Jumat, 08 Desember 2017

Diriku dengan Palestin


Setiap jum'at pagi waktunya berkisah (dongeng islami), seperti biasa dadakan cari buku cerita. Tapi akhirnya Allah kasih ide berkisah tentang anak Palestin. Karena jum'at ini hari bersejarah untuk rakyat Palestin, kemarin sempat viral kata Ismail Haniya pemimpin Hamas, besok maksudnya hari ini rakyat Palestin wajib turun ke jalan membela Al-Quds. Berkat video tersebut gw jadi kepikiran untuk berkisah tentang saudara-saudara di Palestin. Walaupun sebenarnya gue kurang tahu berita selanjutnya tentang apa yang terjadi pagi tadi di Palestin. Tapi pikiran dalam kepala gue terus-terusan menari, akhirnya membayangkan kejadian versi gue.
Anak-anak duduk tenang, mata mereka membulat, kadang satu dua kali memincingkan pandangan, tubuh tegak tidak mau bergerak dari posisi nyaman. Sembilan anak  memasang wajah serius, kadan enggan mengikuti godaan bisikan dari teman yang kurang fokus. Ternyata mereka lebih memilih cerita yang akan gue sampaikan. Yes.
Hari jum'at 8 Desember 2017.  Seorang Ayah dan anak laki-lakinya yang baru berumur 10 tahun pergi meninggalkan rumah di pagi buta. Keduanya bergabung dengan para lelaki soleh yang sudah terlebih dahulu meramaikan tempat berkumpul. Lapangan padat merayap kalau Mousa sampai melepaskan tangan dari genggapan Abinya mungkin kali terakhir mereka berdua akan bersama. Si raja siang semakin merangkak naik mengalahkan awan hitam,  awan pun berubah warna menjadi putih.
Di lain tempat seorang Ibu dengan anak laki-laki berumur empat tahun melepas kepergian suami dan putra pertamanya. Dengan bisikan doa yang ia gaungkan dalam hati, dirinya menitip dua orang yang amat ia cintai pada sang penentu takdir. Walau berat melepasnya tapi ia yakin jihad adalah tawaran terbaik dalam berniaga dengan Allah.
 "Umi apakah Abi dan kakak akan memenangkan Al-Quds?" Tanya si bungsu dengan mata polosnya.
"Allah pasti akan bersama orang-orang baik." Jawab si Ibu lembut, tangan kirinya membelai sayang kepala Abdullah. Bocah dengan hidung bangir tersebut menggeliat saat jemari Fatimah membelainya. Padahal wanita berbola mata abu-abu tidak memiliki keahlian meramal namun ada rasa optimis yang bersemayam dalam dada. Allah pastikan bersamamu bila kau selalu bersamanya, kalimat yang selalu menyihirnya.
Detik,  menit dan jam berlalu  kabar tentang suami dan putra sulungnya belum juga singgah ke telinga. Dadanya bergemuruh hebat, ia tidak mau berjauhan dari tasbih,  sedari pagi tangannya terus menggenggam benda magig tersebut,  bibirnya mengucap asma Allah sesekali hanyut dalam sedih. Namun Abdullah bocah yang memiliki cita-cita menjadi pembela Al-Quds siap siaga saat genangan air yang mengisi kantung mata Uminya sudah memenuh.
Senja ini langit di Gaza berwarna merah saga. Ada sejarah baru yang menjadi saksi atas takdir yang nanti kan ditanyakan Allah. Senjat mulai meninggalkan kota Gaza, langit hitam mulai mendominasi. Seorang laki-laki berjalan cepat bahkan sedikit berlari. Matanya memandang menerobos kegelapan, Ar-Rohiim memang baik ia mengirimkan cahaya lewat  sinar bulan untuk menerangi  langkah Abu Akmal.
Tarikan nafasnya seirama dengan degup jantung, pikirannya terus-terusan menerawang membayangkan respon wanita yang malam ini mendapatkan gelar baru atas takdir Allah. Keadaan yang memaksa wanita yang akan didatanginya harus berlapang dada menelan pil pahit untuk sebagian wanita.
"Assalamualaikum." Tangan kananya mengetuk pintu rumah tanpa warna. 
"Waalaikumussalam." Sahut seorang wanita dan anak laki-laki dari dalam.
"Umi pasti itu orang yang akan mengabari kita tentang Abi dan kakak." Abdullah berlari menuju pintu. Umi Fatimah bergegas mengekorinya. 
Pintu dibuka, dua orang dengan tatapan  sama seakan bertanya pada Abu Akmal. Tanpa bisa menyembunyikan duka Abu Akmal berkata dengan jujur.  "Kareem dan Mousa." Ucapnya tercekat, tak kuat menahan air mata yang berebut minta dibebaskan. Ke dua orang yang ada di hadapannya hanya dapat memandang penuh tanya. 
"Ami tenangkan hatimu." Abdullah meraih tangan Abu Akmal,  kepalanya menengadah berusaha mencari jawaban yang tersembunyi dari ekspresi Abu Akmal. Umu Fatimah dapat menebak pesan yang belum terucap erucap. 
"Apakah suami dan putra sulungku syahid?" Tanyanya dengan air mata yang jatuh menyentuh tanah.
"Ya." Jawaban singkat dari Abu Akmal.
Umu Fatimah jatuh tersungkur ia menarik Abdullah dalam pelukannya.
"Ketahuilah Nak. Abi dan kakakmu telah diundang oleh Allah untuk menjadi tamu dalam istanaNya." Umu Fatimah mengencangkan pelukannya, tangan kananya terus mengelus kepala si bungsu. Abdullah mengerti situasi yang sedang terjadi,  ia pun terisak lirih dalam dekapan wanita yang amat dicintainya. Tanpa mau mengganggu kesedihan Uminya. 

 Tangerang, 8 Desember 2017
Indahnya Melukis Hari 
 

Melukis Hari dengan Kata Template by Ipietoon Cute Blog Design