kamu”, ucap Umi Ida
percaya diri. Nina hanya bisa mematung tak ada kata yang dapat menggambarkan
rasa kagetnya tersebut. “Ingat Nin dari segi kafaah dan kemampuan kamu terlihat
sudah siap untuk menjadi seorang isteri” Umi Ida hanya berusaha mencarikan
jodoh terbaik untuk orang yang sudah di anggap seperti anaknya. “Orang di
sekitar bisa menilai kita siap atau tidak untuk menikah, dan Umi rasa kamu
sudah siap. Kenapa tidak dicoba” ucapan Umi Ida yang memantabkan dirinya
membawa pulang proposal tersebut. Walau sebenarnya ia belum memikirkan menjadi
istri orang.
Cukup lama Nina memantabkan hatinya, ia merasa
dirinya masih fakir dalam ilmu terlebih lagi dengan umur yang terbilang masih
muda segudang aktifitas dan impiannya belum dapat terealisasikan apakah
semuanya harus ia korbankan demi sebuah pernikahan. Hal tersebut tidak dengan
mudah bisa dijadikan alasan olehnya, mau bagaimana lagi ia tak berani menolak
permintaan dari Murrobinya tersebut, orang yang sudah banyak berjasa untuk
dirinya dalam negeri perantauan ini. Dengan mengucap basmallah dan rasa percaya
diri yang dibuat-buat ia membuka proposal tersebut. Awalnya ia tidak teralu
tertarik dengan profil sang ikhwan namun ketika dirinya terus membalik proposal
tersebut mampu menyulutkan hatinya, wajahnya langsung memerah seprti kepiting
rebus ia hanyut dengan segudang organisasi yang pernah diikuti oleh sang
ikhwan. Satu dua kali ia mengucapkan kata “Subhanallah” ternyata si penulis
mampu membuat Nina mengagumi visi misi yang menjadi alasan dibalik dirinya
ingin menikah, Galih Ramadhan Nugroho penulis proposal yang di pegang Nina,
Nina mengangguk-ngagguk dan mengucapkan nama ikhwan tersebut. Usia mereka
terpaut 5 tahun, Galih memiliki pekerjaan di bidang arsitektur. Ternyata bukan
pekerjaan dan kemapanan Galih yang membuat Nina kagum visi misi yang menjadi
alasan dibalik dirinya ingin menikah itu yang membuat Nina kagum.
Ada senyuman
kecil yang tersungging di bibir Nina setelah membaca isi dari proposal
pemberian Umi Ida kemari sore, seakan ia sudah menyiapkan jawaban yang akan di
beritahukan kepada Umi Ida. Tetapi ia tetap harus meminta jawaban dari sang
Ar-Rosyid untuk memupuk rasa yakin atas pilihannya.
***
Dua minggu berlalu waktu yang di berikan Umi Ida
kepada Nina untuk mencari jawaban yang tepat dari Ar-Rahim, hari ini akan
menjadi hari pertama dirinya bertemu dengan ikhwan yang akan menjadi pasangan
hidupnya, karena memikirkan hal tersebut membuat Nina tidak bisa tidur dengan
nyenyak tadi malam, bahkan ketika Umi Ida bertanya Nina memberikan jawaban yang
tidak nyambung, mungkinkah akan seperti itu setiap orang yang sedang
menjalankan fase taaruf? Otaknya akan berubah bodoh
“Jangan menampakkan rasa grogi kamu Nin, kalau
seperti itu kamu terlihat seperti orang ling-lung” pesan Umi Ida yang duduk
bersebelahan dengan Nina. Umi Ida menangkupkan tangannya di atas tangan Nina
dan tersenyum ia berharap dengan caranya itu akan membuat Nina lebih tenang.
“Afwan Umi, Nina deg-degkan.” Timbal Nina dengan
suara sedikit bergetar
“Kamu berdoa saja Nin, ga usah terlalu dirasakan
karena Umi khawatir nanti kamu malah sakit perut, biasanya kalau sedangg tegang
orang bisa menjadi sakit perut.” Nina
mengangguk mengiyahkan ucapan Umi Ida.
Tamu yang di tunggu-tunggu pun tiba sang ikhwan yang
di antar oleh Murrobi dan isteri Murrobinya bergegas masuk. Jantung Nina berdegup
kencang bahkan sudah tak berirama kedua telapak tangannya berkeringat untuk
mendongakan kepalanya saja hanya sekedar mencuri pandang bakal calon
pendampingnya tersebut ia tak mampu.
