Sabtu, 03 Agustus 2019

Tegar dalam hijrah








“Tidak ada satupun makhluk bernyawa di muka bumi ini steril dari dosa dan suci dari maksiat”
NA


 Nanar mataku menatap tubuh kaku berselimut kain putih, satu dua kali menggigit bibir bawah, tisu yang kugenggam entah lembar keberapa untuk menyeka sedih. Seperti ada sebuah tangan meremas kuat hatiku sesak dan terisak saat para penggali melempar tanah pada lubang kesedihan. Spontan tangan kananku memukul-mukul dada agar paru-paru lebih leluasa mendapatkan udara, tersungkur tepat di samping keranda. Kurebahkan kepala di atas keranda, para pelayat ikut menitikan air mata sedih melihat dukaku.
“Ma…aaf Mi.” terbata-bata sulit untuk diucapkan, menyekat hanya sampai tenggorokan, maaf yang dapat kuucapkan sedari pagi. Berharap Mia yang sudah tenang di alam sana memaafkan kesalahanku, kebodohan atas tindakanku yang kini menyiksa batin, bagaimana aku bisa meneruskan hari saat semua orang berteriak akulah pembunuhnya.
Satu jam lalu diriku tidak diizinkan mendekati kuburan Mia, lemparan tatapan seakan sedang meneriakiku “Hey pembunuh tak tahu malu menampakkan batang hidungmu”. Hampir separuh pelayat teman sekolahku, tajam bola mata mereka menatapku seakan ingin menerkam. Seperti seekor kelinci yang masuk dalam kandang macan. Walau aku tidak tahu apa yang sedang mereka pikirkan namun sepertinya mereka berbisik menghujatku.
Seorang wanita separuh baya berjalan mendekatiku ia mengangkat tangan kirinya ke atas tamparan mendarat di pipi sebelah kananku, panas rasanya wajah putihku memerah sebuah cetakan tangan terlukis di pipi. Belum puas sampai di situ saja dirinya meronta-ronta berteriak mengeluarkan sumpah serapah, lalu  menyeret tubuhku agar menjauh dari mayat anaknya. “Kurang ajar, pembunuh, brengsek.” Tangannya mencengkeram kuat kedua bahuku “Kenapa bukan kamu yang mati.” Untuk yang ke dua kalinya tamparan mendarat di pipi tetap di tempat yang sama.
Teriakannya semakin mengeras, para pelayat terpana melihat apa yang terjadi, Mas Adam kakakku memegang kedua tangan Bu Dona. Aku menoleh ke arah Mas Adam dan  menggelengkan kepala menolak bantuannya mungkin orang tua ini akan merasa puas setelah meluapkan emosinya. Tiba-tiba wanita tersebut jatuh lemas tak bertenaga namun masih dapat terdengar isakannya.
Diriku berjalan pelan terisak sambil memukul-mukul dada semua pasang mata menggeser posisi mereka memberi jalan agar aku lebih leluasa. Seperti ada jeli di kakiku lemas tak kuat menopang tubuh tersungkur tepat di samping keranda, di sanalah Mia tertidur berselimut kafan. Seluruh tubuhnya terbungkus kain putih lekat-lekat aku memandangnya, tangan kiriku mengelus-ngelus tubuhnya sambil terus meminta maaf namun sulit untuk keluar. Mulutku hanya menganga tanpa suara.
“Neng jangan dibuka.” Seorang laki-laki separuh baya menggunakan baju koko lengkap dengan kopiah dan sorban meneriakiku saat hendak melepas tali kain kafan yang membungkus Mia.
Aku tidak menghiraukan teriakannya, tanganku siap membuka tali, terhenti saat melihat ada warna merah di kain bagian kepala. Ke dua tanganku mengatup mulut air mata sudah menganak sungai mata beloku semakin menyipit. “Kapan lagi kamu bisa melihat wajah Mia.” Batinku dalam hati. Dengan keberanian yang kubuat-buat “Bismillah.” Aku membukanya bapak yang tadi melarangku pasrah dengan apa yang kulakukan.
Ada bekas jahitan di pelipis sebelah kanan persis seperti boneka Chaky kulitnya tak lagi memutih melainkan membiru, wajahnya terlihat lebih besar karena hantaman motor kemarin sore. Seketika seluruh tubuhku ngilu saat melihat wajah Mia, namun yang membuatku senang saat itu wajah Mia cantik sekali sebuah bulan sabit terukir di bibirnya
***
Dua bulan lalu.
Wajah putihnya terlihat cantik dan enak dipandang saat balutan jilbab menutupi auratnya. Berjalan menundukkan pandangannya sambil memainkan jari-jari tangan  menerobos keramaian. Seketika Mia menjadi pusat perhatian beberapa orang yang ada di lapangan, karena bel masuk belum berbunyi banyak dari kami yang menghabiskan waktu duduk santai di koridor yang dipenuhi kursi.
“Eh siapa tuh.” Eka mengarahkan kami untuk melihat apa yang menarik perhatiannya.
Subhanallah ada akhwat baru.” Mika tersenyum saat melihat perempuan yang membuat kami penasaran.
