Tepatnya
kejadian ini ketika aku masih duduk dibangku SMA. Peristiwa bodoh yang aku
lakukan dengan sadar membuat kedua orang tua ku nyaris kehilangan nyawa. Pantas
saja kalau seluruh keluarga besar menyalahkan dan memaki ku dengan sadis. “Dasar
anak kurang ajar hampir aja orang tua kamu meninggal”. “Delapan orang gw punya anak tapi ga ada satu pun yang kurang
ajarnya seperti lw”. Kurang lebih seperti itu sumpah serapah kegeraman mereka
pada ku. Tak satupun orang yang membela bahkan sampai bapak ku sendiri ikut
menyalahkan ku, sampai ketika sanak saudara menjenguk aku tidak berani
menampakkan batang hidung ku karena kalau sampai aku muncul dihadapan mereka
entah apa yang akan terjadi.
Semuanya berawal saat aku tergoda mengikuti rayuan teman
untuk buka bersama disalah satu rumah mentri dengan diiming-imingi akan
mendapatkan uang sebesar seratus ribu rupiah kenapa tidak aku fikir dapat
menambah uang jajan aku iyakan saja, ternyata uang seratus ribu itu harus aku
tukar dengan nyawa kedua orang tua ku. Sungguh hal bodoh yang aku sesali sampai
saat ini. Karena kejadian itu ibu nyaris kehilangan kakinya menurut dokter kaki
kanannya sudah tidak dapat diselamatkan dan jalan terbaik harus diamputasi
berarti ia akan cacat seumur hidup, hari-harinya akan di lewati dengan satu
kaki saja. Aku belum siap ya Allah dengan semua ini. Kondisi bapak masih cukup
menguntungkan tangan kirinya saja yang patah. Sumpah demi Allah ternyata aku
harus membayar mahal atas kesalah bodoh yang ku lakukan, apa lagi waktu itu
bertepatan dengan bulan ramadhan dan sudah memasuki hari ketujuh beberapa
minggu lagi idul fitri akan tiba masa ketika hari raya yang harusnya di rayakan
dengan gembira dan penuh suka cita tetapi sebaliknya kami sekeluarga harus
melewatinya dengan air mata.
Sehari
setelah kejadian nyaris aku seperti mayat hidup berjalan tanpa arah tujuan,
seharian aku diam tak bicara satu dua kali tanpa sadar meneteskan air mata
teman-teman yang melihatnya merasa aneh dan penasaran ada apa dengan diri ku yang
biasanya ceria dan tertawa tanpa bisa menutup mulut. Bahkan ketika baru sampai
di sekolah untuk menyembunyikan air mata, aku berjalan dengan cepat melewati
guru piket yang sudah stand by di depan pintu gerbang dan berjalan tanpa
mengucapkan salam, kebetulan sekolah ku cukup religius padahal bukan sekolah
agamis. Akhirnya karena sikap tidak sopan ku itu dengan tegas guru tersebut
menyuruh ku mengulang melewati pintu gerbang dan mengucapkan salam dengan
sopan, seperti hamba pada tuannnya aku menuruti apa yang dikatakan guru ku itu.
Ternyata ada satu guru yang menangkap sikap aneh ku itu akhirnya tanpa panjang
lebar ai langsung menari ku seperti anak kucing dan mengajak ku bicara.
Awalnya
ia menebak-nebak hal apa yang membuat ku menangis sepagi itu, apakah karena
kenapa omel nenek atau kakek ku. Aku menggeleng menyalahkan semua tebakannnya dan
akhirnya aku membuka mulut dan menceritakan alasan mengapa aku menangis.
“Orang
tua saya kecelakaan dan itu karena saya” sambil menyeka air mata
“Innalillahi
kenapa bisa?” guru ku bertanya dengan penasaran
“Karena
tadi malam sampai jam dua belas saya belum pulang, akhirnya ibu dan bapak saya mencari
saya. Mungkin karena ngantuk dan sudah lelah tabrakan pun terjadi” tanpa terasa
sapu tangan yang ku genggap sudah basah dengan air mata yang ku seka beberapa
kali.
