“Tidak ada satupun makhluk bernyawa
di muka bumi ini steril dari dosa dan suci dari maksiat”
NA
Nanar mataku menatap tubuh kaku berselimut
kain putih, satu dua kali menggigit bibir bawah, tisu yang kugenggam entah lembar
keberapa untuk menyeka sedih. Seperti ada sebuah tangan meremas kuat hatiku
sesak dan terisak saat para penggali melempar tanah pada lubang kesedihan.
Spontan tangan kananku memukul-mukul dada agar paru-paru lebih leluasa
mendapatkan udara, tersungkur tepat di samping keranda. Kurebahkan kepala di
atas keranda, para pelayat ikut menitikan air mata sedih melihat dukaku.
“Ma…aaf
Mi.” terbata-bata sulit untuk diucapkan, menyekat hanya sampai tenggorokan, maaf
yang dapat kuucapkan sedari pagi. Berharap Mia yang sudah tenang di alam sana
memaafkan kesalahanku, kebodohan atas tindakanku yang kini menyiksa batin, bagaimana
aku bisa meneruskan hari saat semua orang berteriak akulah pembunuhnya.
Satu
jam lalu diriku tidak diizinkan mendekati kuburan Mia, lemparan tatapan seakan
sedang meneriakiku “Hey pembunuh tak tahu malu menampakkan batang hidungmu”.
Hampir separuh pelayat teman sekolahku, tajam bola mata mereka menatapku seakan
ingin menerkam. Seperti seekor kelinci yang masuk dalam kandang macan. Walau aku
tidak tahu apa yang sedang mereka pikirkan namun sepertinya mereka berbisik
menghujatku.
Seorang
wanita separuh baya berjalan mendekatiku ia mengangkat tangan kirinya ke atas tamparan
mendarat di pipi sebelah kananku, panas rasanya wajah putihku memerah sebuah
cetakan tangan terlukis di pipi. Belum puas sampai di situ saja dirinya
meronta-ronta berteriak mengeluarkan sumpah serapah, lalu menyeret tubuhku agar menjauh dari mayat
anaknya. “Kurang ajar, pembunuh, brengsek.” Tangannya mencengkeram kuat kedua
bahuku “Kenapa bukan kamu yang mati.” Untuk yang ke dua kalinya tamparan
mendarat di pipi tetap di tempat yang sama.
Teriakannya
semakin mengeras, para pelayat terpana melihat apa yang terjadi, Mas Adam
kakakku memegang kedua tangan Bu Dona. Aku menoleh ke arah Mas Adam dan menggelengkan kepala menolak bantuannya
mungkin orang tua ini akan merasa puas setelah meluapkan emosinya. Tiba-tiba
wanita tersebut jatuh lemas tak bertenaga namun masih dapat terdengar
isakannya.
Diriku
berjalan pelan terisak sambil memukul-mukul dada semua pasang mata menggeser
posisi mereka memberi jalan agar aku lebih leluasa. Seperti ada jeli di kakiku
lemas tak kuat menopang tubuh tersungkur tepat di samping keranda, di sanalah
Mia tertidur berselimut kafan. Seluruh tubuhnya terbungkus kain putih
lekat-lekat aku memandangnya, tangan kiriku mengelus-ngelus tubuhnya sambil
terus meminta maaf namun sulit untuk keluar. Mulutku hanya menganga tanpa
suara.
“Neng
jangan dibuka.” Seorang laki-laki separuh baya menggunakan baju koko lengkap
dengan kopiah dan sorban meneriakiku saat hendak melepas tali kain kafan yang
membungkus Mia.
Aku
tidak menghiraukan teriakannya, tanganku siap membuka tali, terhenti saat
melihat ada warna merah di kain bagian kepala. Ke dua tanganku mengatup mulut
air mata sudah menganak sungai mata beloku semakin menyipit. “Kapan lagi kamu
bisa melihat wajah Mia.” Batinku dalam hati. Dengan keberanian yang kubuat-buat
“Bismillah.” Aku membukanya bapak
yang tadi melarangku pasrah dengan apa yang kulakukan.
Ada
bekas jahitan di pelipis sebelah kanan persis seperti boneka Chaky kulitnya tak
lagi memutih melainkan membiru, wajahnya terlihat lebih besar karena hantaman
motor kemarin sore. Seketika seluruh tubuhku ngilu saat melihat wajah Mia,
namun yang membuatku senang saat itu wajah Mia cantik sekali sebuah bulan sabit
terukir di bibirnya
***
Dua
bulan lalu.