“Akhwat baru masa si, bukannya selama ini kita selalu up date  anak-anak yang baru hijrah.” Jawab Bella sambil memutar kedua bola matanya dan menggerakan kepala. Kami semua berpikir siapa akhwat yang menunduk itu.
“Dari gesture dan cara jalan serta tinggi badanya sepertinya Ana kenal.” Jawabku sok tahu, aku hafal betul siapa pemilik tubuh itu sekali memperhatikan detail penampilan dan tubuhnya mudah menebak siapa akhwat berjilbab putih tersebut.
“Siapa memang?” Bella semakin penasaran.
“Mia.” Sambil menjentikkan jari, mengedipkan satu mata sebelah kanan dan membunyikan lidahku.
Binggo Mia mengangkat pandangannya kami sama-sama bertemu pandang, sama dengan apa yang di lakukan Eka, Bella dan Mika diriku juga menyapu pandangan dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Mia berjalan melewati kami sambil belari kecil ia menaiki anak tangga, mata kami mengekor mamandang bagian belakang tubuh mungilnya tepat di anak tangga yang ke delapan Mia lenyap dari pandangan kami.  
“Ada apa dengan penampilannya hari ini.” Mika mengajukan pertanyaan.
“Iya kenapa kok tiba-tiba dia berubah.” Belum juga Mika mendapatkan jawaban, namun Bella sudah mengajukan pertanyaan lagi.
“Entahlah.” Sambil mengangkat kedua bahu dan menurunkan kedua bibirnya ke bawah, sebagai jawaban Eka atas pertanyaan Mika dan Bella.
“Itu hak dia pakai apa saja boleh. Memang ada undang-undangnya, yang penting sopan dan enak dipandang why not. Jawabku sambil merangkul ketiga temanku dan mengajak mereka untuk masuk ke dalam kelas, karena dua menit lagi pasti bel akan berbunyi.
Aku yakin siapapun setuju dengan pendapatku Mia cantik saat menggunakan jilbab, wajahnya seperti aktris Indonesia yang sedang naik daun Tatjana Saphira. Alis tebal terukir indah hidung lancip menarik kedua matanya menjadikan dirinya selalu enak untuk dipandang, bibir tipis berwarna merah muda sumber dari kecantikannya. Belum lagi kulit mulus dan putih seputih susu.  Banyak laki-laki yang memuja dirinya, Mia pun selalu percaya diri dengan penamilannya tetapi tidak dengan pagi ini.  
            “Cantik si, tapi sayang munafik.” Aski anak paling tomboy di sekolah angkat bicara saat Mia memasuki kantin.
            “Jangan-jangan pakai jilbab untuk menutupi perut buncitnya.” Abdul laki-laki keturan Padang yang dahulu suka sekali dengan Mia, bahkan beberapa kali mengemis untuk memacarinya. Tapi kali ini ia malah ikut mencibir.
            “Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh.” Sambil tersenyum meremehkan Difa menambah deretan cacian untuk Mia.
            “Muka si boleh polos, tapi kelakuan minus.” Agung menggebrak meja, mangkuk dan sendok yang ada di dekatnya langsung terangkat dan jatuh kembali mengeluarkan bunyi yang cukup merusak pendengaran.
            Sedih Aku, Eka, Bella dan Mika memanandang Mia, Ada rasa yang mengalir dalam dada saat melihat Mia menitikan air mata tanpa melawan atau melakukan pembelaan. Merasa Mia menjadi tanggung jawabku untuk membantunya tegar dalam hijrah. Geram rasanya ingin sekali diriku membelanya, dan mencaci maki balik orang-orang yang memusuhi Mia. Dengan mengumpulkan kekuatan aku berdiri dari dudukku.
            “Apakah kalian sudah bersih dari dosa?”  Dengan lantang aku menanyai semua orang yang ada di kantin. Seketika mereka menghentikan aktivitas, beralih memandangku. Aku mengedarkan pandangan seperti bumi yang selalu berputar siang malam, memandang lekat-lekat. Sunyi hanya suara minyak panas milik Bang Udin yang sedang menggoreng batagor memecah kesunyian.
            “Tidak ada. Mengapa taubat seseorang harus kalian cibir.”  Bumi berputar dan jangan senang dahulu, belum tentu selamanya kita suci, tugas kita hanya mendukung perubah dirinya ke arah yang lebih baik.” Lanjutku berteriak lantang namun masih dapat mengatur emosi dalam diri. Kedua tangan kukepal kuat-kuat mencari energi.
            “Bu Haji ceramah jangan di sini. Masjid kosong noh.” Bayu kapten basket berjalan ke arahku sambil berteriak lantang. Suasana yang tadinya sunyi, kini riuh dengan tawa. Joko tertawa sampai seluruh gigi gerahamnya terlihat. Siska memukul-mukul meja tanpa bisa menghentikan tawanya.
            “Berisik, udah salah dibela lagi. Mau jadi Superman eh salah maksud gue Wonder Women ” Chika melipat ke dua tangannya di dada masih tetap dalam posisi duduknya. Ia Berkomplot dengan Bayu untuk mematahkan pendapatku.