***
Mungkin
Allah ingin menghukum hambanya yang hina ini, aku berusaha untuk tidak
mengingat-ingat kejiadian memilukan itu namun sepertinya Ia tidak rela dan
sudah mengatur semuanya untuk ku. Memori menyedihkan selalu melesat-lesat dalam
ingatanku. Malam saat kejadian jam
setengah dua dini hari aku melewati lokasi tabrakan kedua orang tua ku tapi
sayang coba lima menit aku lewat lebih awal mungkin aku bisa bertemu dengan
keduanya. Apakah mungkin saat itu Tuhan
masih baik dengan ku coba kalau sampai aku melihat kedua orang tua ku mungkin
aku tidak kuasa melihatnya. Ya Allah aku shok sekali ketika mengetahui tempat
tabrakan yang ku lewati adalah tempat yang hampir merenggang nyawa kedua orang
tua ku. Setelah mengetahui itu sungguh aku terguncangnya dan tak dapat meneteskan
air mata, rasanya seperti ada yang menyumbat kedua bola mata ku. Fikiran ku
menari-nari tidak jelas berusaha meyakinkan diri kalau ini hanya mimpi dan saat
ini aku sedang tidur di dalam kamar dan sudah sampai rumah dari kemarin sore.
Saat itu ramadhan sedang menyapa penduduk bumi, subuh
sebelum kejadian aku bersama keluarga masih sempat bercengkaraman ibu, bapak,
kakak dan kedua adik lelaki ku. Tertawa bersama sambil menikmati hidangan
sahur. Tidak ada hal aneh atau firasat yang dialimi salah satu diantara kami, kalau
sebenarnya nasih buruk sedang mengintai keluarga ku. Pagi sebelum berangkat
sekolah pun aku masih santai ketika pamit kepada keduanya sambil menggembol tas
besar berisikan beberapa potong baju karena dari kelas enam sekolah dasar aku
sudah tidak lagi tinggal bersama keduanya. Jarak tempuh yang cukup jauh dari
sekolah memaksa ku meiyakan permintaan ibu untuk tinggal di rumah nenek dan
seminggu sekali baru bisa pulang. Sebenarnya alasan jauh bukan semata-mata harus
tinggal bersama nenek tapi karena keadaan ekonomi yang cukup melilit akhirnya
untuk mengurangi jatah makan dan pengeluaran aku relakan untuk tinggal berjauhan
dari mereka.
***
Kecelakan
itu berdampak sangat besar bagi kehidupan ku, sungguh sebelumnya aku sangat
membenci ibu hanya kenangan pahit semasa kecil yang selalu ku ingat. Sikap
kasarnya membuat aku berani menentang perintah dan kata-katanya, tidak sampai
disitu saja aku selalu berfikir negatif padanya. Sedikit aku membuat kesalah akan
berakibat buruk bagi ku, masih membekas dalam ingatan saat masih kecil aku
sering sekali dimarahi olehnya dicuekin dan tak diperdulikan itu yang selalu
aku rasakan. Bahkan dari kelas dua sekolah dasar aku sudah terbiasa menyiapkan semua perlengkapan
sekolah sendiri, sampai setiap kali berangkat sekolah aku harus memakai baju
lecek yang tak disetrika itu terjadi sampai aku kelas enam sekolah dasar
mungkin karena ia tak mau membuang waktu untuk mestrikanya. Pernah juga pada
saat aku duduk di kelas tiga sekolah dasar karena salah membeli buku ia mengamuk
dan menyuruh ku menjualnya, akhirnya aku harus mewarkan satu persatu kepada
teman-teman di kelas berharap ada yang mau membelinya. Alhamdulillah salah satu
teman mengajak ku ke rumahnya dan disana
aku bisa membujuk ibunya.
