Kamis, 06 Juli 2017

NISAN UNTUK AYAH



          Semakin lama tubuh kaku itu tertutup oleh papan-papan yang dipasang dengan rapih dalam lubang kesedihan. Kini lubang tersebut sudah hampir penuh di selimuti tumpukkan tanah. Gadis bermata belo itu sudah tidak lagi menangisi kepergian ayahnya dengan tegar ia dan Rumia adik semata wayangnya mengikhlaskan kepergian ayah yang selama ini mengisi hari-hari indah bersamanya. Dua tahun belakangan ayahnya divonis menderita kanker perut, awalnya ia tidak mengetahui tentang penyakit ayahya itu tetapi ia bukan anak bodoh yang dapat di bohongi terus menerus dari obat-obatan dan erangan rasa sakit ayahnya akhirnya ia menyadari tentang penyakit serius yang di derita ayahnya. Ternyata alien itu memilih ayahku.
            Saat ini tidak ada lagi orang yang dapat mengajaknya untuk bangkit dari jatuhnya, mengusap air mata dari kehidupan yang keras ini, tertawa bersama bahkan menciptakan melodi dan bait indah. Yang tersisa hanya Rumia adik semata wayang yang harus ia jaga selamanya karna hanya itu pesan dari ayahnya sebelum malaikat mengambil nafas terakhir dari tubuhnya. Kini yatim piatu menjadi julukan baru bagi dirinya, ibu Rani sudah meninggal delapan tahun yang lalu saat melahirkan Rumia selama delapan tahun ini mereka bertiga membagi suka maupun duka menjalankan nafas yang di berikan tuhan.
            Setelah kematian ayah tak satupun keluarga dari ayah dan ibunya yang mau menampung mereka berdua karna alasan ekonomi memaksa paman dan bibi mereka enggan untuk membuka pintu bagi mereka, dengan berat hati Rania dan Rumia harus ikhlas menjalankan masa kanak-kanak di dalam panti.
            “Nak maafkan paman, ini semua paman lakukan untuk kebaikan kalian. Baik-baiklah di panti, paman janji akan mengunjuki kalian kalau paman ada uang”
            Itu kalimat terakhir yang ia dengar dari adik ayahnya. Kini hanya rasa sepi yang akan selalu menjaganya dan air mata teman setia yang selalu melindunginya.
***
            Rania tidak langsung berbaur dengan penghuni panti yang lain, sedangkan Rumia gadis berambut panjang dan murah senyum itu dengan cepat sudah memiliki teman akrab, kakak beradik itu memang memiliki sifat dan karakter yang bertolak belakang. Namun mereka memiliki hobby yang sama yaitu bernyanyi dan bermain alat musik.  Rania lebih banyak diam dan asik melakukan segala hal seorang diri sedangkan kebalikan dari kakaknya Rumia yang ceria mampu menghidupkan suasana dan membuat siapa saja yang ada di sekelilingnya gembira. Dengan kepandaian adiknya dalam bergaul tidak membuat Rania khawatir adiknya kesepian, cukuplah awan mendung menaungi dirinya saja tetapi tidak untuk Rumia.
            Segala hal di panti sangat disiplin dari bangun tidur sampai tidur kembali semuanya sudah ada peraturannya, bagi anak yang melanggar peraturan yang ada maka tidak segan-segan ibu Maria kepala panti untuk menghukum setiap anak yang melanggar peraturan.
            Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 waktunya semua anak harus berkumpul di ruang makan, suasana ruang makan cukup gaduh ada yang sedang berlari, teriak-teriak tidak jelas, memukul-mukul alat makan dan ada juga yang asik mengobrol. Rania hanya bisa memperhatikan tingkah teman-temannya itu ia duduk seorang diri di kursi paling pojok. Tiba-tiba ruangan menjadi sunyi tak ada satupun anak yang berani membuka mulut  mereka, yang tadi berlari pun sudah duduk dengan tenang ternyata kepala panti sudah memasuki ruangan makan. Kak Sazkia salah satu pengurus panti memimpin doa sebelum makan. Selepas makan kami di izinkan untuk masuk ke kamar masing-masing ini waktunya untuk mengerjakan PR kalau ada PR dari sekolah.
