Rabu, 11 Oktober 2017

Mom I Love Reading


            Setiap orang tua pasti menginginkan buah hatinya tumbuh menjadi anak cerdas secara akademik. Karena patokan cerdas dan tidaknya saat ini di negara kita masih seputar anak yang sedini mungkin dapat membaca dan berhitung. Buat anak usia dini yang bisa baca semuda mungkin, akan mendapat julukan manusia setengah Einstein. Ironisnya mereka yang belum bisa membaca saat lulus TK dapat di pastikan sulit untuk masuk SD unggulan atau favorit. Ya ampun sengsara banget anak Indonesia saat ini, dari kecil saja beban hidup sudah berat.


            Sebenarnya sangat simpel membuat anak bisa membaca bahkan dalam jangka waktu tiga bulan saja kita bisa membuat mereka fasih membaca koran atau buku cerita. Saya sudah buktikan ini selama 90 hari konsisten tanpa jeda. Tapi akan banyak timbul masalah atas pencapaiannya mereka, kalau kita ibaratkan tumbuh kembang anak seperti sebuah segi tiga anak-anak Indonesia berkembang dari bagian besar menuju kekerucutnya, sedangkan anak-anak di Amerika, Inggris, Finlandia dan negara maju lainnya. Mereka berkembang dari bagian kerucutnya menuju bagian besarnya.


Apakah ini sebuah kemajuan? Jelas sebuah kemunduran, dari kecil anak yang dipaksa untuk pandai dalam akademiknya suatu saat nanti mereka akan tumbuh menjadi anak yang benci dengan pelajaran. Saat ini fenomena tersebut menjadi kebodohan masal yang sulit di tanggulangi. Dari kecil beban yang di emban sudah terlalu berat padahal anak-anak belum butuh nilai bagus. Dampaknya mereka akan acuh dengan beban yang harusnya mereka emban ketika dewasa.

            Dari hal yang saya pelajari selama berkecimpung dalam dunia pendidikan setiap manusia itu memiliki dua jenis perkembangan. Perkembangan kronologis dan biologi, perkembangan di sini saya sebut usia ya. Usia kronologis, usia ulang tahun kita sedangkan biologis tahapan perkembangan kita sebagai manusia yang akan bertambah sesuai dengan tingkat tantangan hidup yang berhasil kita lalui. Setiap anak belum dapat mengambil keputusan, mereka akan cenderung mengerjakan apa yang disuruh, saat mereka disuruh belajar membaca, ikut les ini itu dan bla bla bla pasti akan mereka lakukan karna pola dan atmosfer yang di bentuk oleh orang tua menuntut mereka harus seperti apa yang orang tua mau.


            Naasnya zaman sekarang  usia biologis anak tidak berkembang dengan baik karena sedari kecil orang tua tidak melatih tentang hal itu, coba kalau kita perhatikan anak sekolah zaman sekarang kronologis mereka 15 tahun tapi biologisnya seperti anak 5 tahun. Sebagai sampel seorang anak SMA yang gemar sekali tauran dengan menggunakan celurit dengan tujuan melukai seseorang, sebenarnya kita sama-sama tahu efek celurit dapat membuat musuh kehilangan nyawa apakah mereka memikirkan itu.


Dalam perkembangan anak ada yang namanya sensorimotor satu, ada di usia berapa si anak yang memiliki sensorimotor satu? Harusnya hanya boleh ada di anak yang usianya dua tahun. Anak usia dua tahun masih gemar sekali untuk melempar benda-benda di sekelilingnya karena mereka belum tahun fungsi dan kegunaan dari benda tersebut. Gelas kaca yang mereka lempar akan pecah dan berbahaya bagi dirinya dan orang lain, apakah anak tersebut paham? Tentu mereka tidak paham. Jadi anak SMA yang masih gemar tauran sebenarnya biologis mereka seperti anak usia dua tahun.

            Ada lagi kasus orang dewasa yang suka mencuri atau menginginkan kepunyaan orang lain. Sebenarnya kasus mengambil barang yang bukan miliknya akan muncul pada anak usia tiga tahun, kenapa tiga tahun? karena mereka masih belajar tentang konsep kepemilikan. Mereka masih bingung antara barang miliknya, orang lain dan umum. Nah bagi orang dewasa yang suka ngambil barang orang lain bisa jadi karena saat usia tiga mereka tidak diajarkan tentang konsep ini. Ini juga berlaku untuk orang dewasa yang suka sekali korupsi.