            Kini mata teman-teman beralih memandang Chika yang sedang duduk bersama gengnya yang sama kacau dengan dirinya.  Pandanganku beralih kepada Mia ternyata Bella, Mika dan Eka sudah berdiri tepat di sebelahnya. Cairan hangat yang sedari tadi ditahan tumpah membasahi pipinya, terkatup bibir tipisnya. Aku bisa menangkap dari sorot matanya yang memandangku seakan-akan Mia sedang mengucapkan terima kasih.
***
            Perubahan Mia memang tidak alamiah lahir dalam dirinya, terpaksa ia memakai jilbab saat datang ke sekolah. Karena sebuah gosip yang beredar bebas selama satu minggu ini, entah siapa yang menyebarkannya yang jelas mulai dari siswa, guru, OB dan penjual makanan di kantin tahu semua tentang Mia. Tanpa terkecuali diriku, awalnya aku tidak percaya seratur persen dengan gosip yang beredar. Namun sore itu disebuah taman dekat sekolah dengan lancar dan tanpa ditutupi sama sekali Mia menceritakan tentang dirinya.
Bermula saat ia mengenal laki-laki itu. Mia memiliki hubungan yang biasa saja dengan lawan jenis, sentuhan dan kecupan hal wajar bagi pasangan muda mudi saat ini. Namun lambat laun ia terperosok dalam hubungan yang sudah masuk kategori di batas wajar. Karena kebodohannya tentang ilmu agama antara batasan perempuan dan laki-laki, mengantarkannya menuju pintu zinah.
“Memang kamu tidak tahu sama sekali tentang hukum zinah?” Diriku berusaha untuk mengkonfirmasi ulang apa yang diucapkannya.
“Demi Allah aku enggak tahu.” Mia menyeka air matanya, ia menengadahkan kepala menatap langit. Menghirup udara panjang lalu menghembuskannya.
“Mi maaf ya kalau aku menyinggung perasaan kamu, apa yang kamu lakukan itu salah.” Sambil menggigit bibir bagin bawah, aku berkata dengan hati-hati.
“Ya aku tahu.” Ia kembali terisak. “Pak Ridho sudah menceramahiku panjang lebar tentang hukum dari kesalahan yang aku lakukan.”
Alhamdulillah kalau kamu sudah tahu, semoga dengan ini kamu akan lebih hati-hati lagi.” Aku tersenyum sambil mengusap punggung Mia. Dirinya memandangku lalu menarik ke dua pipinya nampak semua deretan gigi depannya, lesung pipinya menjadi hiasan indah dari pahatan Tuhan di wajah Mia. Lalu ia melanjutkan ceritanya.
            Seluruh warga sekolah geger dengan gosip yang berjalan cepat seperti sel kanker. Dari satu orang yang mengetahui aibnya bertambah menjadi dua, tiga lalu menjamur tanpa bisa dihentikan. Yang tadinya Mia dikenal karena kecantikannya namun kini ia terkenal karena kebusukannya. Semua teman menjauh begitupun dengan teman satu gengnya tidak ada yang mengulurkan tangan apalagi merangkulnya. Padahal yang mengenalkan Mia dengan cowok yang merenggut keperawanannya Desi teman satu geng Mia.
            Sebelum masalah ini menimpahnya banyak orang yang senang bermain dengan perempuan yang memiliki lesung pipi. Mereka sering menghabiskan waktu, tertawa, becanda dan jalan-jalan ke mall. Tapi kini semua menjauh darinya, layaknya seperti orang yang sedang membawa virus. Semu pergi karena takut tertular. Dengan cepat gosip sampai ke telinga guru BP, kini Mia termasuk siswi yang memenuhi catatan hitam terburuk sepanjang sejarah di sekolah kami.
            “Bapak hanya mau konfirmasi, selama kamu belum memberikan kesaksian. Berita yang menyudutkan kamu ini hanya gosip yang belum tentu kebenarannya.”  Pelan suara Pak Ridho saat menanyai Mia.
            “Saya memang bodoh Pak, gosip itu benar.” Mia menjawab pasrah pertanyaan Pak Ridho, kepalanya menunduk matanya menatap lantai, tidak berani menatap langsung lawan bicaranya. Pak Ridho menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan angin kepasrahan. Ia memijat-mijat kepalanya sambil memejamkan matanya. Tersambar petir di siang hari yang bolong.
            “Karena kamu sudah mengakuinya, Bapak akan memanggil orang tua kamu untuk datang ke sekolah.” Kini perkataan Pak Ridho sudah lebih tegas. Jauh dari imagenya.
            “Ini masalah serius, kamu pasti tahu resikonya.”  Lanjut laki-laki yang kini menggunakan kemeja berwarna biru muda. Hening hanya tarikan nafas yang sesekali terdengar.
Tiba-tiba suara isak tangis memecahkan kesunyian ruangan 2x3 meter. Pak Ridho memandang anak didiknya lekat-lekat, dalam pandangannya juga ada air  mata yang ia sembunyikan saat Mia membenarkan gosip yang beredar. Sebagai guru ia merasa gagal dalam  membimbing anak muridnya ke jalan yang Allah ridai.
***
            Dari kejauhan aku bisa melihat Mia dan ke dua orang tuanya memasuki ruang Pak Ridho. Gosip langung menyebar dengan cepat. Ada yang bilang Mia akan dikeluarkan, skorsing, atau dicoret dari kartu keluarganya. Kami semua tidak bisa melihat sandiwara apalagi yang sedang terjadi di ruang Pak Ridho.
