Semakin lama
tubuh kaku itu tertutup oleh papan-papan yang dipasang dengan rapih dalam
lubang kesedihan. Kini lubang tersebut sudah hampir penuh di selimuti tumpukkan
tanah. Gadis bermata belo itu sudah tidak lagi menangisi kepergian ayahnya
dengan tegar ia dan Rumia adik semata wayangnya mengikhlaskan kepergian ayah
yang selama ini mengisi hari-hari indah bersamanya. Dua tahun belakangan ayahnya
divonis menderita kanker perut, awalnya ia tidak mengetahui tentang penyakit
ayahya itu tetapi ia bukan anak bodoh yang dapat di bohongi terus menerus dari
obat-obatan dan erangan rasa sakit ayahnya akhirnya ia menyadari tentang
penyakit serius yang di derita ayahnya. Ternyata alien itu memilih ayahku.
Saat
ini tidak ada lagi orang yang dapat mengajaknya untuk bangkit dari jatuhnya,
mengusap air mata dari kehidupan yang keras ini, tertawa bersama bahkan menciptakan
melodi dan bait indah. Yang tersisa hanya Rumia adik semata wayang yang harus
ia jaga selamanya karna hanya itu pesan dari ayahnya sebelum malaikat mengambil
nafas terakhir dari tubuhnya. Kini yatim piatu menjadi julukan baru bagi dirinya,
ibu Rani sudah meninggal delapan tahun yang lalu saat melahirkan Rumia selama
delapan tahun ini mereka bertiga membagi suka maupun duka menjalankan nafas
yang di berikan tuhan.
Setelah
kematian ayah tak satupun keluarga dari ayah dan ibunya yang mau menampung
mereka berdua karna alasan ekonomi memaksa paman dan bibi mereka enggan untuk
membuka pintu bagi mereka, dengan berat hati Rania dan Rumia harus ikhlas
menjalankan masa kanak-kanak di dalam panti.
“Nak
maafkan paman, ini semua paman lakukan untuk kebaikan kalian. Baik-baiklah di
panti, paman janji akan mengunjuki kalian kalau paman ada uang”
Itu
kalimat terakhir yang ia dengar dari adik ayahnya. Kini hanya rasa sepi yang
akan selalu menjaganya dan air mata teman setia yang selalu melindunginya.
***
Rania
tidak langsung berbaur dengan penghuni panti yang lain, sedangkan Rumia gadis
berambut panjang dan murah senyum itu dengan cepat sudah memiliki teman akrab,
kakak beradik itu memang memiliki sifat dan karakter yang bertolak belakang. Namun
mereka memiliki hobby yang sama yaitu bernyanyi dan bermain alat musik. Rania lebih banyak diam dan asik melakukan
segala hal seorang diri sedangkan kebalikan dari kakaknya Rumia yang ceria
mampu menghidupkan suasana dan membuat siapa saja yang ada di sekelilingnya
gembira. Dengan kepandaian adiknya dalam bergaul tidak membuat Rania khawatir
adiknya kesepian, cukuplah awan mendung menaungi dirinya saja tetapi tidak
untuk Rumia.
Segala
hal di panti sangat disiplin dari bangun tidur sampai tidur kembali semuanya
sudah ada peraturannya, bagi anak yang melanggar peraturan yang ada maka tidak
segan-segan ibu Maria kepala panti untuk menghukum setiap anak yang melanggar
peraturan.
Jam
sudah menunjukkan pukul 19.30 waktunya semua anak harus berkumpul di ruang
makan, suasana ruang makan cukup gaduh ada yang sedang berlari, teriak-teriak tidak
jelas, memukul-mukul alat makan dan ada juga yang asik mengobrol. Rania hanya
bisa memperhatikan tingkah teman-temannya itu ia duduk seorang diri di kursi
paling pojok. Tiba-tiba ruangan menjadi sunyi tak ada satupun anak yang berani membuka
mulut mereka, yang tadi berlari pun
sudah duduk dengan tenang ternyata kepala panti sudah memasuki ruangan makan. Kak
Sazkia salah satu pengurus panti memimpin doa sebelum makan. Selepas makan kami
di izinkan untuk masuk ke kamar masing-masing ini waktunya untuk mengerjakan PR
kalau ada PR dari sekolah.