            Rania dan Rumia di tidur terpisah mereka di kelompokka sesuai dengan usia mereka, Rania bergabung dengan beberapa anak yang sudah dapat di bilang remaja. Ada sepasang mata yang selalu mengawasinya, tetapi Rania tidak menghiraukannya ia terus fokus dengan buku bahasa Inggris yang ada di depannya karna esok hari ia harus mengumpulkan PR yang di suruh oleh bu Rosa. Hal ini yang menyedihkan bagi dirinya di saa seperti ini ia tidak dapat bertanya pada siapapun dengan pertanyaan yang membuatnya pusing, beberapa kali ia memegang kepalanya dan satu dua kali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rania bukanlah siswi yang cerdas di sekolahnya ia selalu kesulitan untuk mengerjakan PR sebenarnya kalau ia dihadapkan pada suatu pilihan bernyanyi atau belajar pelajaran sekolah ia lebih memilih bernyanyi. Tiba-tiba ada butiran air yang keluar dari matanya lagi-lagi ini mengingatkan tentang kenangan dengan ayahnya.
            “Kamu baik-baik aja?” terdengar suara lembut menyapanya. Rania buru-buru menyembunyikan air matanya.
            “Pertama-tama pasti akan terasa berat, tetapi lampat laun kita menjadi kebal dengan rasa ini” Vika mengelus pundak Rania dengan pelan. Rania merasakan rasa yang tak biasa saat Vika mengajak bicara dan menyentuhnya. Ia masih tetap diam tak menjawab pertanyaan temannya itu baginya kesunyian adalah bagian dari hidupnya, tetapi Vika memiliki sorot mata yang berbeda yang dapat meyakinkan dirinya kalau ia butuh Vika untuk mengisi hari-harinya di panti.
            “Hey jangan-jangan kamu nangis karna tidak bisa mengerjakan PR ya?” Vika bertanya dengan jail dan menarik buku yang ada dihadapannya. “It’s so very simple, I can help you” ia pun langsung membaca semua pertanyaan dan membantu Rania untuk menjawbanya.
            “Makasih yah”
            “ok, lain kali kalau kesusahan mengrjakan PR tanya aja sama aku” Vika melempar senyum dan kembali ke tempat tidurnya
***
            Hari ini tepat lima bulan hari kematian ayah Rania setelah kelas bubar Rania langsung merapihkan peralatan sekolah dan memakai tasnya. Jadwal mingguan yang tak pernah ia lewatkan berkunjung ke makan ayahnya setiap hari jum’at. Pak Salim supir panti asuhan sudah tau jadwal Rania ia tidak akan menunggu Rania di depan gerbang sekolah pasti anak tersebut tidak akan ikut pulang dengannya walaupun bu Maria selalu mengomelinya setiap kali ia pulang telat tetapi itu tidak membuatnya takut. Ada perasaan sedih setiap kali dirinya berkunjung pada makam ayahnya, makam ayahnya berbeda dengan makan-makan yang lain tidak ada batu nisan yang tertempel kokoh di atasnya. Mungkin untuk sebagian orang yang akan ziarah ke makam Hilmi tidak akan tahu kalau itu makamnya.
            Pulang dari makam ia mulai berfikir bagaimana caranya ia membeli batu nisan tabungannya tidak akan cukup selama ini Rania memang menyisihkan uangnya untuk di tabung ia mulai menyadari tak lazim makam tanpa nisan.
            “Ada yang lagi di pikirin? Mulai deh ngelamun lagi” suara Vika memecahkan lamunannya
            “Masalah makam ayahku belum ada nisannya. Selama ini aku udah berusaha untuk nabung tapi uangnya belum juga cukup”
            “Tenang jangan sedih ayoo ikut aku” Vika menarik tangan Rania
            “Mau kemana?”         