            Aku, Bella, Mika dan Eka hanya dapat menunggu dengan cemas kabar dari Mia. Mulut kami bergerak-gerak sambil mengucap asma Allah mencoba mengetuk langit semoga kasus yang menimpa Mia dapat terselesaikan dengan baik tanpa Mia harus putus sekolah atau angkat kaki dari sini.
            “Gimana Mia.” Bella berlari menghampiri Mia yang baru saja menginjakkan kaki di dalam kelas.
            Matanya sembab hidungnya memerah berung kali ia menggigit bibir bawahnya sambill memejamkan mata lalu terisak kembali.
            “Duduk dulu.” Mika mempersilahkan Mia duduk di kursinya. Aku menyodorkan aqua gelas pada Mia.
            “Alhamdulillah aku masih diizinkan sekolah, tapi dengan catatan harus masuk rohis.” Mia menangis dalam pelukan Eka. Tangan kanan Eka mengusap-usap punggung Mia memberikan ketenangan bagi dirinya.
            Walaupun masih banyak teman yang mencibir dan memandang remeh dirinya namun tidak membuat Mia patas semangat. Ketika diriku bertanya pada Mia yang tepenting bagi Mia adalah ke dua oran tuanya dan beruasaha memperbaiki diri ke arah yang lebih positif cacian dan makian yang dialamatkan bagi dirinya akan menjadi sumber kekuatan.
***
            Awalnya ia malu dan malas bergabung dengan anak rohis. Tetapi Pak Ridho memiliki banyak mata-mata yang memperhatikannya. Sekali ia membuat kesalahan maka akan berdampak fatal. Aku, Eka, Mika dan Bella berusaha untuk menguatkan Mia dan percaya diri bergabung dengan kami di rohis.           
            Hampir seluruh anggota rohis menerima Mia dengan senang hati, menyambut kehadiranya seperti tamu istimewa. Tidak pernah sekalipun aku mendengar mereka membahas tentang kesalahan Mia. Aku bisa melihat dari sorot optimisnya lambat laun Mia merasakan seperti hidup kembali, layaknya anak sekolah yang sibuk sama pekerjaan rumah, ekstrakulikuler dan membahas hal yang sedang naik daun.
            “Apa si yang membuat kamu yakin banget temenan sama kita?” Suatu hari aku bertanya pada Mia, sambil menunggu angkutan umum yang belum juga datang.
            “Sebenarnya ada kata-kata Pak Ridho yang menurut aku masuk akal banget.”
            “Apa?” Sambil menaikan sebelah bibir bagian kanan dan mengerutkan kening aku dibuat penasaran dengan Mia.
            “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya. Dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi bisa jadi percikan apinya mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak bau asapnya yang tak sedap.”  Ucap Mia tersenyum dan menggenggam tangan kiriku.
***
            Aku duduk termenung seorang diri memandang awan hitam, bintang-bintang bertaburan berkelip-kelip seakan melemparkan senyum padaku. Angin berhembus memanjagakan kulit. Pikiranku kembali pada saat Mia menceritakan kisah pilunya,  satu dua kali aku mendengar Mia mengutuk diri karena dengan mudah menyerahkan satu-satunya hal berharga dimilik seorang wanita.
Entah setan apa yang merasuki dirinya dengan mudah ia percaya perkataan laki-laki biadap itu. Air matanya menganak sungai berharap dengan jatuhnya air mata itu dapat menghapuskan dosa-dosa yang terdahulu. Karena kalau bukan karena belas kasih Allah ia tidak akan dapat merasakan nikmatnya tinggal di dalam surga.
            Tiba-tiba sebuah pesan masuk mendarat di telepon genggam. Aku tersadar dari lamunan segera meraih telepon genggam dan membukanya.
            Assalamualaikum Ukhti. Besok jangan lupa ya kita ada agenda ke kantor Duta Bangunan untuk mengantarkan proposal acara pentas seni islam. Ditunggu sekali kesediaan waktunya.”
             Ia tersenyum kecil membaca pesan masuk dari Mia. Padahal dirinya anggota baru tetapi semangatnya luar biasa. Rohis di sekolah kami akan mengadakan pentas seni islam dan membutuhkan dana yang tidak sedikit, tentunya agar acara tersebut dapat terealiasasi aku dan teman-teman juga harus mencari dana.
            “Ok Ukhti manis yang senang sekali pakai gamis. Syukron sudah diingatkan.”  Setelah mengetik balasan aku menyentuk tanda panah beberapa detik kemudian pesan terkirim dan tanda ceklis dua berwarna biru terlihat di layar telepon genggamku.
             Padahal baru dua  bulan diriku berteman dengan Mia namun seperti ada tarikan batin antara aku dengan dirinya, mungkin ini yang disebut dengan ukhuwah islamiyah kami sama-sama mendukung dalam kebaikan terutama masalah ibadah dan pelajaran. Cacian dan cibiranpun sudah tidak terdengar lagi, dengan cepat masalah ini dilupakan oleh teman-teman. Tentu ini semua karena Allah berkat pertolongan Allah Mia dapat melewatkan cobaan berat yang mungkin kalau kami bertuka posisi aku tidak bisa melewatinya semudah yang Mia lakukan.