“Nina perkenalakan ini Galih.” ketika suami umi Ida memperkenalkan Galih, Nina baru
memberanikan diri untuk melihatnya, dan pertama kali hal yang terbesit dalam
fikiran Nina adalah inikah calon laki-laki yang akan membawanya menuju surga
Allah, inikah sang ikhwan yang memiliki visi misi yang teramat indah itu,
inikah sang ikhwan yang akan mewarnai hari-harinya sampai maut datang
menghampirinya. Nina memang tidak melihat foto yang diselipkan Galih dalam
proposalnya, karena baginya visi misi sudah cukup untuk meyakinkan dirinya
tentang kepribadian calon pendamping hidupnya. Dari wajahnya Galih terlihat
seperti seorang pekerja keras, hidungnya mancung, kulitnya bewarna sawo matang,
mungkin tinggi badangnya sekitar 170-175, lesung pipit di wajahnya nampak
dengan jelas dan matanya akan sedikit menyipit karena tarikan dari otot-otot
diwajahnya saat ia sedang tersenyum. Ketika berbicara menunjukkan bahwa ia
adalah orang yang cukup pandai, terlihat dari pemilihan kata dan jawaban yang
tepat pada setiap pertanyaan yang diajukan, Galih selalu menjaga pandangannya sebelum
adanya ijab-qobul. Sepanjang percakapan berlangsung Nina dan Galih tidak berani
untuk memandang satu sama lain. Satu jam pun berlalu ada beberapa hal yang di
tanyakan oleh masing-masing dari mereka tentang progres mereka setelah menikah
dan beberapa kesepakatan yang dibuat tentunya tidak saling memberatkan satu
sama lain.
“Ukhti ane harap anti tidak merasa keberatan kalau
diadakannya check up pra nikah?”
Galih mengajukan syarat sebelum proses taaruf ini di tutup.
“Ya ane tidak keberatan sama sekali, akan lebih baik
hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.” dengan
mantab Nina menyetujui syarat yang di ajukan Galih padanya.
“Alhamdulillah kalau memang sudah sama-sama setuju
nanti umi saja yang mengatur waktu dan tempatnya untuk kalian check up.” Umi Ida menawarkan diri untuk
membantu Nina dan Galih
***
Setelah melakukan check up pra nikah mereka harus bersabar menunggu hasil dari
pemeriksaan selama satu minggu. Dengan rasa dag dig dug, dengan rasa tidak
sabar, dengan rasa khawatir semuanya pasti ingin segera mengetahui hasil
pemeriksaan. Satu minggu pun berlalu, Nina, Galih dan umi Ida duduk dengan
tenang dalam ruang dokter, ruangan yang memberikan kesan menakutkan untuk Nina
terlebih lagi ada beberapa peralatan rumah sakit yang menurutnya aneh karena ia
baru pertama kali melihatnya.
“Sebelumnya saya mau bertanya, boleh saya tahu
alasan apa yang menjadi dasar di lakukannya check up ini?” Tanya dokter Rusdi
penasaran.
“Pemeriksaan sebelum menikah dok” jawab umi Ida
dengan senyuman khasnya.
“oooo Jadi mereka berdua calon pasangan.” Dokter
Rusdi tersenyum jahil nampaklah barisan gigi yang beraturan dengan rapih dibalik
senyumnya. Itu cara dokter Rusdi untuk mencairkan suasana dalam ruangan. Nina dan
Galih sama-sama tersenyum tipis.
“Baik saya akan langsung menjelaskan hasil dari
pemeriksaan Ibu Nina dan Bapak Galih”
***
Ruangan hening tampak tak berpenghuni, seorang gadis
mengadu kepada sang penentu takdir “Ya Allah sampai detik ini hamba belum mampu
ikhlas.” batin Nina dalam hati. Dikamar kossan yang hanya satu petak Nina
seorang diri meratapi rasa sedihnya tanpa ada satu orangpun menjadi teman
pengusir sedih, ia hanya bisa bertanya dalam sepi tanpa menemukan jawaban dari
pertanyaannya. Dirinya tidak menyalahkanNya ketika suratan takdir ini yang
terjadi, kodratnya sebagai manusia memaksanya untuk meratapi keinginannya yang
tidak dapat terealisasikan. Nina butuh waktu untuk dapat menenangkan dan
meyakinkan bahwa hal ini menjadi jawaban terbaik dari Al-Qowwi. Bukannya ia
merasa bahwa masih belum siap untuk menjadi seorang isteri, bukannya ia merasa
bahwa pernikahan akan menghentikan jalan aktifitasnya, bukannya ia meresa bahwa
ia masih fakir dalam ilmu keagamaan. Jadi apapun yang terjadi pada proses
taaruf ini tidak akan membuatnya berlarut dalam kesedihan. Tetapi gagalnya
taaruf menjadikan pukulan terdahsyat dalam hidupnya. Titik terendah yang ia
lewati adalah saat ini.