Rania
dan Rumia di tidur terpisah mereka di kelompokka sesuai dengan usia mereka,
Rania bergabung dengan beberapa anak yang sudah dapat di bilang remaja. Ada sepasang
mata yang selalu mengawasinya, tetapi Rania tidak menghiraukannya ia terus
fokus dengan buku bahasa Inggris yang ada di depannya karna esok hari ia harus
mengumpulkan PR yang di suruh oleh bu Rosa. Hal ini yang menyedihkan bagi
dirinya di saa seperti ini ia tidak dapat bertanya pada siapapun dengan
pertanyaan yang membuatnya pusing, beberapa kali ia memegang kepalanya dan satu
dua kali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rania bukanlah siswi yang cerdas
di sekolahnya ia selalu kesulitan untuk mengerjakan PR sebenarnya kalau ia
dihadapkan pada suatu pilihan bernyanyi atau belajar pelajaran sekolah ia lebih
memilih bernyanyi. Tiba-tiba ada butiran air yang keluar dari matanya lagi-lagi
ini mengingatkan tentang kenangan dengan ayahnya.
“Kamu
baik-baik aja?” terdengar suara lembut menyapanya. Rania buru-buru
menyembunyikan air matanya.
“Pertama-tama
pasti akan terasa berat, tetapi lampat laun kita menjadi kebal dengan rasa ini”
Vika mengelus pundak Rania dengan pelan. Rania merasakan rasa yang tak biasa saat
Vika mengajak bicara dan menyentuhnya. Ia masih tetap diam tak menjawab
pertanyaan temannya itu baginya kesunyian adalah bagian dari hidupnya, tetapi
Vika memiliki sorot mata yang berbeda yang dapat meyakinkan dirinya kalau ia
butuh Vika untuk mengisi hari-harinya di panti.
“Hey
jangan-jangan kamu nangis karna tidak bisa mengerjakan PR ya?” Vika bertanya
dengan jail dan menarik buku yang ada dihadapannya. “It’s so very simple, I can
help you” ia pun langsung membaca semua pertanyaan dan membantu Rania untuk
menjawbanya.
“Makasih
yah”
“ok,
lain kali kalau kesusahan mengrjakan PR tanya aja sama aku” Vika melempar
senyum dan kembali ke tempat tidurnya
***
Hari
ini tepat lima bulan hari kematian ayah Rania setelah kelas bubar Rania
langsung merapihkan peralatan sekolah dan memakai tasnya. Jadwal mingguan yang
tak pernah ia lewatkan berkunjung ke makan ayahnya setiap hari jum’at. Pak
Salim supir panti asuhan sudah tau jadwal Rania ia tidak akan menunggu Rania di
depan gerbang sekolah pasti anak tersebut tidak akan ikut pulang dengannya
walaupun bu Maria selalu mengomelinya setiap kali ia pulang telat tetapi itu
tidak membuatnya takut. Ada perasaan sedih setiap kali dirinya berkunjung pada
makam ayahnya, makam ayahnya berbeda dengan makan-makan yang lain tidak ada
batu nisan yang tertempel kokoh di atasnya. Mungkin untuk sebagian orang yang
akan ziarah ke makam Hilmi tidak akan tahu kalau itu makamnya.
Pulang
dari makam ia mulai berfikir bagaimana caranya ia membeli batu nisan tabungannya
tidak akan cukup selama ini Rania memang menyisihkan uangnya untuk di tabung ia
mulai menyadari tak lazim makam tanpa nisan.
“Ada
yang lagi di pikirin? Mulai deh ngelamun lagi” suara Vika memecahkan lamunannya
“Masalah
makam ayahku belum ada nisannya. Selama ini aku udah berusaha untuk nabung tapi
uangnya belum juga cukup”
“Tenang
jangan sedih ayoo ikut aku” Vika menarik tangan Rania
“Mau
kemana?”