Wajah
putihnya terlihat cantik dan enak dipandang saat balutan jilbab menutupi
auratnya. Berjalan menundukkan pandangannya sambil memainkan jari-jari tangan menerobos keramaian. Seketika Mia menjadi
pusat perhatian beberapa orang yang ada di lapangan, karena bel masuk belum
berbunyi banyak dari kami yang menghabiskan waktu duduk santai di koridor yang
dipenuhi kursi.
“Eh
siapa tuh.” Eka mengarahkan kami untuk melihat apa yang menarik perhatiannya.
“Subhanallah ada akhwat baru.” Mika
tersenyum saat melihat perempuan yang membuat kami penasaran.
“Akhwat
baru masa si, bukannya selama ini kita selalu up date anak-anak yang baru
hijrah.” Jawab Bella sambil memutar kedua bola matanya dan menggerakan kepala.
Kami semua berpikir siapa akhwat yang menunduk itu.
“Dari
gesture dan cara jalan serta tinggi
badanya sepertinya Ana kenal.” Jawabku
sok tahu, aku hafal betul siapa pemilik tubuh itu sekali memperhatikan detail penampilan
dan tubuhnya mudah menebak siapa akhwat berjilbab putih tersebut.
“Siapa
memang?” Bella semakin penasaran.
“Mia.”
Sambil menjentikkan jari, mengedipkan satu mata sebelah kanan dan membunyikan
lidahku.
Binggo
Mia mengangkat pandangannya kami sama-sama bertemu pandang, sama dengan apa
yang di lakukan Eka, Bella dan Mika diriku juga menyapu pandangan dari ujung
kepala sampai ujung kakinya. Mia berjalan melewati kami sambil belari kecil ia
menaiki anak tangga, mata kami mengekor mamandang bagian belakang tubuh
mungilnya tepat di anak tangga yang ke delapan Mia lenyap dari pandangan kami.
“Ada
apa dengan penampilannya hari ini.” Mika mengajukan pertanyaan.
“Iya
kenapa kok tiba-tiba dia berubah.” Belum juga Mika mendapatkan jawaban, namun
Bella sudah mengajukan pertanyaan lagi.
“Entahlah.”
Sambil mengangkat kedua bahu dan menurunkan kedua bibirnya ke bawah, sebagai
jawaban Eka atas pertanyaan Mika dan Bella.
“Itu
hak dia pakai apa saja boleh. Memang ada undang-undangnya, yang penting sopan
dan enak dipandang why not. Jawabku
sambil merangkul ketiga temanku dan mengajak mereka untuk masuk ke dalam kelas,
karena dua menit lagi pasti bel akan berbunyi.
Aku
yakin siapapun setuju dengan pendapatku Mia cantik saat menggunakan jilbab,
wajahnya seperti aktris Indonesia yang sedang naik daun Tatjana Saphira. Alis
tebal terukir indah hidung lancip menarik kedua matanya menjadikan dirinya
selalu enak untuk dipandang, bibir tipis berwarna merah muda sumber dari
kecantikannya. Belum lagi kulit mulus dan putih seputih susu. Banyak laki-laki yang memuja dirinya, Mia pun
selalu percaya diri dengan penamilannya tetapi tidak dengan pagi ini.
“Cantik si, tapi sayang munafik.”
Aski anak paling tomboy di sekolah angkat bicara saat Mia memasuki kantin.
“Jangan-jangan pakai jilbab untuk
menutupi perut buncitnya.” Abdul laki-laki keturan Padang yang dahulu suka
sekali dengan Mia, bahkan beberapa kali mengemis untuk memacarinya. Tapi kali
ini ia malah ikut mencibir.
“Sepandai-pandainya tupai melompat
pasti akan jatuh.” Sambil tersenyum meremehkan Difa menambah deretan cacian
untuk Mia.
“Muka si boleh polos, tapi kelakuan
minus.” Agung menggebrak meja, mangkuk dan sendok yang ada di dekatnya langsung
terangkat dan jatuh kembali mengeluarkan bunyi yang cukup merusak pendengaran.