Padahal
sudah jam 23.30 WIB Nina masih belum bisa menghentikan air matanya, jawaban
dari dokter Rusdi tadi siang masih saja menari-nari dalam fikirannya tentang
dibalik alasan dirinya tidak dapat melanjutkan penikahan ini. Ia dan Galih
sama-sama memiliki gen carier atau Thalasemia, yang bila menikah akan
berpotensi untuk memiliki anak thalasemia.
Awalnya Nina masih di buat bingung dengan jawaban tersebut karena dengan
keterbatasan ilmu yang ia miliki. Galih saat itu terlihat mematung dirinya syok
dengan pemaparan dari dokter Rusdi, spontan kedua tangan umi Ida langsung
menutup mulutnya.
“Apakah penyakit tersebut sangat parah dok?” tanya
Nina penasaran.
“Saya terpaksa harus mengatakan ya.” jawab dokter
Rusdi diplomatis
“Apakah ada cara yang bisa kami lakukan untuk
menghindari hal tersebut?” Tanya Nina dengan harapan ia dan Galih masih bisa
menikah, wajahnya masih menyimpan banyak tanya saat itu.
“Hal yang terbaik adalah meridhoi tidak terjadinya
pernikahan, karena sampai saat ini penyakit tersebut belum ditemukan obatnya.”
Dokter Rusdi pasrah dengan jawabannya.
Nina sudah tidak mampu membendung air matanya
walaupun ia masih tidak mengerti efek yang lebih spesifikasi dari penyakit
tersebut.
“Saya akan menjelaskan tentang penyakit thalasemia
lebih rinci, agar Ibu Nina dan Bapak Galih bisa mengambil jalan yang tepat setelah
ini” Dokter Rusdi merubah posisi duduknya wajahnya mulai menampakan keseriusan
“Thalasemia adalah sekelompok gejala atau penyakit keturunan yang diakibatkan
karena kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai amino yang membentuk
hemoglobin, sebagai bahan utama darah” Sampai disini Nina sudah sedikit
memahami apa yang dokter Rusdi katakan “Darah manusia terdiri atas plasma dan
sel darah yang berupa sel darah merah (eritrosit) sel dara putih (leukosit) dan
kepingan darah (trombosit). Seluruh sel darah tersebut dibentuk oleh sumsum tulang, sementara
hemoglobin merupakan salah satu pembentuk sel darah merah. Hemoglobin terdiri
dari empat rantai asam amino (dua rantai amino alfa dan dua rantai amino beta)
yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen keseluruh
tubuh. Rantai asam amino inilah yang gagal dibentuk sehingga menyebabkan
timbulnya thalasemia.” Terlihat dari wajah dokter Rusdi dirinya juga ikut sedih
dengan hal yang menimpah Nina dan Galih ketika menjelaskan hal tersebut.
“Apakah akan ada resiko besar jika pernikahan ini
tetap di langsungkan?” Tanya Umi Ida dengan suara yang terdengar bergetar.
“Anak yang menderita thalasemia akan mengalami
anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, pembesaran limpa dan hati akibat
anemia yang lama dan berat, perut membuncit karena pembesaran kedua organ
tersebut, sakit kuning (jaundice)
luka terbuka dikulit (borok) batu empedu, pucat, lesu, sesak nafas karena
jantung bekerja terlalu berat, dan aktif dalam usahanya membentuk darah yang
cukup bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang terutama tulang kepala
dan wajah. Bahkan akan terjadi gagal jantung karena disebabkan seringnya
tranfusi berulang, penyerapan zat besi meningkat dan kelebihan zat besi
tersebut terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa
menyebabkan gagal jantung.”
Umi Ida sudah
tidak kuat dengan pemaparan dari dokter Rusdi dirinya juga menangis dengan hal
yang menimpa Nina dan Galih. Bagaikan di siram air es satu truck Nina tidak
dapat membayangkan kemungkinan buruk yang dipaparkan dokter Rusdi. Posisi
dokter Rusdi saat itu memang harus berkata benar tentang kondisi Nina dan
Galih, karena jika tidak maka Nina dan Galih akan menyesal di masa depan.
“Tidak hanya sampai situ saja.” lanjut dokter Rusdi
“Resiko terburuk yang akan terjadi pada anak yang menderita thalasemia adalah
usia darahnya tidak sampai 120 hari dan bersifat rapuh dan mengharuskan seumur
hidupnya cuci darah minimal 1-2 kali per bulan. Selain itu perkembangan
fisiknya tidak normal, terlihat begitu pucat dengan kulit menghitam karena
penumpukan zat besi (akibat cuci darah terus menerus) usia mereka biasanya
hanya bertahan di 20 tahunan karena tubuhnya tidak akan kuat untuk bertahan
lebih lama.” dokter Rusdi langsung menghembuskan nafas yang berat dihadapan
mereka bertiga setelah menjelaskan hasil check up. Bahkan Galih pun menyeka
ujung matanya dengan sapu tangan, kenyataan perih yang mengiris hati.