Vika
mengajaknya untuk menemui bu Sazkia yang sedang membuat adonan roti, selama ini
panti berusaha untuk menambah pemasukan dengan berjualan tetapi tidak ada satu
anak pun yang di bebankan dengan tugas tersebut, kalaupun ada yang mau bantu
boleh-boleh saja dengan syarat kemauan itu lahir dalam diri mereka.
***
Mulai
hari itu Rania mengumpulkan uang dari hasil jualan dan uang sakunya dengan
harapan semakin cepat uang dapat terkumpul. Rania dan Vika pun mencoba untuk
belajar membuat roti juga karna mereka termasuk anak panti yang sudah remaja bu
Maria mengizinkan mereka membantu kak Sazkia.
Rania
sudah bisa menikmati rutinitasnya di panti walaupun hanya Vika teman
satu-satunya yang sampai saat ini dekat dengannya. Satu dua kali ketika hari
libur Rania mengajarkan Vika untuk bermain alat musik terutama gitar tetapi
keduanya tidak pernah mau kalau di suruh bermain di hadapan teman-teman panti
dengan alasan karna mereka belum mahir dan takut mengecewakan. Sebenarnya
alasan Rania bersahabat dengan Vika karna menurutnya sahabatnya itu juga
memiliki karakter yang sama dengan dirinya.
Rumia
selalu asik dengan teman-temannya ada saja kegiatan yang ia lakukan, adiknya
itu memang anak yang jarang sekali memberitahu perasaannya pada kakaknya. Tapi
malam itu Rumia menangis sejadi-jadinya di kamar Rania ternyata Rumia kangen
sekali dengan ayah melihat hal tersebut Rania jadi ikut menitikan air mata.
“Kalau
saja ayah masih hidup, pasti aku bisa beli boneka yang aku inginkan” alasannya
menangis karna melihat beberapa teman panti yang mendapatkan hadiah boneka dari
sanak saudara yang menjenguk mereka.
“Sabar
ya dek, Insyallah kalau ada uang nanti kakak akan belikan” ia tidak pernah
bermimpi paman atau bibinya datang berkunjung untuk melihat mereka, itu
mustahil apa lagi meminta paman dan bibinya memberikan mereka uang.
***
“Coba
kamu cari dengan teliti lagi”
“Aku
udah cari untuk yang ke tiga kalinya tapi tetap ga ada” dirinya tersungkur
lemas, tabungan yang selama ini ia jaga dengan baik-baik, lapar yang sering ia
tahan tatapan sinis beberapa teman yang tidak suka melihatnya berjualan semua
terasa sia-sia. Kemana perginya uang-uang yang sudah ia kumpulkan.
Akhirnya
ia putus asa semua isi dalam lemarinya sudah ia keluarkan tetap saja celengan
itu tidak ada. Vika turut membantu sahabatnya mencari benda yang di carinya
tetapi dirinya juga gagal. Di depan pintu Rumia melihat kakaknya dengan takut,
akhirnya ia memberanikan diri untuk menghampiri kakaknya
“Sebenarnya
uang kakak aku yang ambil” ia menunduk sambil memegang erat-erat boneka yang di
pegangnya “Maaf, aku sudah tidak sabar mau beli boneka ini” Rumia menunjukkan
bonekanya tersebut
“Kamu
tahu kan mengambil milik orang lain itu tidak boleh, ayah selalu mengajarkan
kita tentang itu. Kamu lupa?” Rania menetesan air mata ia tidak percaya kalau
adiknya sendiri yang mengambil uangnya. “Kakak sudah bilang kalau ada uang
pasti akan di belikan, kenapa kamu tidak sabar”
Rumia
hanya bisa menangis ia berkali-kali meminta maaf pada Rania. Vika hanya bisa
melihat dengan nanar kedua kakak adik tersebut.