***     
            “Mi helemnya dipakai.” Aku memerintah Mia sambil menyalahkan motor.
            “Ya Ukhti sholihah nanti aku pakai.” Sambil tersenyum Mia meyakinkanku.  Motor yang kukendarai membelah jalan, tiga puluh menit  lagi adzan magrib berkumandang. Langit berubah jingga namun awan mendung yang lebih mendominasi.
            “Kamu mau buka puasa di mana?”
            “Di rumah saja Des, Ibu sama adik sudah menunggu.”
            “Yasudah kalau gitu aku percepat ya jalannya.”
            “Ya, tapi tetap hati-hati.”
            Hari ini hari kamis, puasa sunah senin kamis sudah rutin kami jalankan seperti saat ini. Karena sudah sore aku berusaha untuk mengendarai motor dengan cepat karena kami sudah kejar-kejaran dengan waktu. Gerimis membasahi jalan dan pakaian kami aku bisa merasakan dinginnya angin sampai menusuk tulang.
            Sebuah truck melaju tepat di sebelah motor yang aku kendarai, aku berusaha untuk menguasai laju motor dan memelankannya. Berusaha mencari aman truck berjalan di depan kami sekitar lima langkah dari posisiku saat ini.
            “Kok melambat Des.” Mia berteriak dari posisi belakang. Suaranya sayup-sayup terdengar karena bersaing dengan angin.
            “Ada truck.” Jawabku singkat.
            Entah mengapa walaupun aku sudah berusaha untuk menghindar dari truck tersebut kami menjadi bersebelahan kembali. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan lebih cepat agar tidak bersebelahan lagi dengan truck tersebut. Tapi saat aku menaikan kecepatan tiba-tiba truck tersebut menyamai kecepatan kami. Dan dengan motor yang aku kendarai oleng karena tersenggol body truck,  aku masih berusaha memegang kendali.
            Entah apa yang diucapkan Mia aku tidak dapat menangkap ucapannya karena, susah payah aku mengendalikan stir saat berada dalam dua pilihan. Membanting stir ke kiri diriku dan Mia akan jatuh dari ketinggian, atau membanting stir ke kanan resiko lebih parah bisa-bisa mereka tergilas kendaraan lain yang saat itu sama-sama sedang melintasi jalan.
            “Bismillah. Ya Allah tolong hamba.” Batinku dalam hati, memilih membanting stir ke kanan, sadar akan resiko berat di balik pilihanku tapi mana yang lebih baik aku tidak mengerti. Motor yang kukendarai oleng, kehilangan keseimbangan. Belum lagi ada Mia di belakangku yang saat itu nyawanya juga menjadi taruhan.
            Suara hantman benda keras memengkingkan telinga, beberapa orang yang sedang asik bersantai di pinggir jalan menoleh ke arah kami. Motor yang aku kendarai jatuh menimpa tubuhku, dengan cepat aku berusaha untuk menyingkirkan motor. Namun tidak semudah itu, karena kehabisan tenaga aku kesulitan untuk menggesernya. Posisiku jatuh di sebelah kiri pinggir jalan terbilang aman, bensin dari tangki merembas keluar mengenai dengkulku.
            “Perih, aduh sakit.” Pasti ada luka di dengkulku.
 Mia terpental satu meter dari arahku posisi Mia tiduran membelakangiku. Ternyata Mia tidak menggunakan helemnya, helm menggelinding ke pinggi jalan sebelah kanan. Jalanan sepi beberapa detik aku masih bisa melihat Mia berusaha bangun dari jatuhnya, lalu ia memutar tubuh mungilnya kehadapanku, wajah putihnya memerah meringis menahan sakit. Ia tidak bisa total berdiri mungkin bagian pinggulnya ada yang terluka. Beberapa detik kemudian dari arah belakang tanpa Mia sadari pengendara motor melaju dengan cepat menghantam tubuh Mia.
            “Miiiaaaa awas.” Aku menjerit kencang sampai merasakan sakit di tenggorokan berharap jeritan ini dapat menghentikan waktu, ingin lari ke arahnya tetapi tidak bisa motor masih menjepit kakiku. Terlambat kepala Mia sudah lebih dahulu terhantam motor. Tubuhnya mental beberapa jarak membuat jilbab putih yang dikenakannya tersibak, pengendara motor yang menabraknya lari kocar kacir. Tidak bertanggung jawab ataupun menoleh ke belakang melihat korban yang baru saja ditabraknya.
            “Ya Allah.”
            Akhirnya aku berhasil setelah susah payah menyingkirkan motor, berjalan gontai mendekati tubuh Mia. Sakit di dengkul sudah mati rasa, aku merasa seakan darah berhenti mengalir dalam tubuh. Orang-orang mulai mendekati Mia, seorang Bapak berlari dari arah belakangku dengan mudah aku terjatuh padahal ia tidak keras menyenggol tubuhku. Para pengendara menghentikan laju mereka motor dan mobil terparkir sembarangan. Jalanan macet. Semua pandangan teralih ke Mia.