            Vika mengajaknya untuk menemui bu Sazkia yang sedang membuat adonan roti, selama ini panti berusaha untuk menambah pemasukan dengan berjualan tetapi tidak ada satu anak pun yang di bebankan dengan tugas tersebut, kalaupun ada yang mau bantu boleh-boleh saja dengan syarat kemauan itu lahir dalam diri mereka.
***
            Mulai hari itu Rania mengumpulkan uang dari hasil jualan dan uang sakunya dengan harapan semakin cepat uang dapat terkumpul. Rania dan Vika pun mencoba untuk belajar membuat roti juga karna mereka termasuk anak panti yang sudah remaja bu Maria mengizinkan mereka membantu kak Sazkia.
            Rania sudah bisa menikmati rutinitasnya di panti walaupun hanya Vika teman satu-satunya yang sampai saat ini dekat dengannya. Satu dua kali ketika hari libur Rania mengajarkan Vika untuk bermain alat musik terutama gitar tetapi keduanya tidak pernah mau kalau di suruh bermain di hadapan teman-teman panti dengan alasan karna mereka belum mahir dan takut mengecewakan. Sebenarnya alasan Rania bersahabat dengan Vika karna menurutnya sahabatnya itu juga memiliki karakter yang sama dengan dirinya.
            Rumia selalu asik dengan teman-temannya ada saja kegiatan yang ia lakukan, adiknya itu memang anak yang jarang sekali memberitahu perasaannya pada kakaknya. Tapi malam itu Rumia menangis sejadi-jadinya di kamar Rania ternyata Rumia kangen sekali dengan ayah melihat hal tersebut Rania jadi ikut menitikan air mata.
            “Kalau saja ayah masih hidup, pasti aku bisa beli boneka yang aku inginkan” alasannya menangis karna melihat beberapa teman panti yang mendapatkan hadiah boneka dari sanak saudara yang menjenguk mereka.
            “Sabar ya dek, Insyallah kalau ada uang nanti kakak akan belikan” ia tidak pernah bermimpi paman atau bibinya datang berkunjung untuk melihat mereka, itu mustahil apa lagi meminta paman dan bibinya memberikan mereka uang.
***
            “Coba kamu cari dengan teliti lagi”
            “Aku udah cari untuk yang ke tiga kalinya tapi tetap ga ada” dirinya tersungkur lemas, tabungan yang selama ini ia jaga dengan baik-baik, lapar yang sering ia tahan tatapan sinis beberapa teman yang tidak suka melihatnya berjualan semua terasa sia-sia. Kemana perginya uang-uang yang sudah ia kumpulkan.
            Akhirnya ia putus asa semua isi dalam lemarinya sudah ia keluarkan tetap saja celengan itu tidak ada. Vika turut membantu sahabatnya mencari benda yang di carinya tetapi dirinya juga gagal. Di depan pintu Rumia melihat kakaknya dengan takut, akhirnya ia memberanikan diri untuk menghampiri kakaknya
            “Sebenarnya uang kakak aku yang ambil” ia menunduk sambil memegang erat-erat boneka yang di pegangnya “Maaf, aku sudah tidak sabar mau beli boneka ini” Rumia menunjukkan bonekanya tersebut
            “Kamu tahu kan mengambil milik orang lain itu tidak boleh, ayah selalu mengajarkan kita tentang itu. Kamu lupa?” Rania menetesan air mata ia tidak percaya kalau adiknya sendiri yang mengambil uangnya. “Kakak sudah bilang kalau ada uang pasti akan di belikan, kenapa kamu tidak sabar”
            Rumia hanya bisa menangis ia berkali-kali meminta maaf pada Rania. Vika hanya bisa melihat dengan nanar kedua kakak adik tersebut.