            Untuk orang dewasa yang gemar berbohong dan menganggap kejujuran tidak penting bagi mereka, sebenarnya akan kita temui pada anak usia lima menjelang enam tahun. Pada saat usia lima menjelang enam disebut usia special karena transisi dari TK menuju SD mereka lebih gemar menyalahkan dan mengkambing hitamkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat. Mereka memiliki ego lebih besar dari usia sesudahnya. Jadi orang dewasa yang suka sekali berbicara dusta seperti anak umur lima tahun.


            Kenapa fenomena di atas menjadi kebodohan masal bagi orang dewasa di negara kita? karena sedari kecil orang tua kita sibuk dengan nilai akademik saja, tetapi mengabaikan pembentukan karakter. Coba kita perhatikan budaya mengantri di negara kita bisa di katakan jelek sekali, tidak sabar kalau harus mengantri. Budaya membaca bagaimana? Indonesia masuk kategori negara termalas, buku itu sudah seperti monster yang akan mengambil nyawa si pembaca. Sedangkan untuk urusan menonton menjadi makanan sehari-hari yang tidak boleh di lewatkan. Siapa yang untung kalau seperti ini? Oknum-oknum tertentu yang bertujuan untuk mengisi kantong. Akhirnya pembodohan menjamur di negeri ini. Padahal Allah memerintahkan kita dalam surat Al-Alaq ayat 1-5 untuk membaca.

            Sebenarnya usia berapa si anak sudah masuk kategori siap baca? Jawabannya adalah anak usia delapan tahun atau anak kelas tiga SD, delapan tahun pun bukan hanya pelajaran membaca saja yang diberikan. Tetapi pengenalan membaca secara dasar hanya secara dasar bukan digembleng terus menerus. Anak usai delapan tahun masih masuk kategori anak usia dini yang kegiatan mereka di sekolah hanya bermain sambil belajar dan pembentukan karakter.

            Ok selanjutnya di bawah ini tips untuk mengajarkan anak supaya bisa cepat membaca :
1.  Membacakan buku (sebenarnya budaya dongeng sebelum tidur penting banget untuk dilakukan. Ibaratnya orang tua dan anak memiliki quality time dengan membaca buku bersama)
2.  Sering mengajak anak mampir ke toko buku
3.  Berikan kesempatan kepada anak untuk membeli buku yang mereka pilih sendiri
4.  Buat anak mencintai buku 
5.   Ciptakan budaya cinta membaca pada rumah kita
6.  Orang tua harus lebih sering memperlihatkan kepada anak kalau ayah dan mama mereka juga suka membaca
7.  Berikan label nama pada setiap benda yang ada di rumah (tempat garam, gula, kamar, toilet dll)
8.  Membuat perpustakaan kecil di rumah


Warning orang tua jangan terburu-buru memaksakan proses ini, budaya cinta buku bisa di bentuk sejak anak sedini mungkin. Ortu wajib memfasilitasi banyaknya buku di rumah. Sudah banyak toko buku yang menjual buku untuk bayi dan balita, sedini mungkin sudah boleh di kenalkan tentang buku tersebut. Dan pastikan ortu sering membacakan buku bayi dan balita kepada anak setelah itu mereka boleh di berikan kesempatan untuk memainkan buku tersebut lebih sering.

Saya yakin kalau semua proses pengenal membaca di atas di lakukan dengan sabar dan penuh perhatian membaca untuk anak akan menjadi habits dan hobby sampai mereka tua nanti. Kalau kata mama saya tidak usah buru-buru Belanda masih jauh. Gimana kasusnya kalau anak kita tidaka akan di terima SD kalau mereka belum bisa membaca? Ya tinggal cari sekolah lain yang lebih lebih mementingkan pembentukan karakter. Karena anak kita bukan orang dewasa kecil ia tetap anak kecil yang butuh bermain.