Sedih Aku, Eka, Bella dan Mika
memanandang Mia, Ada rasa yang mengalir dalam dada saat melihat Mia menitikan
air mata tanpa melawan atau melakukan pembelaan. Merasa Mia menjadi tanggung
jawabku untuk membantunya tegar dalam hijrah. Geram rasanya ingin sekali diriku
membelanya, dan mencaci maki balik orang-orang yang memusuhi Mia. Dengan
mengumpulkan kekuatan aku berdiri dari dudukku.
“Apakah kalian sudah bersih dari
dosa?” Dengan lantang aku menanyai semua
orang yang ada di kantin. Seketika mereka menghentikan aktivitas, beralih
memandangku. Aku mengedarkan pandangan seperti bumi yang selalu berputar siang
malam, memandang lekat-lekat. Sunyi hanya suara minyak panas milik Bang Udin yang
sedang menggoreng batagor memecah kesunyian.
“Tidak ada. Mengapa taubat seseorang
harus kalian cibir.” Bumi berputar dan
jangan senang dahulu, belum tentu selamanya kita suci, tugas kita hanya
mendukung perubah dirinya ke arah yang lebih baik.” Lanjutku berteriak lantang
namun masih dapat mengatur emosi dalam diri. Kedua tangan kukepal kuat-kuat
mencari energi.
“Bu Haji ceramah jangan di sini.
Masjid kosong noh.” Bayu kapten basket berjalan ke arahku sambil berteriak
lantang. Suasana yang tadinya sunyi, kini riuh dengan tawa. Joko tertawa sampai
seluruh gigi gerahamnya terlihat. Siska memukul-mukul meja tanpa bisa
menghentikan tawanya.
“Berisik, udah salah dibela lagi.
Mau jadi Superman eh salah maksud gue
Wonder Women ” Chika melipat ke dua
tangannya di dada masih tetap dalam posisi duduknya. Ia Berkomplot dengan Bayu
untuk mematahkan pendapatku.
Kini mata teman-teman beralih
memandang Chika yang sedang duduk bersama gengnya yang sama kacau dengan
dirinya. Pandanganku beralih kepada Mia
ternyata Bella, Mika dan Eka sudah berdiri tepat di sebelahnya. Cairan hangat yang
sedari tadi ditahan tumpah membasahi pipinya, terkatup bibir tipisnya. Aku bisa
menangkap dari sorot matanya yang memandangku seakan-akan Mia sedang
mengucapkan terima kasih.
***
Perubahan Mia memang tidak alamiah
lahir dalam dirinya, terpaksa ia memakai jilbab saat datang ke sekolah. Karena
sebuah gosip yang beredar bebas selama satu minggu ini, entah siapa yang
menyebarkannya yang jelas mulai dari siswa, guru, OB dan penjual makanan di
kantin tahu semua tentang Mia. Tanpa terkecuali diriku, awalnya aku tidak
percaya seratur persen dengan gosip yang beredar. Namun sore itu disebuah taman
dekat sekolah dengan lancar dan tanpa ditutupi sama sekali Mia menceritakan
tentang dirinya.
Bermula
saat ia mengenal laki-laki itu. Mia memiliki hubungan yang biasa saja dengan
lawan jenis, sentuhan dan kecupan hal wajar bagi pasangan muda mudi saat ini.
Namun lambat laun ia terperosok dalam hubungan yang sudah masuk kategori di
batas wajar. Karena kebodohannya tentang ilmu agama antara batasan perempuan
dan laki-laki, mengantarkannya menuju pintu zinah.
“Memang
kamu tidak tahu sama sekali tentang hukum zinah?” Diriku berusaha untuk mengkonfirmasi
ulang apa yang diucapkannya.
“Demi
Allah aku enggak tahu.” Mia menyeka air matanya, ia menengadahkan kepala
menatap langit. Menghirup udara panjang lalu menghembuskannya.
“Mi
maaf ya kalau aku menyinggung perasaan kamu, apa yang kamu lakukan itu salah.”
Sambil menggigit bibir bagin bawah, aku berkata dengan hati-hati.
“Ya
aku tahu.” Ia kembali terisak. “Pak Ridho sudah menceramahiku panjang lebar
tentang hukum dari kesalahan yang aku lakukan.”