            Aku berusaha bangun dari jatuh mengepal kedua tangan lalu mendorong tubuh agar terangkat, mengumpulkan sedikit tenaga yang masih tersisa. Aku merasakan kembali sakit di dengkulku. Saat itu aku tidak bisa menangis kencang air mata dan tetesan hujan menjadi satu, gontai tubuh lemahku memungut jilbab putih Mia basah dan kotor terkena tanah.
            Tangan kananku memegang jilbab Mia sambil berjalan mendektinya, semua orang yang semula mengerubungi tubuh kaku milik Mia menyingkir memberikanku jalan. Rambut panjang berwarna hitam pekat tersibak, lepek terkena air hujan. Kubentangkan jilbab di kepalanya dengan tujuan menutupi aurat yang sudah dua bulan ini ia jaga dengan baik.
            “Bangun Mi.” Sambil menggoyang-goyangkan tubuh Mia, aku berharap ia hanya pingsan. Kurebahkan kepala Mia dalam pangkuanku, darah segar megucur seperti keran. Wajahnya membiru dan membesar, kerudung putih kini berubah menjadi merah, basah dan bau anyir dapat aku rasakan. Baju seragam berwarna putih milikku kini sama seperti kerudung Mia.
            “Gotong. Pindahkan ke pinggir.”  Seorang laki-laki paruh baya mengkomandoi para penonton. Dengan cepat semua bergerak. Dua orang laki-laki membantuku berdiri. Tiga orang pengendara motor dan dua orang pejalan kaki membopong tubuh Mia yang kini sudah tak bernyawa. Ada beberapa daging yang berjatuhan dari kepala Mia. Kerudungnya terbuka kembali.
            Aku melihat keadaan ini sangat genting, air mata sudah tidak dapat terbendung lagi. Kepalaku pusing memikirkan jawaban apa yang harus kusampaikan pada orang tua Mia. Sepuluh menit lalu aku masih bisa merasakan cengkraman tangan Mia pada pinggangku namun kini cepat sekali Izrail menarik keluar nyawa dari dalam tubuh Mia.
            “Aduh ini mah kepalanya pecah.”
            Kata salah satu orang yang mengangkat tubuh Mia. Aku langsung berlari menghampiri Mia mencari kebenaran ucapan Bapak yang menggunakan jaket hijau. Jadi daging yang tadi ku lihat adalah isi dari kepala Mia. Sebuah lubang menganga di sebelah kiri kepala Mia, kedua mata Mia terpejam seperti orang yang sedang tertidur pulas.
            Seperti orang gila yang kehilangan akal, diriku berlari memunguti daging yang berserakan di jalan. Meletakannya di atas jilbab lebarku, sambil terus sesegukan dan mengucap kata maaf. bayangan-bayangan tentang kebersamaan kami terlintas dalam pikiranku.
            Ana mau jadi orang yang paling berguna di mata Allah. Bukan mata manusia.”
            “Insyallah acara pentas seni islam pasti berjalan lancar.”
            “Ukhti jangan lupa sholat malam, selipkan doa untuk Ana ya. Semoga Allah memafakan kebodohan diri yang fakir ini.”
            “Kalau mau berbuat baik jangan tunda sampai besok, karena maut enggak mau nunggu.”
***




Rabu, 24 Juli 2019

Virus Merah Jambu



“Menurut kalian ini salah gue? Syahadat kita masih sama, sholat lima waktu, puasa sunahpun enggak pernah alpa kecuali halangan.”
            “Bukan gitu Key, aku yakin kok rutinitas ibadah harian kamu masih baik-baik saja.”
            “Nah terus salah gue di mana?”
            “Kamu tahu kan berdua-duan bersama yang bukan mahram, ketiganya adalah syaitan?”
            “Siapa juga yang berdua-dua dengan laki-laki, kalian lagi nuduh gue?.” Tergagap Kekey menjawab pertanyaan Rinjani.
            “Bukan menuduh, justu kita mau tabayyun.”
            “Aduh makin enggak ngerti deh gue sama kalian!”
            Rinjani mencoba menenangkan Kekey kilatan kekesalan tampak pada wajahnya. Tapi Kekey terus-terusan berkelit pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan teman-temannya.
            Kesal dengan reaksi Kekey, Ayyi mengangkat tangan kanannya lalu melakukan gerakan seperti orang ingin menghentikan mobil saat hendak menyeberang jalan. Memerintahkan Rinjani untuk diam sejenak, biar ia yang menanganinya.
“Gini kita tuh curiga akhir-akhir ini lo yang paling susah dihubung. Dan kita bertambah yakin saat lo salah kirim pesan.”
Lanjunya Ayyi sambil melirik Shinta yang duduk di samping kirinya. Spontan gadis tersebut mengerutkan kening, matanya menyipit menatap Ayyi, lalu bergantian melirik Kekey sambil terus mengatur nafasnya. Kini ia membasahi bibirnya lalu mengigitnya. 
Tangan putih Kekey mengambil telepon selulernya yang ia letakkan di bawah buku bersampul hijau. Dirinya langsung membuka pesan yang dimaksud. Seketika matanya belonya membesar. Lalu ia mengisi paru-parunya dengan udara dan menghebuskannya dengan kencang. Karena sudah tertangkap basah kenapa ia tidak mengaku saja. Batinnya dalam hati
             “Cinta tuh fitrah datangnya dari Allah, kita sebagai makhluk lemah mana mungkin bisa melawan takdir yang digariskan oleh Allah.”