***
            Saat ini Rania sudah mulai putus asa untuk mengumpulkan uang, harga nisan itu mahal untuk anak semiskin dirinya. Sudah beberapa hari ini ia hanya bisa melamun. Bukan hanya soal nisan yang tidak bisa ia beli selama ini ia baru sadar kalau dirinya hanya sibuk dengan rasa sedihnya saja, Rumia keluarga satu-satunya sudah ia telantarkan dengan sia-sia. Padahal tidak sekalipun Rumia pernah minta sesuatu pada dirinya, belum lagi ia selalu terlihat kuat untuk anak seusianya yang di tinggal pergi orang tua, kenapa selama ini ia egois sendiri tanpa memikirkan orang-orang yang ada di sekelilingnya.
            “Ran di panggil bu Dona di kantor” Andrey memecahkan lamunannya
            “Kenapa?”
            “Hmmm sorry gw cuma di suruh manggil lw doang”
            “Oh. Makasih ya” Dengan malas Rania berjalan menuju kantor guru
            “Assalamualaikum, ibu panggil saya?”
            “Ya Ran, duduk” bu Dona menunjuk kursi yang ada di depannya
            “Ibu tahu loh kalau kamu suka nyanyi Ran”
            “biasa saja kok bu masih banyak teman yang suaranya lebih bagus dari saya”
            “Kamu jangan merendah gitu dong. Pak Dody guru seni yang bicara. Kebetulan sekolah kita di undang untuk mengikuti perlombaan menyanyi antar sekolah. Setelah para guru diskusi nama kamu yang keluar”
            Rania hanya menunduk saat wali kelasnya memintanya untuk ikut perlombaan, bagaimana bisa dirinya bernyanyi dari hari setelah ayahnya meninggal ia sudah memutuskan untuk tidak lagi bernyanyi karna dengan nyanyian membuatnya menangis dalam penderitaan
            “Saya minta maaf sekali, seperti tidak bisa”
            “Maksud kamu?”
            “Saya tidak bisa ikut lomba tersebut”
            “Ga mau di pikir-pikir dahulu”
            “Bisa di berikan kepada siswa yang lain saja bu, pasti mereka lebih baik dari saya”
            Rania undur diri dan berjalan meninggalkan bu Dona tetapi langkahnya terhenti dengan ucapan bu Dona
            “Ada hadiahnya loh, uang tunai dan piala”
            Ia lalu menoleh dan berjalan mendekati wali kelasnya tersebut
            “Hadianya uang bu?”
            “Ya, gini aja kamu bawa dulu formulirnya kalau setuju besok kembalikan ke ibu jangan lupa sudah terisi”
            Mungkin ini jawaban dari tuhan atas doa-doanya, hal pertama yang ia pikirkan adalah dirinya harus menjadi pemenang paling tidak juara tiga, bahkan uangnya lebih dari cukup untuk membeli nisan
***
            Semua kursi sudah terisi penuh oleh penonton para supporter sudah siap memberi semangat untuk jagoan mereka. Di sudut sebelah kiri sudah di penuhi oleh teman-teman sekolah dan panti mereka akan meneriakan nama Rania dengan lantang. Akhirnya nama Rania pun di panggil awalnya ia demam panggung dan tidak bisa mengeluarkan suaranya para penonton dan juri yang melihatnya bingung kenapa Rania tidak bernyanyi. Ia teringat kerbersamaan dirinya dengan ayah dan Rumia ketika sedang bernyanyi yang membuatnya kuat.
            “Lagu ini saya dedikasikan untuk ayah yang sudah jauh di sana, semoga dengan melodi ini ia akan senang melihat saya”
            Seluruh penonton dengan khitmat mendengarkan Rania bernyanyi bahkan sebagian penonton menitikan air mata saat mendengar Rania bernyanyi
            “Untuk ayah tercinta aku ingin bernyanyi walau air mata di pipiku……”
            “Ayah dengarkanlah aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi”

***
Tengerang, 6 Juni 2017
Indahnya Melukis Hari 
#30DaysWritingchallenge#30DWC#Day1

2 komentar:

  1. bagus bgt ceritanya,,tapi akhirnya gantung gw penasaran menang nyanyi kaga si Rania hahaha

    BalasHapus
  2. Peres deh bilang bagus banget hahahahah. Coba aja di tebak menang apa ga :)

    BalasHapus

 

Melukis Hari dengan Kata Template by Ipietoon Cute Blog Design