“Alhamdulillah kalau kamu sudah tahu,
semoga dengan ini kamu akan lebih hati-hati lagi.” Aku tersenyum sambil
mengusap punggung Mia. Dirinya memandangku lalu menarik ke dua pipinya nampak
semua deretan gigi depannya, lesung pipinya menjadi hiasan indah dari pahatan
Tuhan di wajah Mia. Lalu ia melanjutkan ceritanya.
Seluruh warga sekolah geger dengan
gosip yang berjalan cepat seperti sel kanker. Dari satu orang yang mengetahui
aibnya bertambah menjadi dua, tiga lalu menjamur tanpa bisa dihentikan. Yang
tadinya Mia dikenal karena kecantikannya namun kini ia terkenal karena
kebusukannya. Semua teman menjauh begitupun dengan teman satu gengnya tidak ada
yang mengulurkan tangan apalagi merangkulnya. Padahal yang mengenalkan Mia dengan
cowok yang merenggut keperawanannya Desi teman satu geng Mia.
Sebelum masalah ini menimpahnya
banyak orang yang senang bermain dengan perempuan yang memiliki lesung pipi.
Mereka sering menghabiskan waktu, tertawa, becanda dan jalan-jalan ke mall. Tapi
kini semua menjauh darinya, layaknya seperti orang yang sedang membawa virus.
Semu pergi karena takut tertular. Dengan cepat gosip sampai ke telinga guru BP,
kini Mia termasuk siswi yang memenuhi catatan hitam terburuk sepanjang sejarah
di sekolah kami.
“Bapak hanya mau konfirmasi, selama
kamu belum memberikan kesaksian. Berita yang menyudutkan kamu ini hanya gosip
yang belum tentu kebenarannya.” Pelan
suara Pak Ridho saat menanyai Mia.
“Saya memang bodoh Pak, gosip itu
benar.” Mia menjawab pasrah pertanyaan Pak Ridho, kepalanya menunduk matanya
menatap lantai, tidak berani menatap langsung lawan bicaranya. Pak Ridho
menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan angin kepasrahan. Ia memijat-mijat
kepalanya sambil memejamkan matanya. Tersambar petir di siang hari yang bolong.
“Karena kamu sudah mengakuinya,
Bapak akan memanggil orang tua kamu untuk datang ke sekolah.” Kini perkataan
Pak Ridho sudah lebih tegas. Jauh dari imagenya.
“Ini masalah serius, kamu pasti tahu
resikonya.” Lanjut laki-laki yang kini
menggunakan kemeja berwarna biru muda. Hening hanya tarikan nafas yang sesekali
terdengar.
Tiba-tiba
suara isak tangis memecahkan kesunyian ruangan 2x3 meter. Pak Ridho memandang
anak didiknya lekat-lekat, dalam pandangannya juga ada air mata yang ia sembunyikan saat Mia membenarkan
gosip yang beredar. Sebagai guru ia merasa gagal dalam membimbing anak muridnya ke jalan yang Allah
ridai.
***
Dari kejauhan aku bisa melihat Mia
dan ke dua orang tuanya memasuki ruang Pak Ridho. Gosip langung menyebar dengan
cepat. Ada yang bilang Mia akan dikeluarkan, skorsing, atau dicoret dari kartu keluarganya. Kami semua tidak
bisa melihat sandiwara apalagi yang sedang terjadi di ruang Pak Ridho.
Aku, Bella, Mika dan Eka hanya dapat
menunggu dengan cemas kabar dari Mia. Mulut kami bergerak-gerak sambil mengucap
asma Allah mencoba mengetuk langit
semoga kasus yang menimpa Mia dapat terselesaikan dengan baik tanpa Mia harus
putus sekolah atau angkat kaki dari sini.
“Gimana Mia.” Bella berlari
menghampiri Mia yang baru saja menginjakkan kaki di dalam kelas.
Matanya sembab hidungnya memerah
berung kali ia menggigit bibir bawahnya sambill memejamkan mata lalu terisak
kembali.
“Duduk dulu.” Mika mempersilahkan
Mia duduk di kursinya. Aku menyodorkan aqua gelas pada Mia.
“Alhamdulillah aku masih diizinkan
sekolah, tapi dengan catatan harus masuk rohis.” Mia menangis dalam pelukan
Eka. Tangan kanan Eka mengusap-usap punggung Mia memberikan ketenangan bagi
dirinya.