Dan ternyata membaca ada tahapanya loh sekalian saya share ya :
1.       Tahap fantasi (Magical stage)
2.       Tahapan pembentukan konsep diri (Self concept stage)
3.       Tahap membaca gambar (Bridging reading stage)
4.       Tahap pengenalan bacaan (Take of reader stage)
5.       Tahap membaca lancar (Independen reader stage)

Semoga bermanfaat bagi para pembaca. Selamat menikmati setiap proses yang terjadi bersama buah hati. Ingat anak-anak kita itu calon pemimpin di masa depan, yuk kita siapkan sebaik mungkin.


Tangerang, 11 Oktober 2017

Indahnya Melukis Hari 

Minggu, 08 Oktober 2017

Dikejar-Kejar Surga


Bel sekolah berbunyi tiga kali. Tanda kegiatan belajar mengajar dihentikan. Seperti gerombolan semut yang keluar dalam sarang, penghuni SMA pertiwi keluar memadati jalan. Suara klakson tidak henti-hentinya dibunyikan. Angkutan umum nangkring dengan manis. Seperti kereta kuda yang sedang menunggu Cinderella menuju kastil pangeran tampan. Tapi  kali ini bukan kendaraan romantis yang menghiasi gang depan sekolahku melainkan angkot butut yang sedang mencari penumpang.

            Belum lagi udara siang yang membuat anak-anak mengkibas-kibaskan tangan mereka. Untuk sekedar mengusir kepanasan dari si bola api raksasa. Dengan wajah kusam, baju aut-autan, rambut yang sudah basah keringat sambil menggendong ransel yang beratnya melibihi monas aku melangkahkan kaki memasuki angkot. Naasnya walaupun sudah padat supir angkot tetap tidak mau tancap gas dengan alasan masih ada satu kursi kosong yang belum terisi. Penumpang yang semuanya anak sekolah sudah berkali-kali menggerutu, sudah hampir sepuluh menit kami berdiam diri dalam kaleng raksasa dengan mandi keringat tentunya.

Penumpang yang duduk di depan ku sedang asik membicarakan Bimo ketua OSIS yang wajahnya mirip Varel Bramasta. Orang yang ada di sebelah kirinya sedang menikmati sedotan terakhir es jeruk yang sedari tadi diminumnya.  Aku hanya duduk diam sambil sesekali menongolkan kepala keluar jendela demi mencari sehirup oksigen yang Tuhan ciptakan. Seorang laki-laki dengan bet dan seragam yang sama memasuki angkot yang aku naiki. Wajah yang selama ini sangat aku kenal. Kedua bola mata yang belo, alis tebal, hidung runcing dan tentunya bibir tipis yang selalu menghiasi senyumnya. Porsi wajah yang pas, kalau diibaratkan seperti masakan tentu ia termasuk masakan lezat. Ternyata wajah charming seperti magnet bagi para anak perempuan untuk berbondong-bondong masuk rohis.

Mas Oby ketua rohis di sekolahku. Yang ketika berjalan selalu menundukkan pandangan, “Assalamualaikum” kalimat yang sering sekali diucapkan, prestasi yang berkali-kali diraih dan masih banyak lagi nilai positif dirinya yang malas aku bahas.

“Bang udah penuh jalan dong.”

“Iye sabar Neng, baru juga gw mau naik.”

Angkot membelah jalan. Seketika suasana menjadi sepi hanya derungan mesin yang terdengar menghiasi telinga. Kenapa semua diam? Ada apa ini, kok tiba-tiba sepi sekali. setelah Mas Oby masuk, ah memang aku pikirin.
***
            Rasanya enak sekali setelah keluar dari angkot, seperti hidup kembali dengan bebas menghirup oksigen. Tapi keringat masih mendominasi bahkan aku bisa merasakan butiran air yang berjalan di atas pungungku. Sudah tak terhitung aku menyeka keringat di kening tapi produksi keringat dalam tubuh tidak ada habis-habisnya. Seketika aku membuka jilbab yang dari pagi mengurung rambutku.  Rasanya nikmat sekali saat angin menyapa kulit kepala dan leher. Sambil terus mengibas-ngibaskan jilbab aku menyusuri jalanan komplek rumah. Seorang laki-laki yang tadi satu angkot denganku berjalan dengan gagah di depanku, kami hanya terpisah jarak lima langkah saja. Persis di depan pagar rumah bewarna putih ia melangkahkan kaki dan memasukinya. Saat ia mengunci kembali pagar rumahnya kedua mata kami bertemu pandang. Saat itu juga ia mendadak kaget mata belonya menjadi tambah besar, bibir tipisnya menganga lebar. Lalu dengan sinis ia melempar pandangan.