            Seakan tidak puas dengan luapannya Kekey masih terus berdalih di depan teman-temannya. Ia berdiri lalu melipat kedua tangannya, mata belonya terus-terusan menatap tiga sahabatnya.
            “Cinta si cinta tapi jangan buta juga kali.”
            Level kekesalan Ayyi terus-terusan bertambah. Gadis kelahiran Padang tersebut kalau bicara memang terdengar cukup pedas seperti sambal. Matanya lurus menatap lapangan basket, sambil tersenyum meremehkan ia tidak mau menerima semua pembelaan Kekey.
            “Berarti normal dong gue suka sama cowok. Wake up kita hidup di zaman milenial enggak usah katro. Sebaiknya kita tidak membatasi pergaulan. Why not pacaran sehat. No touching and no kissing.”
            Kekey memiringkan kepala kedua tanggannya terangkat dan tersenyum meremehkan. Dirinya berharap serangan bahasa yang baru saja diucapkannya bisa membuat Ayyi KO. Kini wajahnya berseri-seri seakan kemenangan sudah ada dalam genggamannya.
            “Itu namanya bodoh, setuju kalau kita enggak boleh membatasi pergaulan. Bukan berarti kita harus terperosok dalam jurang kemaksiatan.”
            Ayyi berjalan mendekati Kekey, keduanya saling berhadapan. Tinggal Rinjani dan Shinta yang  masih mempertahankan posisi duduknya. Keduanya memilih diam seakan sedang menunggu apalagi yang akan diucapkan Kekey dan Ayyi.
            “Terserah lo mau bilang apa!”
“Catet omongan gue, sekali lo memberikan peluang sama makhluk yang bernama laki-laki, berarti saat itu harga diri lo sudah terjajah.”
            Ayyi melanjutkan ucapannya kembali, ia puas sebelum melihat wajah bersalah Kekey. Keduanya sama-sama tidak mau kalah, beradu argument membenarkan pendapat masing-masing.
            “Gue rasa lo belum paham betul arti sahabat. Menurut gue sahabat tuh mendukung bukannya ngatur.”
            Sambil terus memandang ketiga sahabatnya Kekey menatap nanar, wajah putihnya  berubah memerah. Ia mendongakkan kepala berusaha menyembunyikan air yang menggenang di kedua matanya. Dirinya sudah kehabisan kata-kata tanpa permisi ia jalan meninggalkan tanda tanya di kepala ketiga sahabatnya.
            Tidak ada yang bisa dilakukan Rinjani dan Shinta untuk mendamaikan Ayyi dan Kekey. Entah mengapa akhir-akhir ini Kekey menjadi orang yang sangat tertutup, bahkan jarang muncul di grup what’s up, susah dihubungi dan yang paling terasa sekali ngotot soal cinta.
            “Kenapa kita jadi pada berantem si?” Gue jadi bingung.
            Shinta menggaruk kepalanya yang tidak gatal, suara Shinta terdengar seperti suara anak kecil. Bahkan saat Shinta membuka mulut teman-teman cowok selalu menertawakannya, entah ada benda apa yang menyangkut di tenggorokan anak tersebut kenapa suaranya terdengar seperti aktris Nycta Gina.
            “Shin kita tuh enggak berantem, catet ya kita enggak berantem. Kekey yang salah kenapa dia jadi seakan alergi sama kita.”
***
            Perang dingin antara Ayyi dan Kekey tidak dapat dihindari, keduanya sama-sama puasa berbicara. Grup what’s up menjadi sepi seperti kota mati, biasanya saat jam istirahat mereka akan menghabiskan waktu di mushola atau duduk-duduk santai di bawah pohon rindang dekat lapangan sambil menghabiskan makanan yang mereka beli di kantin sekolah. Tanpa kehadiran Kekey separuh jiwa geng sailor moon pergi.
            “Parah Kekey tuh sudah kelewat batas.”
            Sambil berjalan memasuki ruang kelas Ayyi memuntahkan rasa kesalnya. Ia langsung duduk kakinya ia luruskan dan kedua tangannya ia lipat di depan dada. Saat melihat minuman nganggur di depannya ia langsung menyambar minuman milik Rinjani. Bola matanya berputar-putar sambil asik menyedot es teh yang ia jarah tanpa izin.
            “Kenapa si marah-marah terus. Lupa ya sama hadits menahan marah.”
            Tegur Rinjani sambil tersenyum. Ia menunjukkan poster hadits yang ditempel dekat lemari ruang kelasnya.
            “Iya janganlah marah bagimu surga, anak SD juga tahu.”
            Shinta ikut menimpali apa yang diucapkan Rinjani.
            “Jadi gini geng, waktu habis dari ruang guru gue lihat Kekey sedang asik bercanda sama cowok.”
            Rinjani dan Shinta saling bertukar tatapan
            “Terus kamu lihat wajah laki-laki itu?”
            Mata sipitnya menatap Ayyi mencoba menggali informasi dari sahabatnya yang suka sekali memetik gitar. Tak berapa lama Rinjani menghembuskan napasnya dengan berat.
