Dua minggu berlalu waktu yang di berikan umi Ida kepada
Nina untuk mencari jawaban yang tepat dari Ar-Rahim, hari ini akan menjadi hari
pertama dirinya bertemu dengan ikhwan yang akan menjadi pasangan hidupnya, karena
memikirkan hal tersebut membuat Nina tidak bisa tidur dengan nyenyak tadi malam,
bahkan ketika umi Ida bertanya Nina memberikan jawaban yang tidak nyambung,
mungkinkah akan seperti itu setiap orang yang sedang menjalankan fase taaruf?
Otaknya akan berubah bodoh
“Jangan menampakkan rasa grogi kamu Nin, kalau
seperti itu kamu terlihat seperti orang ling-lung” pesan umi Ida yang duduk
bersebelahan dengan Nina. umi Ida menangkupkan tangannya di atas tangan Nina
dan tersenyum ia berharap dengan caranya itu akan membuat Nina lebih tenang.
“Afwan umi, Nina deg-degkan” Timbal Nina dengan
suara sedikit bergetar
“Kamu berdoa saja Nin, ga usah terlalu dirasakan
karena umi khawatir nanti kamu malah sakit perut, biasanya kalau sedangg tegang
orang bisa menjadi sakit perut” Nina
mengangguk mengiyahkan ucapan Umi Ida.
Tamu yang di tunggu-tunggu pun tiba sang ikhwan yang
di antar oleh Murrobi dan isteri Murrobinya bergegas masuk. Jantung Nina berdegup
kencang bahkan sudah tak berirama kedua telapak tangannya berkeringat untuk mendongakan
kepalanya saja hanya sekedar mencuri pandang bakal calon pendampingnya tersebut
ia tak mampu.
“Nina perkenalakan ini Galih” ketika suami umi Ida memperkenalkan Galih, Nina baru
memberanikan diri untuk melihatnya, dan pertama kali hal yang terbesit dalam
fikiran Nina adalah inikah calon laki-laki yang akan membawanya menuju surga
Allah, inikah sang ikhwan yang memiliki visi misi yang teramat indah itu,
inikah sang ikhwan yang akan mewarnai hari-harinya sampai maut datang
menghampirinya. Nina memang tidak melihat foto yang diselipkan Galih dalam
proposalnya, karena baginya visi misi sudah cukup untuk meyakinkan dirinya
tentang kepribadian calon pendamping hidupnya. Dari wajahnya Galih terlihat
seperti seorang pekerja keras, hidungnya mancung, kulitnya bewarna sawo matang,
mungkin tinggi badangnya sekitar 170-175, lesung pipit di wajahnya nampak
dengan jelas dan matanya akan sedikit menyipit karena tarikan dari otot-otot
diwajahnya saat ia sedang tersenyum. Ketika berbicara menunjukkan bahwa ia
adalah orang yang cukup pandai, terlihat dari pemilihan kata dan jawaban yang
tepat pada setiap pertanyaan yang diajukan, Galih selalu menjaga pandangannya
sebelum adanya ijab-qobul. Sepanjang percakapan berlangsung Nina dan Galih
tidak berani untuk memandang satu sama lain. Satu jam pun berlalu ada beberapa
hal yang di tanyakan oleh masing-masing dari mereka tentang progres mereka
setelah menikah dan beberapa kesepakatan yang dibuat tentunya tidak saling memberatkan
satu sama lain.
“Ukhti ane harap anti tidak merasa keberatan kalau
diadakannya check up pra nikah?” Galih mengajukan syarat sebelum proses taaruf
ini di tutup.
“Ya ane tidak keberatan sama sekali, akan lebih baik
hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan” dengan
mantab Nina menyetujui syarat yang di ajukan Galih padanya.
“Alhamdulillah kalau memang sudah sama-sama setuju
nanti umi saja yang mengatur waktu dan tempatnya untuk kalian chec kup”
Umi Ida menawarkan diri untuk membantu Nina dan
Galih
***
Setelah
melakukan chec kup pra nikah mereka harus bersabar menunggu hasil dari
pemeriksaan selama satu minggu. Dengan rasa dag dig dug, dengan rasa tidak
sabar, dengan rasa khawatir semuanya pasti ingin segera mengetahui hasil
pemeriksaan. Satu minggu pun berlalu, Nina, Galih dan umi Ida duduk dengan
tenang dalam ruang dokter, ruangan yang memberikan kesan menakutkan untuk Nina
terlebih lagi ada beberapa peralatan rumah sakit yang menurutnya aneh karena ia
baru pertama kali melihatnya.
“Sebelumnya saya mau bertanya, boleh saya tahu alasan
apa yang menjadi dasar di lakukannya check up ini?” Tanya dokter Rusdi
penasaran.
“Pemeriksaan sebelum menikah dok” jawab umi Ida
dengan senyuman khasnya.
“oooo Jadi mereka berdua calon pasangan” Dokter Rusdi
tersenyum jahil nampaklah barisan gigi yang beraturan dengan rapih dibalik
senyumnya. Itu cara dokter Rusdi untuk mencairkan suasana dalam ruangan. Nina dan
Galih sama-sama tersenyum tipis.