            “Pleas deh emang aku sampah apa. Biasa saja kali.” Aku menggerutu pelan sambil terus berjalan. Rumah aku dan Mas Oby hanya berjarak tiga rumah.

            “Assalamualaikum.”

            “Waalaikumssaam. Itu jilbab kenapa dilepas Neng?” Mamah menatapku dengan heran

            “Abis panas, gerah tau Mah. Nih lihat rambut Nia basah seperti orang habis keramas.” Sambil memegang sebagian rambutku lalu menunjukkan ke Mamah.

            “Ia tapi lepasnya di rumah saja, malu atuh auratnya kelihatan.” Mamah masih terus membombardirku. Panjang deh urusannya.

            “Iiih emang siapa yang mau lihat. Orang sepi kok.” Setelah melepas sepatu aku duduk di samping mamah.

            “Iya, tapi kan ada malaikat yang ngeliatin kamu. Enggak malu sama malaikat?”

            “Mulai deh, emang aku anak umur  lima tahun apa? Pleas deh Mah aku paham kok harus bagaimana. Mamah malu ya anak Bu Hajah tapi enggak pakai jilbab?”

            “Nah itu salah satunya. Malu anak Bu Hajah masa pamer aurat. Ibu dan kedua kakaknya berjilbab, masa anak bungsunya enggak.”

            “Mah jilbab tuh panggilan hati, bukan panggilan tetangga.”

            “Kenapa nih kok tengah hari bolong pada ribut?” Ka Inez dengan jilbab panjang berwarna hijau melangkah masuk lalu meraih tangan Mamah dan menciumnya.

            “Inih Adik kamu, masa buka jilbab di luar rumah.” 

            “Ohhh kenapa dibuka jilbabnya Dek?”

            “Coba Ka Inez rasakan sendiri, di balik jilbab panjang apa yang dirasakan?”

            “Gerah maksud kamu?” Sambil menatap kedua mataku.

            “Iya.” Kini aku mulai kesal, sambil memajukan kedua bibirku.

            “Kamu tahu enggak kenapa bumi semakin panas?”

            “Iya aku tahu, karena ozon yang ada di bumi sudah semakin menipis.”

            “Pinter Adik ku ini.” Sambil mencubit pipi tembem ku Ka Inez menggeser duduknya.

            “Terus?” Aku mulai meninggika suaraku.

Ozon sudah tipis, saat ini kondisi darurat untuk menutup aurat. Nanti bisa kena kanker kulit loh.”

Sambil terus mengusap-usap pipiku yang masih sakit, aku enggan menanggapi Ka Inez.
***
Biasanya selepas bel berbunyi aku langsung hengkang meninggalkan sekolah. Hari ini ada pertemuan rohis terpaksa aku mampir dahulu ke musholla. Sebenarnya bisa saja nekat kabur terus naik angkot dan pulang. Tetapi karena setiap anak baru wajib mengikuti satu ekstrakulikuler  kalau tidak mau ikut nilai ancamannya. Karena alasan itu aku mengiyakan ajakan Umi teman dekat sedari Sekolah Dasar untuk mengambil eskul yang sama.

Ternyata musholla sudah dipadati para anggota rohis baru walaupun tidak semuanya berjilbab, karena rohis terbuka untuk semua siswa-siswi yang beragam islam. Kami bergegas masuk dan langsung berbaur dengan teman-teman. Oh ya masuknya aku ke rohis karena kejeblos juga. Umi masuk maka aku mengikutinya, ditambah lagi peran kedua kakak ku Inez dan Sally. Keduanya aktifis rohis walaupun sudah sama-sama lulus namun satu minggu sekali Ka Inez dan Sally masih menyempatkan waktunya untuk mengisi pengajian di sekolah. Nah peran kedua kakak ku yang akhirnya menyeretku untuk masuk rohis. Ooh Tuhan mengapa dalam hidupku saja aku tidak dapat menentukan arah? Selalu ada campur tangan pihak kedua yang mengatur skenario hidupku.