Walaupun masih banyak teman yang
mencibir dan memandang remeh dirinya namun tidak membuat Mia patas semangat. Ketika
diriku bertanya pada Mia yang tepenting bagi Mia adalah ke dua oran tuanya dan
beruasaha memperbaiki diri ke arah yang lebih positif cacian dan makian yang
dialamatkan bagi dirinya akan menjadi sumber kekuatan.
***
Awalnya ia malu dan malas bergabung
dengan anak rohis. Tetapi Pak Ridho memiliki banyak mata-mata yang
memperhatikannya. Sekali ia membuat kesalahan maka akan berdampak fatal. Aku,
Eka, Mika dan Bella berusaha untuk menguatkan Mia dan percaya diri bergabung
dengan kami di rohis.
Hampir seluruh anggota rohis
menerima Mia dengan senang hati, menyambut kehadiranya seperti tamu istimewa.
Tidak pernah sekalipun aku mendengar mereka membahas tentang kesalahan Mia. Aku
bisa melihat dari sorot optimisnya lambat laun Mia merasakan seperti hidup
kembali, layaknya anak sekolah yang sibuk sama pekerjaan rumah, ekstrakulikuler
dan membahas hal yang sedang naik daun.
“Apa si yang membuat kamu yakin
banget temenan sama kita?” Suatu hari aku bertanya pada Mia, sambil menunggu
angkutan umum yang belum juga datang.
“Sebenarnya ada kata-kata Pak Ridho
yang menurut aku masuk akal banget.”
“Apa?” Sambil menaikan sebelah bibir
bagian kanan dan mengerutkan kening aku dibuat penasaran dengan Mia.
“Permisalan teman yang baik dan
teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi.
Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa
membeli minyak wangi darinya. Dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau
harum darinya. Sedangkan pandai besi bisa jadi percikan apinya mengenai
pakaianmu dan kalaupun tidak bau asapnya yang tak sedap.” Ucap Mia tersenyum dan menggenggam tangan
kiriku.
***
Aku duduk termenung seorang diri
memandang awan hitam, bintang-bintang bertaburan berkelip-kelip seakan
melemparkan senyum padaku. Angin berhembus memanjagakan kulit. Pikiranku kembali
pada saat Mia menceritakan kisah pilunya, satu dua kali aku mendengar Mia mengutuk diri karena
dengan mudah menyerahkan satu-satunya hal berharga dimilik seorang wanita.
Entah
setan apa yang merasuki dirinya dengan mudah ia percaya perkataan laki-laki
biadap itu. Air matanya menganak sungai berharap dengan jatuhnya air mata itu
dapat menghapuskan dosa-dosa yang terdahulu. Karena kalau bukan karena belas
kasih Allah ia tidak akan dapat merasakan nikmatnya tinggal di dalam surga.
Tiba-tiba sebuah pesan masuk
mendarat di telepon genggam. Aku tersadar dari lamunan segera meraih telepon
genggam dan membukanya.
“Assalamualaikum
Ukhti. Besok jangan lupa ya kita ada agenda ke kantor Duta Bangunan untuk
mengantarkan proposal acara pentas seni islam. Ditunggu sekali kesediaan
waktunya.”
Ia tersenyum kecil membaca pesan masuk dari
Mia. Padahal dirinya anggota baru tetapi semangatnya luar biasa. Rohis di
sekolah kami akan mengadakan pentas seni islam dan membutuhkan dana yang tidak
sedikit, tentunya agar acara tersebut dapat terealiasasi aku dan teman-teman
juga harus mencari dana.
“Ok Ukhti manis yang senang sekali
pakai gamis. Syukron sudah
diingatkan.” Setelah mengetik balasan
aku menyentuk tanda panah beberapa detik kemudian pesan terkirim dan tanda
ceklis dua berwarna biru terlihat di layar telepon genggamku.
Padahal baru dua bulan diriku berteman dengan Mia namun
seperti ada tarikan batin antara aku dengan dirinya, mungkin ini yang disebut
dengan ukhuwah islamiyah kami
sama-sama mendukung dalam kebaikan terutama masalah ibadah dan pelajaran.
Cacian dan cibiranpun sudah tidak terdengar lagi, dengan cepat masalah ini
dilupakan oleh teman-teman. Tentu ini semua karena Allah berkat pertolongan
Allah Mia dapat melewatkan cobaan berat yang mungkin kalau kami bertuka posisi
aku tidak bisa melewatinya semudah yang Mia lakukan.