Tidak
sampai disitu saja kenangan pahit akan dirinya. Waktu itu dengan uang jajan
yang tersisa pas-pasaan aku membelikannya keripik singkong karena ibu suka
dengan keripik singkong siapa tahu dia akan senang memakan keripik dari ku
tetapi apa yang ku dapat “emang gw minta beliin” itu yang di ucapkannya pada ku
betapa teririsnya hati ini kalau saja ia tahu demi membelikannya keripik
singkong aku harus rela dimarahi supir angkot karena kurang membayar tarif. Dan
akhirnya aku berfikir apa mungkin aku bukan anak kandungnya atau anak yang
tertukar di rumah sakit tapi setelah aku bertanya kepada bapak apakah ada
seorang ibu yang melahirkan pada hari yang sama ketika aku dilahirkan dan bapak
menjawab ada tetapi ibu itu memiliki bayi laki-laki. Wajar kalau sampai aku
berfikiran seperti itu karena ibu galak sekali dimata ku.
Selain kenangan pahit itu aku juga memiliki kenangan yang
membuat ku iri besar dengan kakak perempuan ku, yang memiliki sifat dan wajah
yang cantik. Mungkin karena alasan itu juga aku selalu iri padanya belum lagi
semasa kecil ibu selalu memberikan perhatian lebih padanya. Kebutuhan ia selalu
di dahulukan oleh ibu terutama kebutuhan pribadinya. Pernah suatu hari ibu
membelikannya baju aku sangat iri padanya kenapa hanya ia yang di belikan
mengapa tidak dengan ku, akhirnya aku marah besar pada ibu dan menuduhnya tidak
sayang dan tidak suka dengan ku, apa respon ibu atas tuduhan ku itu ia tidak perduli
dengan kemarahan ku dan menganggapnya biasa saja. Aku fikir ia akan membelikan
baju juga kalau melihat ku marah tapi tidak boro-boro ia mau pusing dengan
kemarahan ku, yang ada kalau aku memakasa aku akan di pukuli olehnya.
***
Sebulan setelah kejadian membuat ku merubah pandangan
tentang ibu, dia lah satu-satunya orang yang tidak menyalahkan ku atas kejadian
itu. Dengan ikhlas ia mengatakan kalau semua ini sudah menjadi tadir Allah
walaupun pada malam itu ia tidak keluar mencari ku mungkin kecelakaan tetap
akan menimpa dirinya, karena semua yang bernyawa harus dengan ikhlas menerima
takdir yang Allah tetapkan. Kadang aku sedih melihat kepayahannya yang
dahulunya ia dapat melakukan semua tugas seorang diri namun untuk mandi saja ia
butuh bantuan orang lain, malam hari ketika semua orang sedang terlelap tidur
ia harus sabar menahan sakit di kakinya
karena pada saat malam hari sakit yang dirasakan akan bertambah dua kali lipat,
tidak sampai disana saja buang air kecil, air besar, mandi, merubah posisi
tidur, memasangkan mukena dan semuanya harus di bantu oleh orang lain.
Rutinitas harian ku pun bertambah sebelum berangkat sekolah biasnya aku
menyempatkan diri untuk memandikannya terlebih dahulu kalau semua kebutuhannya
sudah terpenuhi baru aku bisa tenang berangkat sekolah.
Karena intensitas kami selalu bersama setelah kecelakaan
itu membuat kami semakin dekat, walaupun sampai saat ini tidak pernah sekali
pun mengungkapkan cinta antara satu sama lain tetapi karena kami sadar, kami
membutuhkan satu sama lain untuk tetap bertahan hidup karena yang namanya
keluarga adalah orang yang selalu akan dicari ketika masalah sedang tejadi.
Terutama ibu ketika aku sakit dengan sentuhannya aku bisa sembuh kembali,
ketika aku jatuh dengan uluran tangannya aku bisa berdiri tegak kembali, dengan
dukungannya dalam setiap langkah ku membuatku berani untuk menghadapi
tantangan. Terima kasih ibu karena keikhlasan mu mengandung ku membuat ku hadir
di dunia ini.
Tangerang,
26 Juli 2017
Indahnya
Melukis Hari
0 komentar:
Posting Komentar