Setiap jum'at pagi waktunya berkisah
(dongeng islami), seperti biasa dadakan cari buku cerita. Tapi akhirnya Allah
kasih ide berkisah tentang anak Palestin. Karena jum'at ini hari bersejarah
untuk rakyat Palestin, kemarin sempat viral kata Ismail Haniya pemimpin Hamas,
besok maksudnya hari ini rakyat Palestin wajib turun ke jalan membela Al-Quds.
Berkat video tersebut gw jadi kepikiran untuk berkisah tentang saudara-saudara
di Palestin. Walaupun sebenarnya gue kurang tahu berita selanjutnya tentang apa
yang terjadi pagi tadi di Palestin. Tapi pikiran dalam kepala gue terus-terusan
menari, akhirnya membayangkan kejadian versi gue.
Anak-anak
duduk tenang, mata mereka membulat, kadang satu dua kali memincingkan
pandangan, tubuh tegak tidak mau bergerak dari posisi nyaman. Sembilan
anak memasang wajah serius, kadan enggan mengikuti godaan bisikan dari
teman yang kurang fokus. Ternyata mereka lebih memilih cerita yang akan gue sampaikan.
Yes.
Hari
jum'at 8 Desember 2017. Seorang Ayah dan anak laki-lakinya yang baru berumur
10 tahun pergi meninggalkan rumah di pagi buta. Keduanya bergabung dengan para
lelaki soleh yang sudah terlebih dahulu meramaikan tempat berkumpul. Lapangan
padat merayap kalau Mousa sampai melepaskan tangan dari genggapan Abinya
mungkin kali terakhir mereka berdua akan bersama. Si raja siang semakin
merangkak naik mengalahkan awan hitam, awan pun berubah warna menjadi
putih.
Di lain tempat seorang Ibu dengan anak laki-laki
berumur empat tahun melepas kepergian suami dan putra pertamanya. Dengan bisikan
doa yang ia gaungkan dalam hati, dirinya menitip dua orang yang amat ia cintai
pada sang penentu takdir. Walau berat melepasnya tapi ia yakin jihad adalah
tawaran terbaik dalam berniaga dengan Allah.
"Umi apakah Abi dan kakak akan
memenangkan Al-Quds?" Tanya si bungsu dengan mata polosnya.
"Allah pasti akan bersama orang-orang
baik." Jawab si Ibu lembut, tangan kirinya membelai sayang kepala Abdullah.
Bocah dengan hidung bangir tersebut menggeliat saat jemari Fatimah membelainya.
Padahal wanita berbola mata abu-abu tidak memiliki keahlian meramal namun ada
rasa optimis yang bersemayam dalam dada. Allah pastikan bersamamu bila kau selalu
bersamanya, kalimat yang selalu menyihirnya.
Detik,
menit dan jam berlalu kabar tentang suami dan putra sulungnya belum juga
singgah ke telinga. Dadanya bergemuruh hebat, ia tidak mau berjauhan dari
tasbih, sedari pagi tangannya terus menggenggam benda magig
tersebut, bibirnya mengucap asma Allah sesekali hanyut dalam sedih. Namun
Abdullah bocah yang memiliki cita-cita menjadi pembela Al-Quds siap siaga saat genangan
air yang mengisi kantung mata Uminya sudah memenuh.
Senja
ini langit di Gaza berwarna merah saga. Ada sejarah baru yang menjadi saksi
atas takdir yang nanti kan ditanyakan Allah. Senjat mulai meninggalkan kota
Gaza, langit hitam mulai mendominasi. Seorang laki-laki berjalan cepat bahkan
sedikit berlari. Matanya memandang menerobos kegelapan, Ar-Rohiim memang baik
ia mengirimkan cahaya lewat sinar bulan untuk menerangi langkah Abu
Akmal.
Tarikan nafasnya seirama dengan degup
jantung, pikirannya terus-terusan menerawang membayangkan respon wanita yang
malam ini mendapatkan gelar baru atas takdir Allah. Keadaan yang memaksa wanita
yang akan didatanginya harus berlapang dada menelan pil pahit untuk sebagian
wanita.
"Assalamualaikum."
Tangan kananya mengetuk pintu rumah tanpa warna.
"Waalaikumussalam." Sahut seorang
wanita dan anak laki-laki dari dalam.
"Umi pasti itu orang yang akan mengabari kita tentang Abi dan kakak." Abdullah berlari menuju pintu. Umi Fatimah bergegas mengekorinya.
"Umi pasti itu orang yang akan mengabari kita tentang Abi dan kakak." Abdullah berlari menuju pintu. Umi Fatimah bergegas mengekorinya.
Pintu dibuka, dua orang dengan tatapan sama seakan bertanya pada Abu Akmal. Tanpa
bisa menyembunyikan duka Abu Akmal berkata dengan jujur. "Kareem dan
Mousa." Ucapnya tercekat, tak kuat menahan air mata yang berebut minta
dibebaskan. Ke dua orang yang ada di hadapannya hanya dapat memandang penuh
tanya.
"Ami tenangkan hatimu." Abdullah
meraih tangan Abu Akmal, kepalanya menengadah berusaha mencari jawaban
yang tersembunyi dari ekspresi Abu Akmal. Umu Fatimah dapat menebak pesan yang
belum terucap erucap.
"Apakah suami dan putra sulungku
syahid?" Tanyanya dengan air mata yang jatuh menyentuh tanah.
"Ya." Jawaban singkat dari Abu
Akmal.
Umu Fatimah jatuh tersungkur ia menarik
Abdullah dalam pelukannya.
"Ketahuilah Nak. Abi dan kakakmu telah diundang oleh Allah untuk menjadi tamu dalam istanaNya." Umu Fatimah mengencangkan pelukannya, tangan kananya terus mengelus kepala si bungsu. Abdullah mengerti situasi yang sedang terjadi, ia pun terisak lirih dalam dekapan wanita yang amat dicintainya. Tanpa mau mengganggu kesedihan Uminya.
"Ketahuilah Nak. Abi dan kakakmu telah diundang oleh Allah untuk menjadi tamu dalam istanaNya." Umu Fatimah mengencangkan pelukannya, tangan kananya terus mengelus kepala si bungsu. Abdullah mengerti situasi yang sedang terjadi, ia pun terisak lirih dalam dekapan wanita yang amat dicintainya. Tanpa mau mengganggu kesedihan Uminya.
Tangerang, 8 Desember 2017
Indahnya Melukis Hari