Beberapa tahun silam.
Settingan berubah pada sebuah ruangan organisasi seorang
gadis mengenakan kerudung hijau toska yang hampir menutupi sebagian dari tubuh
mungilnya asik berbicara. Ia memiliki wajah standar orang asia, hidungnya cukup
mancung, kulitnya hitam manis, tubuhnya tidak tinggi tidak pula pendek. Gadis
tersebut sedang asik berbicara di depan teman-teman yang di dominasi laki-laki
dan perempuan, matanya menyapu seluruh sudut ruangan sesekali tertuju pada barisan
tempat duduk laki-laki, namun pandangannya akan berhenti lama pada barisan
tempat duduk perempuan. Setiap kali dirinya berbicara pasti tangannya tidak
bisa diam, nada bicaranya sedikit cepat namun kalimat yang diucapkan tetap
teratur seperti banyak ide didalam kepalanya yang sedang mengantri untuk segera
di ucapkan, semua orang yang ada di dalam ruangan menikmati presentasi yang
sedang berlangsung, dengan beberapa kali anggukan dari teman-temannya tanda
setuju dengan ide yang di paparkan olehnya. Kepercayaan diri yang tersirat
dalam wajahnya menunjukkan bahwa ini bukan pertama kali dirinya berbicara di depan
khalayak ramai, nyali dan kepandaiannya melebihi postur tubuhnya tak jarang
teman-temannya akan fokus setiap kali dirinya berbicara.
“Kalau menurut ane lebih baik baksos tahun ini kita
adakan langsung di TKP, buat suasan yang berbeda dari tahun-tahun yang lalu”
Nina menyampaikan idenya
“Ane setuju baksos tahun ini di adakan langsung di
TKP” Adit menyetujui ide yang di
paparkan Nina
“Berarti sehari sebelum acara kita harus ke TKP
nyiapin semua keperluan yang di butuhkan” Timpal Rina yang duduk pada kursi
barisan kedua
“Saran ane yang ikhwan mabit aja di TKP gimana?”
“Ok ane setuju, supaya ga terlalu repot besok
paginya”
“Afwan ukhti Rina anti berarti langsung buat surat
izin kegiatan diluar”
“Ok teman-teman bisa di bilang persiapan sudah
mencapai 95%, ada yang masih mau dibahas lagi?, kalau memang sudah tidak ada
ane tutup syuro kali ini dengan membaca hambdallah, istigfar dan doa kafaratul
majlis. Jazakallah perhatiannya Assalamualaikum Wr,Wb. Agung menyudahi
kalimatnya.
***
“Ukhti
kalau presentasi santai aja dong” ledek Qarimah yang tangannya selalu tidak
bisa diam setiap kali sedang berbicara dengan sahabatnya kali ini ia
mendaratkan cubitan nakal di pipi Nina
“Aw sakit, jerit Nina yang langsung mengusap-usap
pipinya “Tapi keren kan ide ane?” Nina tak mau kalah, gantian mencubit pipi
sahabatnya.
“Rimah hari ini ane disuruh mampir kerumah umi,
kira-kira kenapa ya?”, tanya Nina polos sembari terus berjalan menuju kantin “Cie
cie ada angin apa nih umi nyuruh anti dateng kerumahnya” dengan tersenyum jahil
Qarimah menyenggol bahu Nina, secara kompak keduanya menghentikan langkah
mereka saat melihat tempat duduk kosong di kantin.
“Pastinya ada hal yang bikin anti senang setelah
pulang dari rumah Umi” ucap Qarimah diplomatis dan segera berjalan menghampiri
tukang bakso. Nina hanya mengangkat bahu dan memiringkan sedikit kepalanya.
***
Qiyamulai seakan menjadi cara yang ampuh untuk
dirinya mendapatkan jawaban tepat dari sang Kuasa, setelah sholat tahajud dan
di tutup dengan witir Nina langsung beranjak berdiri mengambil sesuatu yang dari
kemarin sore menempati meja belajarnya, ia
bergegas duduk diatas sajadah dengan langkah yang sedikit kurang percaya
diri. Seperti sedang menerima beban yang amat berat ia menghembuskan nafas dan
menggigit separuh bibir bawahnya. Matanya terpaku pada sesuatu yang berada
tepat didepannya, sebuah benda yang mengingatkan ia dengan percakapan kemarin
sore bersama Murrobinya.
“Umi rasa kamu sudah cukup siap untuk melakukan
proses ini Nin, ada ikhwan yang Umi rasa cocok untuk kamu”, ucap Umi Ida
percaya diri. Nina hanya bisa mematung tak ada kata yang dapat menggambarkan
rasa kagetnya tersebut. “Ingat Nin dari segi kafaah dan kemampuan kamu terlihat
sudah siap untuk menjadi seorang isteri” Umi Ida hanya berusaha mencarikan
jodoh terbaik untuk orang yang sudah di anggap seperti anaknya. “Orang di
sekitar bisa menilai kita siap atau tidak untuk menikah, dan Umi rasa kamu
sudah siap. Kenapa tidak dicoba” ucapan Umi Ida yang memantabkan dirinya
membawa pulang proposal tersebut. Walau sebenarnya ia belum memikirkan menjadi
istri orang.
Cukup lama Nina memantabkan hatinya, ia merasa
dirinya masih fakir dalam ilmu terlebih lagi dengan umur yang terbilang masih
muda segudang aktifitas dan impiannya belum dapat terealisasikan apakah
semuanya harus ia korbankan demi sebuah pernikahan. Hal tersebut tidak dengan
mudah bisa dijadikan alasan olehnya, mau bagaimana lagi ia tak berani menolak permintaan
dari Murrobinya tersebut, orang yang sudah banyak berjasa untuk dirinya dalam negeri
perantauan ini. Dengan mengucap basmallah dan rasa percaya diri yang
dibuat-buat ia membuka proposal tersebut. Awalnya ia tidak teralu tertarik
dengan profil sang ikhwan namun ketika dirinya terus membalik proposal tersebut
mampu menyulutkan hatinya, wajahnya langsung memerah seprti kepiting rebus ia
hanyut dengan segudang organisasi yang pernah diikuti oleh sang ikhwan. Satu
dua kali ia mengucapkan kata “Subhanallah” ternyata si penulis mampu membuat
Nina mengagumi visi misi yang menjadi alasan dibalik dirinya ingin menikah,
Galih Ramadhan Nugroho penulis proposal yang di pegang Nina, Nina
mengangguk-ngagguk dan mengucapkan nama ikhwan tersebut. Usia mereka terpaut 5
tahun, Galih memiliki pekerjaan di bidang arsitektur. Ternyata bukan pekerjaan
dan kemapanan Galih yang membuat Nina kagum visi misi yang menjadi alasan
dibalik dirinya ingin menikah itu yang membuat Nina kagum.
Ada senyuman
kecil yang tersungging di bibir Nina setelah membaca isi dari proposal
pemberian Umi Ida kemari sore, seakan ia sudah menyiapkan jawaban yang akan di
beritahukan kepada Umi Ida. Tetapi ia tetap harus meminta jawaban dari sang
Ar-Rosyid untuk memupuk rasa yakin atas pilihannya.
***
Tangerang, 13
Juli 2017
Indahnya Melukis
Hari
#30DaysWritingChallenge #30DWC #Days8
0 komentar:
Posting Komentar