Kesimpulan yang dapat Nina ambil dari pemaparan dokter Rusdi tadi siang adalah
jika penikahan ini berlangsung maka akan berakhir pada kemodharatan yang cukup
besar, tujuan menikah dalam mencetak generasi terbaik untuk agama ini akan
menjadi sirna ketika dirinya dan Galih sampai menikah. Dan yang paling
menderita adalah anak mereka karena harus menanggung sakit seumur
hidupnya.
***
Dua bulan berlalu, waktu yang cukup berat bagi Nina
untuk menghilangkan bayangan Galih dalam benaknya, ikhwan yang nyaris sempurna
pada zaman sekarang ini. Hanya Umi Ida yang menemani dirinya menghadapi fase terberat
dalam hidupnya. Mau mengadu pada siapa lagi kalau bukan kepada Allah dan Umi
Ida, karena mengumbar taaruf yang gagal bukan kebiasaan akhwat yang memiliki
gelar militan. Sampai saat ini Nina masih berusaha untuk bangkit kembali dan
tidak meratapi takdir yang Allah tetapkan untuk dirinya.
Nina harus menjadi kuat seperti julukkannya akhwat
tangguh. Namun seprtinya Allah ingin menjadikan hambanya yang satu ini menjadi
lebih kuat. Kabar menyedihkan menyapa hidupnya kembali undangan warna merah tua
berpadu dengan gold dibalut pita krem membuat wajah Nina sedih ternyata ada nama
Galih Putra Santoso dalam undangan tersebut. Awalnya Umi Ida ingin
menyembunyikan undangan tersebut dari Nina namun cara tersebut ia rasa tidak
akan membuat Nina belajar dari rasa sedihnya. Awan mendung masih setia menemani
hari-hari Nina. Apakah Tuhan begitu jahat kepada dirinya, Tuhan tidak jahat Ia
hanya ingin memberikan jalan indah kepada hamba yang amat mencintainya.
***
“Selamat ya Nin akhirnya kita lulus juga, selamat juga
karena kamu berhasil menjadi mahasiswi dengan nilai terbaik.” Peluk Qarimah
bahagia.
“Jangan lupa teraktir ya, awas kalau engga.” bisik
Qarimah jahil sambil melepaskan pelukannya.
Nina tersenyum lebar menanggapi tingkah sahabatnya
tersebut, tidak lama kemudian Rizal suami Qarimah menghampiri mereka yang asik
mengobrol. Ada rasa iri yang tersirat di balik wajah bahagianya, suami Qarimah
memberikan setangkai mawar merah atas kelulusan isterinya. Mungkin dulu kalau
ia dan Galih sampai menikah hal yang sama akan ia rasakan juga untuk hari ini.
“Astagfirullah kenapa si aku.” Ucap Nina berbisik buru-buru ia menghapus
khayalan dalam benaknya. Dirinya tidak boleh berandai-andai dengan kenyataan
yang sudah terjadi. Ingat Nin iblis yang membuat skenario khayalan di otak mu
itu, bangkitlah lah dan bersiap siagalah untuk menyambut skenario indah yang
akan menjadi pelengkap hidupmu. Karena Allah sedang menyiapkan kejutan istimewa
untuk mu yang selalu membela agamanya.
Hari, minggu, bulan dan tahun berlalu hari ini ia
dipusingkan dengan kegagalannya untuk yang kedua kalianya taaruf. Mungkin bukan
rasa sedih yang ia rasakan lebih tepatnya lagi rasa muak dan benci kepada
ikhwan tersebut bagaimana tidak muak dengan alasan dirinya kurang putih dan
kurang tinggi kata ikhwan yang dijodohkan dengannya. Alasan yang menurutnya
tidak wajar, ia harus sabar menghadapi realita bahwa ikhwan zaman sekarang yang
sudah membelot ketika mengartikan pernikahan dalam mencari calon isteri. Yang
hanya menomor satukan penampilan fisik saja. Mereka salah besar jika hanya
penampilan fisik yang menjadi alasan pertama untuk menikah, sampai kapanpun
Allah akan membuat jalan buntu bagi mereka yang seperti itu. Desah Nina dalam
hati.
Tetapi bagaimana pun rasa sedih itu tetap ada. Ia
bertanya dalam hatinya apakah niat pernikahannya masih ada yang salah, ia tak
memasang target tinggi. Sabar Nina jangan berputus asa, tunggulah sampai
waktunya tiba dan kau akan menyadarinya bahwan wanita baik hanya untuk
laki-laki baik pula. Berkhalawat tidak akan di ridhoi Allah, biarlah semua
ikhwan dan akhwat di luar sana tidak mementingkahn harga dirinya demi cinta
semu dari dunia yang semu ini. Ingat Nin Allah pastikan bersamamu jika kau
selalu bersamanya.