***
“Mi helemnya dipakai.” Aku
memerintah Mia sambil menyalahkan motor.
“Ya Ukhti sholihah nanti aku pakai.” Sambil tersenyum Mia
meyakinkanku. Motor yang kukendarai
membelah jalan, tiga puluh menit lagi
adzan magrib berkumandang. Langit berubah jingga namun awan mendung yang lebih
mendominasi.
“Kamu mau buka puasa di mana?”
“Di rumah saja Des, Ibu sama adik
sudah menunggu.”
“Yasudah kalau gitu aku percepat ya
jalannya.”
“Ya, tapi tetap hati-hati.”
Hari ini hari kamis, puasa sunah
senin kamis sudah rutin kami jalankan seperti saat ini. Karena sudah sore aku
berusaha untuk mengendarai motor dengan cepat karena kami sudah kejar-kejaran
dengan waktu. Gerimis membasahi jalan dan pakaian kami aku bisa merasakan
dinginnya angin sampai menusuk tulang.
Sebuah truck melaju tepat di sebelah motor yang aku kendarai, aku berusaha
untuk menguasai laju motor dan memelankannya. Berusaha mencari aman truck berjalan di depan kami sekitar
lima langkah dari posisiku saat ini.
“Kok melambat Des.” Mia berteriak
dari posisi belakang. Suaranya sayup-sayup terdengar karena bersaing dengan
angin.
“Ada truck.” Jawabku singkat.
Entah mengapa walaupun aku sudah
berusaha untuk menghindar dari truck
tersebut kami menjadi bersebelahan kembali. Akhirnya aku memutuskan untuk
berjalan lebih cepat agar tidak bersebelahan lagi dengan truck tersebut. Tapi saat aku menaikan kecepatan tiba-tiba truck tersebut menyamai kecepatan kami.
Dan dengan motor yang aku kendarai oleng karena tersenggol body truck, aku masih
berusaha memegang kendali.
Entah apa yang diucapkan Mia aku
tidak dapat menangkap ucapannya karena, susah payah aku mengendalikan stir saat
berada dalam dua pilihan. Membanting stir ke kiri diriku dan Mia akan jatuh
dari ketinggian, atau membanting stir ke kanan resiko lebih parah bisa-bisa
mereka tergilas kendaraan lain yang saat itu sama-sama sedang melintasi jalan.
“Bismillah. Ya Allah tolong hamba.” Batinku
dalam hati, memilih membanting stir ke kanan, sadar akan resiko berat di balik
pilihanku tapi mana yang lebih baik aku tidak mengerti. Motor yang kukendarai
oleng, kehilangan keseimbangan. Belum lagi ada Mia di belakangku yang saat itu
nyawanya juga menjadi taruhan.
Suara hantman benda keras
memengkingkan telinga, beberapa orang yang sedang asik bersantai di pinggir
jalan menoleh ke arah kami. Motor yang aku kendarai jatuh menimpa tubuhku,
dengan cepat aku berusaha untuk menyingkirkan motor. Namun tidak semudah itu,
karena kehabisan tenaga aku kesulitan untuk menggesernya. Posisiku jatuh di
sebelah kiri pinggir jalan terbilang aman, bensin dari tangki merembas keluar
mengenai dengkulku.
“Perih, aduh sakit.” Pasti ada luka
di dengkulku.
Mia terpental satu meter dari arahku posisi
Mia tiduran membelakangiku. Ternyata Mia tidak menggunakan helemnya, helm
menggelinding ke pinggi jalan sebelah kanan. Jalanan sepi beberapa detik aku masih
bisa melihat Mia berusaha bangun dari jatuhnya, lalu ia memutar tubuh mungilnya
kehadapanku, wajah putihnya memerah meringis menahan sakit. Ia tidak bisa total
berdiri mungkin bagian pinggulnya ada yang terluka. Beberapa detik kemudian
dari arah belakang tanpa Mia sadari pengendara motor melaju dengan cepat
menghantam tubuh Mia.
“Miiiaaaa awas.” Aku menjerit
kencang sampai merasakan sakit di tenggorokan berharap jeritan ini dapat
menghentikan waktu, ingin lari ke arahnya tetapi tidak bisa motor masih
menjepit kakiku. Terlambat kepala Mia sudah lebih dahulu terhantam motor.