***
Saat
ini Rania sudah mulai putus asa untuk mengumpulkan uang, harga nisan itu mahal
untuk anak semiskin dirinya. Sudah beberapa hari ini ia hanya bisa melamun. Bukan
hanya soal nisan yang tidak bisa ia beli selama ini ia baru sadar kalau dirinya
hanya sibuk dengan rasa sedihnya saja, Rumia keluarga satu-satunya sudah ia telantarkan
dengan sia-sia. Padahal tidak sekalipun Rumia pernah minta sesuatu pada
dirinya, belum lagi ia selalu terlihat kuat untuk anak seusianya yang di
tinggal pergi orang tua, kenapa selama ini ia egois sendiri tanpa memikirkan orang-orang
yang ada di sekelilingnya.
“Ran
di panggil bu Dona di kantor” Andrey memecahkan lamunannya
“Kenapa?”
“Hmmm
sorry gw cuma di suruh manggil lw doang”
“Oh.
Makasih ya” Dengan malas Rania berjalan menuju kantor guru
“Assalamualaikum,
ibu panggil saya?”
“Ya
Ran, duduk” bu Dona menunjuk kursi yang ada di depannya
“Ibu
tahu loh kalau kamu suka nyanyi Ran”
“biasa
saja kok bu masih banyak teman yang suaranya lebih bagus dari saya”
“Kamu
jangan merendah gitu dong. Pak Dody guru seni yang bicara. Kebetulan sekolah
kita di undang untuk mengikuti perlombaan menyanyi antar sekolah. Setelah para
guru diskusi nama kamu yang keluar”
Rania
hanya menunduk saat wali kelasnya memintanya untuk ikut perlombaan, bagaimana
bisa dirinya bernyanyi dari hari setelah ayahnya meninggal ia sudah memutuskan
untuk tidak lagi bernyanyi karna dengan nyanyian membuatnya menangis dalam
penderitaan
“Saya
minta maaf sekali, seperti tidak bisa”
“Maksud
kamu?”
“Saya
tidak bisa ikut lomba tersebut”
“Ga
mau di pikir-pikir dahulu”
“Bisa
di berikan kepada siswa yang lain saja bu, pasti mereka lebih baik dari saya”
Rania
undur diri dan berjalan meninggalkan bu Dona tetapi langkahnya terhenti dengan
ucapan bu Dona
“Ada
hadiahnya loh, uang tunai dan piala”
Ia
lalu menoleh dan berjalan mendekati wali kelasnya tersebut
“Hadianya
uang bu?”
“Ya,
gini aja kamu bawa dulu formulirnya kalau setuju besok kembalikan ke ibu jangan
lupa sudah terisi”
Mungkin
ini jawaban dari tuhan atas doa-doanya, hal pertama yang ia pikirkan adalah
dirinya harus menjadi pemenang paling tidak juara tiga, bahkan uangnya lebih
dari cukup untuk membeli nisan
***
Semua
kursi sudah terisi penuh oleh penonton para supporter sudah siap memberi
semangat untuk jagoan mereka. Di sudut sebelah kiri sudah di penuhi oleh
teman-teman sekolah dan panti mereka akan meneriakan nama Rania dengan lantang.
Akhirnya nama Rania pun di panggil awalnya ia demam panggung dan tidak bisa
mengeluarkan suaranya para penonton dan juri yang melihatnya bingung kenapa
Rania tidak bernyanyi. Ia teringat kerbersamaan dirinya dengan ayah dan Rumia
ketika sedang bernyanyi yang membuatnya kuat.
“Lagu
ini saya dedikasikan untuk ayah yang sudah jauh di sana, semoga dengan melodi
ini ia akan senang melihat saya”
Seluruh
penonton dengan khitmat mendengarkan Rania bernyanyi bahkan sebagian penonton
menitikan air mata saat mendengar Rania bernyanyi
“Untuk
ayah tercinta aku ingin bernyanyi walau air mata di pipiku……”
“Ayah
dengarkanlah aku ingin berjumpa, walau hanya dalam mimpi”
***
Tengerang, 6 Juni 2017
Indahnya Melukis Hari
#30DaysWritingchallenge#30DWC#Day1
bagus bgt ceritanya,,tapi akhirnya gantung gw penasaran menang nyanyi kaga si Rania hahaha
BalasHapusPeres deh bilang bagus banget hahahahah. Coba aja di tebak menang apa ga :)
BalasHapus