***
“Kapan kamu mau pulang Nduk? sudah lima bulan kamu
tidak menjenguk Ibu dan Bapak”. keluh Ibu dari seberang pesawat telepon.
“Ya Bu Insyallah kalau semua pekerjaan Nina sudah
selesai, Nina langsung minta cuti dan pulang kerumah.” Jawab Nina pasrah
mendengarkan keluhan Ibunya.
“Ibu sama Bapak nunggu kamu cepet pulang ya, oh ya
Nin masih ingat Assad teman SD dan ngaji kamu dulu?” tanya Ibu penasaran.
“Assad hmmmm.” Nina mencoba menggalih memorinya
“Aduh Nina udah lupa Bu, memang kenapa?” Tanya Nina santai.
“Teman kamu itu baru pulang dari Mesir hebat ya.” puji
Ibu berlebihan dengan semangat.
“Coba nanti Nina ingat-ingat dulu ya Bu tentang
Assad” Ledek Nina.
“Ibu sama Bapak sudah rindu, bulan depan kamu harus
pulang” Ucap perempuan setengan baya itu memaksa anak semata wayangnya.
“Insyallah Bu.” Nina bingung dengan obrolannya
dengan Ibu, kenapa pula Ibu harus menyinggung tentang Assad, Ternyata
percakapan dengan sang Ibu membuatnya penasaran untuk mengingat kembali tentang
masa-masa kecilnya dulu, dirinya mana mungkin lupa dengan Assad yang selalu
berada tepat tiga langkah dibelakangnya. Hanya Assad teman yang menurutnya
cerdas, ia memiliki mimpi besar untuk dapat belajar keluar Negeri. Impiannya terkabul setelah empat tahun
dirinya mondok di Gontor ia mendapatkan nilai terbaik dan lantas mampu
merbangkannya ke negeri Fir’aun. Impian setiap pemuda di kampungku pada saat
itu, bagaikan menerima hadiah istimewa dari Tuhan Assad mampu membuat siapa
saja iri dengannya.
Sambil menyelam minum air pasti kepulangannya dari
negeri pyramid dirinya sudah menggandeng wanita berwajah Cleopatra yang menjadi
pemanis kehidupan pernikahannya. Itulah yang dikatakan setiap pemuda yang
memberikan selamat kepada Assad sebelum kepergihannya.
***
“Assalamualaikum
Bu, Pak” Nina mengetok pintu rumahnya jam sudah menunjukan pukul 03.00
dini hari setelah ucapan salam yang ketiga kalinya Bapak membukakan pintu Nina
langsung meraih tangan lelaki di hadapannya dan menciumnya. Karena mendengar
suara Nina di luar, Ibu langsung bangun dan bergegas menyabut anak gadisnya.
“Pulang juga Nin?” ucap Ibu sambil sedikit menguap.
“Kan Nina kangen sama Ibu dan Bapak makanya Nina
pulang.” Jawab Nina sekenanya dan memberikannya pelukan hangat untuk menghibur
hati Ibu.
“Kamu kalau Ibu engga suruh pulang juga, kamu engga
akan pulang Nin.” ucap Ibu sembari melepaskan pelukan Nina.
“Bu Nina capek banget, Nina langsung masuk kamar ya.”
Nina berjalan meninggalkan Ibu dan Bapak yang masih ingin melepas rindu.
Setelah membuka pintu ia menaruh barang yang dibawanya pada sudut kamar, dirinya
sudah tidak bisa melawan rasa kantuk dan lelah yang menyerangnya secara
bersamaan setelah kurang lebih melakukan perjalanan selama 12 jam menggunakan
bis. Tidurlah menjadi jawaban paling terampuh baginya.
Suara adzan merobek heningnya malam, Bapak mengentuk
pelan pintu kamar Nina.
“Ya Pak, Nina bangun.” Spontan Bapak menghentikan
ketukannya. Mata Nina mengkerjip-kerjip menatap langit-langit kamarnya mengusir
kantuk yang masih setiap menghuni matanya, setelah berusahan mengumpulkan nyawa
ia bergegas membuka pintu kamar dan menuju kamar mandi. Selepas sholat subuh ia
urungkan niatnya untuk masuk dapur boro-boro mau membantu Ibu memasak, matanya
masih tidak bisa di ajak kompromi satu setengah jam mana mungkin bisa mengusir
kantuknya. Nina menuju tempat tidurnya kembali menarik selimut dan melanjutkan
mimpinya yang sempat bersambung, Ibu dan Bapak sudah memaklumi membiarkan Nina
melanjutkan mimpinya dan melepas kangen pada kamar yang menyimpan banyak
kenangan manis pada masa kecil dan remajanya.