Kalian harus tahu sudah tiga tahun ini diriku terpenjara dengan hijab. Padahal banyak sekali baju-baju cute dan unik di mall. Belum lagi itu loh pakaian para K-Pop yang keren abis, semakin menambah kecantikan mereka. Gimana aku mau punya pacar, kalau sampai saat ini saja aku terus-terusan memakai jilbab. Kesal. Hampir seluruh baju yang memadati lemariku isinya pakaian muslimah dan kerudung warna-warni.

***
            Kini aku resmi menjadi anggota rohis SMA Pertiwi, yang kalau nongkrong di musholla. Menghabiskan jam istirahat dengan sholat dhuha lalu diskusi sesama anak rohis. Sepanjang diskusi aku hanya menjadi pendengar pasif, tidak perduli dengan apa yang mereka bicarakan. Pikiranku berkelana membayangkan oppa Song Joong Ki yang gantengnya melebihi semua aktor Indonesia. Wajah mulusnya yang ingin sekaliku pegang, lalu menghayal mendapatkan hadiah bisa bertemu dan menghabiskan waktu bersama.

            Terkadang diskusi kami malah menjadi ajang curhat untuk sebagin teman. Seperti saat ini, satu persatu mereka mengeluhkan tentang sulitnya mendapat dukungan keluarga untuk berhijab.

“Kalau aku butuh perjuangan banget buat pakai jilbab, mamah marah besar. Katanya nanti sulit cari kerjanya”

“Huffttt ibu malah mengurangi uang jajan, katanya takut kalau uang yang dia berikan buat beli jilbab”.

“Teman-teman yang lebih parah lagi saya, kemarin pas pulang sekolah jilbab besar yang saya beli dua hari lalu sama bunda disobek-sobek.”

“Alhamdulillah keluarga ane mendukung, tapi sayangnya ini satu-satunya jilbab yang ane punya. Maklumlah bapak ane hanya seorang satpam. Kalau mau beli sesuatu harus menyisihkan uang jajan yang hanya pas-pasan ini.”

Inannalillahi rata-rata dari semua teman rohis memiliki kendala untuk dapat memakai hijab, bagaimana denganku yang setiap hari dukung demi dukungan selalu ku dapat. Belum lagi semangatnya mamah yang setiap pulang pengajian selalu membawa baju atau jilbab baru untukku. Tetapi dengan ketidak bersyukuranku ini membuatku seperti orang sombong yang bangga memamerkan auratnya.

Penglihatanku kabur, satu persatu kutatap sahabat terbaikku dengan nanar. Apa ini hidayah yang Allah berikan? Inikah rasanya hidayah? Seperti dikupul dengan palu godam. Sedih karena selama ini selalu melawan Mamah dan kedua kakakku ketika menyinggung masalah jilbab. Ingin rasanya aku berlari pulang lalu memeluk tubuh Mamah sambil membisikkan ucapan terima kasih atas dukungannya. Bersimbuh dikakinya, lalu menghujaninya dengan ciuman.

Sekelibat potongan demi potongan nasehat Mamah bermunculan dalam pikiranku.
“Jangan sedih kalau dibilang kuper, yang penting kamu berjilbab.”

“Kata siapa seperti orang-orangan sawah. Kecantikan wanita adalah saat diri mereka dapat menjaga auratnya.”

“Mamah enggak masalah kamu dijauhi teman, yang penting kamu didekati malaikat.”

“Engga masalah kamu dipanggil anak terkuper di sekolah. Karena kamu penentu Mamah dan Papah masuk surga.”

 Tangisku pun pecah, terisak-isak di depan sahabat-sahabaku. Mereka yang sedari tadi asik membagi kesedihan langsung menatap ke arahku dengan heran. Umi yang duduk di samping kananku bertanya sambil mengusap-usapkan tangan kepunggungku. Teman-temanpun menanyakan hal yang sama, aku semakin tidak bisa menghentikan tangisan ini. Air mata sudah menganak sungai membentuk jalannya di atas pipi. 
***
            Setelah kejadian itu aku semakin mantab untuk mengenakan hijab. Sekarang jilbabku sudah semakin rapih menutupi dada. Tidak akan ada lagi kejadian melepas jilbab di gang rumah. Ka Sally pernah bilang “Sehelai rambut wanita yang dilihat oleh laki-laki bukan mahramnya dengan sengaja. Balasannya tujuh puluh ribu tahun dalam neraka. Sehari di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia.” Diriku bergidik membayangkannya. Dulu kalimat tersebut tak berefek untukku tapi kini seperti magic yang mampu menyihirku.