Tubuhnya mental beberapa jarak membuat jilbab putih yang dikenakannya tersibak,
pengendara motor yang menabraknya lari kocar kacir. Tidak bertanggung jawab
ataupun menoleh ke belakang melihat korban yang baru saja ditabraknya.
“Ya Allah.”
Akhirnya aku berhasil setelah susah
payah menyingkirkan motor, berjalan gontai mendekati tubuh Mia. Sakit di
dengkul sudah mati rasa, aku merasa seakan darah berhenti mengalir dalam tubuh.
Orang-orang mulai mendekati Mia, seorang Bapak berlari dari arah belakangku
dengan mudah aku terjatuh padahal ia tidak keras menyenggol tubuhku. Para
pengendara menghentikan laju mereka motor dan mobil terparkir sembarangan.
Jalanan macet. Semua pandangan teralih ke Mia.
Aku berusaha bangun dari jatuh
mengepal kedua tangan lalu mendorong tubuh agar terangkat, mengumpulkan sedikit
tenaga yang masih tersisa. Aku merasakan kembali sakit di dengkulku. Saat itu
aku tidak bisa menangis kencang air mata dan tetesan hujan menjadi satu, gontai
tubuh lemahku memungut jilbab putih Mia basah dan kotor terkena tanah.
Tangan kananku memegang jilbab Mia
sambil berjalan mendektinya, semua orang yang semula mengerubungi tubuh kaku
milik Mia menyingkir memberikanku jalan. Rambut panjang berwarna hitam pekat
tersibak, lepek terkena air hujan. Kubentangkan jilbab di kepalanya dengan
tujuan menutupi aurat yang sudah dua bulan ini ia jaga dengan baik.
“Bangun Mi.” Sambil menggoyang-goyangkan
tubuh Mia, aku berharap ia hanya pingsan. Kurebahkan kepala Mia dalam
pangkuanku, darah segar megucur seperti keran. Wajahnya membiru dan membesar,
kerudung putih kini berubah menjadi merah, basah dan bau anyir dapat aku
rasakan. Baju seragam berwarna putih milikku kini sama seperti kerudung Mia.
“Gotong. Pindahkan ke pinggir.” Seorang laki-laki paruh baya mengkomandoi para
penonton. Dengan cepat semua bergerak. Dua orang laki-laki membantuku berdiri.
Tiga orang pengendara motor dan dua orang pejalan kaki membopong tubuh Mia yang
kini sudah tak bernyawa. Ada beberapa daging yang berjatuhan dari kepala Mia. Kerudungnya
terbuka kembali.
Aku melihat keadaan ini sangat
genting, air mata sudah tidak dapat terbendung lagi. Kepalaku pusing memikirkan
jawaban apa yang harus kusampaikan pada orang tua Mia. Sepuluh menit lalu aku masih
bisa merasakan cengkraman tangan Mia pada pinggangku namun kini cepat sekali
Izrail menarik keluar nyawa dari dalam tubuh Mia.
“Aduh ini mah kepalanya pecah.”
Kata salah satu orang yang
mengangkat tubuh Mia. Aku langsung berlari menghampiri Mia mencari kebenaran
ucapan Bapak yang menggunakan jaket hijau. Jadi daging yang tadi ku lihat
adalah isi dari kepala Mia. Sebuah lubang menganga di sebelah kiri kepala Mia,
kedua mata Mia terpejam seperti orang yang sedang tertidur pulas.
Seperti orang gila yang kehilangan
akal, diriku berlari memunguti daging yang berserakan di jalan. Meletakannya di
atas jilbab lebarku, sambil terus sesegukan dan mengucap kata maaf.
bayangan-bayangan tentang kebersamaan kami terlintas dalam pikiranku.
“Ana
mau jadi orang yang paling berguna di mata Allah. Bukan mata manusia.”
“Insyallah acara pentas seni islam
pasti berjalan lancar.”
“Ukhti jangan lupa sholat malam,
selipkan doa untuk Ana ya. Semoga
Allah memafakan kebodohan diri yang fakir ini.”
“Kalau mau berbuat baik jangan tunda
sampai besok, karena maut enggak mau nunggu.”
***