Kamar yang menjadi saksi Nina bekerja keras pada
saat di bangku SMP dan SMA, Nina memang gemar mengumpulkan kalimat motivasi
dari beberapa orang sukses di belahan bumi. Ia rajin menulis dan memberikan
hiasan pada kalimat motivasi tersebut mungkin sipapun yang melihatnya akan terguguah
untuk mengikuti sihir. Pantas saja ia mampu menyabet beberapa piagam
penghargaan dari berbagai lomba yang mengisi masa-masa SMP dan SMA nya,
beberapa lomba yang di ikutinya mulai dari lomba matematika, SAINS sampai lomba
debat bahasa inggris, piagam tersebut memberikan kesan yang berbeda pada
dekorasi ruangan tidurnya. Orang tua mana yang tidak bangga memiliki anak gadis
yang mampu mengharumkan nama keluarga.
Beberapa pemuda yang tinggal di kampungnya pun
kadang menyampaikan niat untuk mempersunting Nina, namun di tolak dengan halus
oleh Bapak karena alasan Nina yang masih sibuk di Jakarta.
***
“Nin
umur kamu tuh sudah mau menginjak usia 26 tahun waktu yang tepat untuk
mendapatkan pendamping hidup.” Nina yang sedang mengunyah makanan langsung
menghentikan aktivitasnya dan memandang Ibu dengan seksama, hatinya berbisik
pertanyaan yang selama ini di bayangkannya akhirnya terucap juga oleh Ibu. Nina
tidak memiliki kekuatan untuk dapat menjawab pertanyaan yang dialamatkan kepada
dirinya ia hanya mampu menghembuskan nafasnya dan melanjutkan aktivitasnya
kembali.
Pertanyaann yang lontarkan Ibu mampu membuat Nina
mengurung diri dalam kamar mengingat kembali proses taaruf beberapa tahun silam yang sempat membuatnya
berderai air mata. Kontan hal tersebut mengusik hari-harinya hal yang susah
payah ia lupakan dengan deraian air mata yang tak terhitung. Dua tahunnya untuk
melupakan dua ikhwan yang memberi rasa berbeda dalam hatinya di kalahkan dengan
pertanyaan Ibu. Ia memandang langit lekat-lekat dari jendela kamarnya hari ini
tidak ada bintang yang nampak satu pun gumpalan awan hitam yang dilihatnya
mewakilkan perasaan hatinya. Menurutnya ia harus belajar memupuk rasa sabar
yang lebih selama berada dirumahnya.
Malam panjang penuh dengan kesedihan pun berlalu
dengan lambat seakan malam merangkak menuju pagi geraknya lamban membuat Nina
melewati malamnya dengan suram. Awalnya ia malas untuk sarapan bersama Ibu dan
Bapak pasti topik yang sama kemarin akan didentangkan kembali oleh Ibu bagaikan
makanan pembuka pagi ini, benar saja Ibu masih sama memberikan pertanyaan yang
tidak mampu untuk di jawab Nina paginya sudah di sambut dengan pertanyaan yang
mengusik batinnya. Malah Bapak terlihat tidak terlalu memperdulikan pertanyaan
yang di lontarkan Ibu, Bapak masih melakukan aktivitas seperti lima menit yang
lalu menikmati nasi goreng buatan Nina anak semata wayangnya. Sudah dua hari
ini Ibu mengajak Nina untuk membuka memori yang sudah lama terpendam dalam
otaknya Ibu terus saja membahas tentang satu nama yang menjadi tanda tanya
untuk Nina. Setiap ditanya oleh Ibu Nina akan pura-pura lupa dengan Assad. Ia
tidak lupa dengan laki-laki itu hampir separuh masa kecil dan remajanya ia
lewatkan bersamanya teman yang di jodoh-jodohkan olehnya ketika mengaji di
surau kampung, tapi kondisinya saat ini berbeda dengan masa lalu mana mungkin
Assad mampu mengalihkan pandangannya dari pesona Cleopatra yang lalu lalang di
Negeri tempatnya menimba ilmu, seekor serigala tidak akan mampu melewatkan
daging segar yang disuguhkan untuknya. Ia hanya berkilah setiap kali nama Assad
yang terucap dari mulut Ibu Nina hanya tidak mau membahas ikhwan yang satu
itu.
***
Selama di rumah Nina banyak menghabiskan waktu di
dalam kamar, keluar dan menyapa tetanggnya pun Nina tak mau. Sekalipun ia
keluar akan banyak pertanyaan yang membuatnya kesal.
“Nikahnya kapan neng? “Kok belum menikah kan sudah
tua.”