            “Gue si enggak lihat pasti, karena bloking. Aduh rasanya pengen bejek tuh cowok.”
            Ayyi mengepalkan tangannya lalu menonjok udara kosong.
             “Kenapa tiba-tiba lo jadi kesel sama cowoknya?”
            “Jelas gue kesel tuh cowok pahamlah kita anak rohis, yang sedang berjuang jaga hati. Ngajak ributkan malah deketin Kekey.”
            “Gue jadi bingung sama lo Yi, sebenarnya kesal sama Kekey apa tuh cowok?”
            “Aduh Shinta kepala gue lagi pusing, jangan bikin tambah pusing dong. Satu sekolah juga tahu anak rohis anti pacaran.”
            Kini Shinta mengangguk-anggukan kepalanya, bibirnya membulat membentuk huruf O.
            “Terus gimana nih membuat Kekey sadar kembali?”
            “Gimana kalau kita labrak tuh cowok, gue siap kasih bolgem mentah. Karena dia sudah cari ribut sama kita.”
            “Apa ide itu bagus, nanti yang ada kita malah dipanggil ke ruang BP. Tambah ribet urusannya. Yang ada Kekey makin alergi sama kita.”
            “Rani lo kok diem aja si, gimana menurut lo?”
            Ayyi menyikut Rinjani yang dari tadi khusyu mendengarkan Ayyi dan Shinta yang sedang menyusun strategi perang. Perang melawan musuh misterius yang berhasil menggoyahkan hati Kekey.
            “Kalau menurut aku yang harus kita lakukan adalah merangkul Kekey, mengembalikan trust Kekey untuk kembali percaya sama kita. Mungkin saat ini cara paling ampuh adalah berusaha menampung curhatan Kekey tentang laki-laki misterius tersebut.”
            Ayyi menyipitkan matanya lalu alis bagian kanannya terangkat.
            “Sepenting itukah kita mendengarkan curhatan Kekey. Rani yang harus kita lakukan adalah membuat Kekey sadar kalau dia salah. Pacaran dalam islam tuh enggak ada. Lo sendiri yang bilang.”
            “Gue makin pusing sama kalian berdua.”
            “Shinta sayang sebaik lo diem dulu ya, kalem berikan kesempatan gue sama Rinjani diskusi.”
            Rinjani melempar senyum ke arah Shinta
            “Yi setiap orang tuh berhak jatuh cinta, benar kata Kekey cinta fitrah dari Allah. Tapi gimana cara kita menggendalikan gejolak ini tetap dalam koridor yang positif. Kekey enggak salah saat ini dia butuh kita sebagai sahabatnya untuk mengingatkan ia.”
***
            Air matanya menganak sungai, kini Kekey tidak bisa menahan airmatanya yang terus-terusan membasahi pipinya. Padahal saat itu posisinya sedang ada taman sekolah, tetapi seakan Kekey tidak memperdulikan hal tersebut. Rinjani, Ayyi dan Shinta hanya dapat menatapnya.
            “Sebenernya selama ini gue menganggap memiliki hubungan spesial sama dia. Tapi udah dua hari ini sikap dia beda banget.” Ucap Kekey sambil mengelap airmatanya dengan tisu.
            Gendang telinga Ayyi sudah nyeri mendengar curhatan Kekey, bahkan ia sudah berkali-kali menghembuskan napas, bosan dengan Kekey yang selalu membahas makhluk yang bernama cowok.
            “Bagus dong kan jadi enggak nambah dosa!” Seru Ayyi.
            Rinjani menggelengkan kepalanya sambil menatap Ayyi, memintanya untuk tidak menaburkan kekacauan. Karena saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengajak Kekey perperang, ujung-ujungnya mereka akan semakin renggang dan bisa berakibat memutuskan tali ukhuwah.
            “Mungkin itu hanya perasaan kamu doang Key.” Ucap Rinjani.
            “Enggak! Gue lihat sendiri dengan mata kepala gue kalau Aldo jalan sama perempuan lain.”
            “Jadi selama ini cowok yang membutakan lo sampai seperti ini Aldo. Si play boy kelas teri.”
            “Aldo anak basket?” Tanya Shinta.
            “Ya.” Jawab Ayyi singkat.
            “Berarti Allah membuka aib dia dong.” Ucap Rinjani.
            “Bener, untung lo belom diapa-apain.”
            “Allah lebih suka hubungan halal setelah menikah. Kita bisa lihat contoh rumah tangga Rasulullah dan Khadijah yang sangat romantis. Padahal awalnya mereka sama-sama orang asing, tetapi Allah yang mempertemukan.” Rinjani menasehati Kekey.
            “Ingat laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik. Dan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Emang lo mau dapat suami bekas cewek lain?.” Ucap Ayyi.
            “Ih enggak maulah!”
            “Makanya stop pacaran sebelum halal.”
            Akhirnya Kekey sadar kalau ingin mendapatkan laki-laki yang baik, maka ia harus menjadi orang yang baik pula. Dan Kekeypun sadar selama ini ia sudah main kucing-kucingan dengan sahabatnya, ia lebih memilih laki-laki asing yang jelas-jelas hanya memanfaatkannya.        

 

Melukis Hari dengan Kata Template by Ipietoon Cute Blog Design