            Mamah dan kedua kakakku senang sekali melihat perubahannku. Terkadang pulang dari mengajar keduanya membawakanku jilbab, gamis atau sekedar bros cantik. Ini termasuk rezeki dari Allah yang diharapkan semua muslimah. Tidak lupa aku berbagi dengan teman-teman yang kesulitan membeli kerudung, baju, rok atau gamis. Akan ada senyum seindah pelangi yang terukir di wajah mereka.

            Sabtu pagi di sekolah adalah waktu khusus untuk ekskul, hampir semua ruang dan lapangan dipakai. Pagi ini aku semangat sekali untuk bertemu dengan sahabat-sahabat rohis, dan yang paling menggembirakan adalah bertemu dan diskusi bareng dengan Ka Dewi ketua keputrian sekaligus mentor.

            “Kemerosotan mental seorang muslimah adalah saat dirinya dengan pongah berjalan di atas perut bumi sambil mempertontonkan aurat mereka. Memberikan hidangan kepada mata-mata haram untuk menikmati aurat kita.”

Dengan sorotan matanya yang tajam ka Dewi melihat satu persatu lawan bicaranya, kalau sudah sepert ini kami siap duduk berjam-jam mendengarkan apa yang disampaikannya. 

“Perintah hijab bukan baru datang di zaman kita, ribuan tahun lalu pakaian takwa sudah menjadi perintah khusus para isteri nabi untuk menggunakannya. Sebab dengan menggunakan hijab sebagai tameng bagi muslimah agar tidak diganggung dan menjadi terhormat setiap saat. 

Lanjutnya dengan tetap semangat membara.

“Itu bukan perkataan ane. Dalam  Al-Qur’an surat Al-Ahzam  ayat 59, tercetak jelas perintah tersebut.”

“Silahkan ada yang mau bertanya sebelum ane lanjut.” Ka Dewi mengedarkan pandangannya.

“Ka kira-kira ada tidak wanita muslimah yang tetap berhijab namun dia tetap berprestasi?”

“Subhanallah pertanyaan yang bagus.”

Dona tersenyum riang mendengar pujian yang dialamatkan padanya.

“Khadijah binti Khuwaylid, Nusaybah binti Ka’ab, Khawla binti Al-Azwar, Aisyah binti Abu Bakar, Zainab binti Ali, Rabi’ah Al-Adawiyah, Lubna of Cordoba, Al-Maliki Al-Hurra Arwa Al Sulayhi binti Ahmad, Shajar Al-Durr dan Zainab binti Ahmad.”

Ka Dewi menyebutkan satu-persatu nama-nama yang ia ketahui. Membuat kami semua senang mendengarnya.

“Itu baru sebagian, kalian bisa menjadi salah satu di antaranya. Ane tunggu sepuluh tahun kemudian nama kalian yang akan ramai di Indonesia, tentunya karena prestasi.”

Seketika ruangan menjadi ramai. Kami sibuk berbisik dengan teman sebelah.

“Berjilbab bukan penghalang kalangkah kita. Malah kebalikannya dengan berjilbab maka prestasi akan selalu mendatangi kita.”

Kalimat inspiratif sebagai penutup diskusi pagi yang sudah beranjak siang. Karena hidayah bukan di tunggu tapi diraih. Surganya Allah mampu menampung semua makhluk yang diciptakannya, kini saatnya kita bersaing dalam mengejar surga Allah. Manfaatkan waktu terbaik dan fasilitas ternikmat yang Allah berikan di negeri ini. Aku berdoa kepada Allah agar Ia selalu menguatkanku dalam menjaga hidayah yang sudah diberikanNya.

Tangerang, 8 Oktober 2017
Indahnya Melukis Hari

           




 

Melukis Hari dengan Kata Template by Ipietoon Cute Blog Design