Itu baru sedikit pertanyaan yang pasti akan
dilontarkan, aka nada yang lebih menyat hati lagi. Makanya Nina memutuskan
menghabiskan waktu di dalam rumah pasti lebih baik.
***
Selepas makan malam Ibu mengutarakan alasan
sebenarya menyuruh Nina untuk pulang
“Nin Ibu sudah tidak bisa lagi menunggu kamu
mendapatkan calon pendamping pilihan kamu sendiri, sudah terlalu lama Ibu menunggu
kamu memberitahu Ibu dan Bapak tentang laki-laki yang mampu menarik hati dan
perhatian mu, Ibu berusaha untuk bersabar menunggu hal tersebut tetapi sampai
usia mu yang sudah hampir 26 kata tersebut tidak sekali pun pernah terlontar
dari mu Nak.” Ibu berbicara dengan lembut nafasnya diatur sesuai dengan
intonasi suaranya tangan Ibu menggenggam pundak Nina yang duduk disebelahnya.
“Maafkan Nina bu kalau ternyata Ibu dan Bapak
menunggu lama untuk Nina memberitahukan laki-laki yang mampu mengisi hati Nina.”
Nina tak mampu menatap mata kedua orang tuanya matanya hanya mampu menatap
lantai bewarna kuning ruang tamunya.
Nina
memantabkan hatinya pada malam itu untuk memberitahukan proses taaruf ia dengan
Galih yang gagal. Nina menceritakan secara detail tentang kesamaan ia dan Galih
yang memiliki gen carier. Ibu
berusaha untuk menghibur Nina dan tidak lagi berlarut dalam kesedihan seorang
diri. Nina sudah bias menebak kearah mana pembicaraan ini bermuara, terlebih
Ibu dan Ayah selalu membahas topik ini selama satu bulan kebelakang. Malam ini
ia pasrah dengan siapa dirinya akan di jodohkan bukankah ridho Allah itu ada
pada ridho orang tua.
Ibu dan Bapak pasti sudah memikirkan dan
mempertimbangkan hal ini dengan baik. Sipapun ia yang terpenting soleh karena soleh
dapat mengalahkan segala kenikmatan di dunia ini. Rajin membaca qur’an,
menjalankan sunnah Rasul, dan bertutur kata baik ia akan rela dijodohkan
olehnya.
“Bapak tau Nin mungkin kamu akan kaget setelah
mendengar apa yang nanti Bapak dan Ibu sampaikan.” Kata-kata Bapak memecah kesunyian
intonasi suara Bapak tidak mampu mengalahkan suara jangkrik di luar sana. “Ini
sudah rencana kami untuk menjodohkan kamu dengan Assad.” Nina kaget bukan
kepalang mendengar Nama Assad keluar dari mulut Bapak. Apakah ia tak salah
dengar tentang satu nama itu. Ada tanda tanya besar sekarang yang mengisi
fikiran Nina.
“Mengapa harus Assad bu? Tidak kah ada yang lain
yang akan Ibu jodohkan untuk Nina.” Sontak
pertanyaan tersebut keluar dari mulut Nina, dirinya juga kaget mengapa
pertanyaan tersebut yang keluar. Ia hanya tidak mau nasibnya sama dengan tokoh
yang ada pada buku yang pernah dibacanya pudarnya pesona Cleopatra si isteri
yang nelangsa menghadapi sikap acuh suaminya karena dirinya tak secantik
bidadari dari negeri Fir’aun tempat studi suaminya. Apakah dirinya akan
merasakan hal yang sama. Jika menikah dengan Assad.
“Assad sendiri Nin yang menunjuk kamu untuk menjadi
isterinya.” Ada senyum di wajah manis Ibu. Ibu melanjutkan ucapannya, dulu
sebelum Assad pergi ke Mesir ia sangat menghawatirkan hal ini, apakah nanti
setelah ia pulang dari Mesir kamu sudah di sunting orang, ataukah nanti ketika
ia pulang dari Mesir kamu sudah memiliki beberapa anak buah dari pernikahanmu
dengan orang lain. Bahkan Assad sempat berfikir untuk menolak bea siswa
tersebut, tetapi Ibunya memantabkan Assad untuk melanjutkan studinya ke Mesir
dan menitipkan mu pada Allah, dengan bermodal doa yang selalu di lantunkan
kepadaNya ia percaya bahwa Allah yang akan menjaga mu untuk dirinya.
“Sebelum Assad ke Mesir tadinya ia berniat ingin
kata yang sejujurnya kalau ia ingin menikah dengan Ninan tetapi ia mengurungkan
niatnya karena mana mungkin ia yang berasal dari keluarga yang serba kekurangan
mampu mempersunting putri seorang lurah.”
“Sekembalinya
ia dengan mengandeng gelar istimewa yang bersanding dengan namanya dapat
menjadiknnya ia pantas memiliki pendamping seperti Nina. Ketika Assad pulang dan
mengetahui bahwa kamu belum menikah ia selalu membujuk Ibunya untuk segera
mengutarakan niatnya melamar mu Nin.”
Butiran-butiran bening jatuh satu demi satu dari
pelupuk matanya, ia sangat kagum dengan skenario yang Allah gariskan padanya.
Sedikit demi sedikit ia mengerti ternyata ada ada seseorang yang selalu
memanjatka doanya untuk dapat membina rumah tangga bersamanya.
“Kalau kamu setuju pernikahan akan di langsungkan
dua hari kemudian, karena Assad sudah harus bekerja di salah satu pesantren
modern di Bandung.” Bapak menyadarkan lamunan Nina
Nina hanya bisa mematung memandang kedua orang
tuanya skenario apa yang sedang Ar-Rahman atur untuk dirinya. Tuntas sudah
malam itu ia membuang jauh-jauh rasa sakit yang pernah terjadi pada dirinya
tentang proses taaruf yang kandas, proposal yang di tolak mentah-mentah
ternyata itu semua dibayar oleh Allah dengan harga yang sangat mahal. Assad
sudah lama memendam kagum pada Nina, dan ada satu nama yang sedang memantaskan
dirinya untuk dapat menikah dengan Nina.
Assad pun sempat bingung ketika mendapatkan bea
siswa dari Mesir apakah harus ia terima karena untuk mendapatkan predikat LC dari sana bukan hal mudah ia harus
bersusah payah dan menghabiskan waktu yang lama untuk sebuah pendidikan,
terlebih lagi Nina teman kecil yang memiliki perhatian khusus dihatinya
mungkin saja dipersunting orang lain.
Namun alasan tersebut ia enyahkan dalam benaknya ia percaya di pertiga malam ia
bisa merayu Allah tentang hal tersebut. Berdoa kepada Allah semoga Nina masih
tetap single sampai dirinya mampu untuk mempersunting Nina.
Dengan lulusan salah satu universitas ternama di
Mesir dan segudang prestasi yang di raihnya ditambah predikat cum laude yang menghiasi ijazahnya mampu
meluluhkan hati Nina, dan ternyata ada satu hal yang tidak pernah di lupakan
oleh Nina kelembutan hati Assad sejak masa kanak-kanak dan remajan masih bisa
di rasakan Nina sampai saat ini.
Setelah di mabuk kepalangan dengan kenyataan Assad
memiliki niat untuk mempersunting dirinya tak lupa Nina meminta nasehat dari Umi
Ida ia berbincang lewat pesawat telephon sampai larut malam mengenai langkah
apa yang harus ia tempuh, Umi Ida menyarankan Nina untuk meminta jawaban
terbaik dari Allah.
***
Mungkin ini bukan kisah romantis atau kisah cinta
terbaik yang dapat mengalahkan kisah romeo dan Juliet, kisah Jodhan dan Akbar,
atau kisah Nabi Lukman dan Ratu Bilqis. Namun kisah cinta yang terjadi dalam
kehidupan kita masing-masing adalah kisah cinta yang paling menarik, berharga,
yang mampu menerbangkan diri kita sendiri. Pernikahan indah yang di
tunggu-tunggu oleh semua wanita, pangeran berkuda putih atau kah abu-abu itu
tak jadi masalah ketika pangeran tersebut sudah mampu menerobos benteng terkuat
dalam hati seorang wanita makan kata pantaslah yang keluar menjadi ucapan
setiap orang. Ternyata memupuk rasa sabar dan deraian air mata itu satu hal
yang amat penting bagi siapa saja yang bersedia mengizinkan Allah mengatur
kisah cintanya.
Percayalah di luar sana mungkin ada seseorang yang
sedang merayu Allah siang dan malam untuk menjadikan kita sebagai pendamping
hidupnya untuk bersama-sama membangun benteng dakwah dalam sebuah pernikahan
yang halal. Semoga siapapun kalian yang selalu menjadikan agama Allah sebagai
lahan dakwah tidak akan terkalahkan dari sikap iblis yang selalu mengganggu
jalan halal kita menuju pernikahan. Sadarlah bahwa ghodul bashor itu nikmat dan khalawat
itu menyedihkan. Ayo sama-sama meraih surga Allah dengan pasanga halal yang di
takdirkan untuk kita.
Tangerang,
17 Agustus 2017
Indahnya
Melukis Hari
KECE Day 1
KINI DEWALOTTO MENYEDIAKAN DEPOSIT VIA PULSA TELKOMSEL / XL
BalasHapusUNTUK KEMUDAHAN TRANSAKSI , ONLINE 24 JAM BOSKU ^-^
WWW.DEWA-LOTTO.NAME
WA : +855 88 876 5575