“Baik saya akan langsung menjelaskan hasil dari
pemeriksaan Ibu Nina dan Bapak Galih”
***
Ruangan hening tampak tak berpenghuni, seorang gadis
mengadu kepada sang penentu takdir “Ya Allah sampai detik ini hamba belum mampu
ikhlas” batin Nina dalam hati. Dikamar kossan yang hanya satu petak Nina
seorang diri meratapi rasa sedihnya tanpa ada satu orangpun menjadi teman
pengusir sedih, ia hanya bisa bertanya dalam sepi tanpa menemukan jawaban dari
pertanyaannya. Dirinya tidak menyalahkanNya ketika suratan takdir ini yang
terjadi, kodratnya sebagai manusia memaksanya untuk meratapi keinginannya yang
tidak dapat terealisasikan. Nina butuh waktu untuk dapat menenangkan dan
meyakinkan bahwa hal ini menjadi jawaban terbaik dari Al-Qowwi. Bukannya ia
merasa bahwa masih belum siap untuk menjadi seorang isteri, bukannya ia merasa
bahwa pernikahan akan menghentikan jalan aktifitasnya, bukannya ia meresa bahwa
ia masih fakir dalam ilmu keagamaan. Jadi apapun yang terjadi pada proses
taaruf ini tidak akan membuatnya berlarut dalam kesedihan. Tetapi gagalnya
taaruf menjadikan pukulan terdahsyat dalam hidupnya. Titik terendah yang ia
lewati adalah saat ini.
Padahal
sudah jam 23.30 wib Nina masih belum bisa menghentikan air matanya, jawaban
dari dokter Rusdi tadi siang masih saja menari-nari dalam fikirannya tentang
dibalik alasan dirinya tidak dapat melanjutkan penikahan ini. Ia dan Galih
sama-sama memiliki gen carier atau Thalasemia, yang bila menikah akan
berpotensi untuk memiliki anak thalasemia. Awalnya Nina masih di buat bingung dengan
jawaban tersebut karena dengan keterbatasan ilmu yang ia miliki. Galih saat itu
terlihat mematung dirinya syok dengan pemaparan dari dokter Rusdi, spontan
kedua tangan umi Ida langsung menutup mulutnya.
“Apakah penyakit tersebut sangat parah dok?” tanya
Nina penasaran.
“Saya terpaksa harus mengatakan ya” jawab dokter
Rusdi diplomatis
“Apakah ada cara yang bisa kami lakukan untuk menghindari
hal tersebut?” Tanya Nina dengan harapan ia dan Galih masih bisa menikah,
wajahnya masih menyimpan banyak tanya saat itu
“Hal yang terbaik adalah meridhoi tidak terjadinya
pernikahan, karena sampai saat ini penyakit tersebut belum ditemukan obatnya” Dokter
Rusdi pasrah dengan jawabannya.
Nina sudah tidak mampu membendung air matanya
walaupun ia masih tidak mengerti efek yang lebih spesifikasi dari penyakit
tersebut.
“Saya akan menjelaskan tentang penyakit thalasemia
lebih rinci, agar Ibu Nina dan Bapak Galih bisa mengambil jalan yang tepat
setelah ini” Dokter Rusdi merubah posisi duduknya wajahnya mulai menampakan
keseriusan “Thalasemia adalah sekelompok gejala atau penyakit keturunan yang
diakibatkan karena kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai amino
yang membentuk hemoglobin, sebagai bahan utama darah” Sampai disini Nina sudah
sedikit memahami apa yang dokter Rusdi katakan “Darah manusia terdiri atas
plasma dan sel darah yang berupa sel darah merah (eritrosit) sel dara putih
(leukosit) dan kepingan darah (trombosit). Seluruh sel darah tersebut dibentuk oleh sumsum tulang, sementara
hemoglobin merupakan salah satu pembentuk sel darah merah. Hemoglobin terdiri
dari empat rantai asam amino (dua rantai amino alfa dan dua rantai amino beta)
yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen keseluruh
tubuh. Rantai asam amino inilah yang gagal dibentuk sehingga menyebabkan
timbulnya thalasemia” Terlihat dari wajah dokter Rusdi dirinya juga ikut sedih
dengan hal yang menimpah Nina dan Galih ketika menjelaskan hal tersebut.
“Apakah akan ada resiko besar jika pernikahan ini
tetap di langsungkan?” Tanya Umi Ida dengan suara yang terdengar bergetar.
“Anak yang menderita thalasemia akan mengalami
anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, pembesaran limpa dan hati akibat
anemia yang lama dan berat, perut membuncit karena pembesaran kedua organ
tersebut, sakit kuning (jaundice) luka terbuka dikulit (borok) batu empedu,
pucat, lesu, sesak nafas karena jantung bekerja terlalu berat, dan aktif dalam
usahanya membentuk darah yang cukup bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran
tulang terutama tulang kepala dan wajah. Bahkan akan terjadi gagal jantung
karena disebabkan seringnya tranfusi berulang, penyerapan zat besi meningkat
dan kelebihan zat besi tersebut terkumpul dan mengendap dalam otot jantung,
yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung”.
Umi Ida sudah
tidak kuat dengan pemaparan dari dokter Rusdi dirinya juga menangis dengan hal
yang menimpa Nina dan Galih. Bagaikan di siram air es satu truck Nina tidak
dapat membayangkan kemungkinan buruk yang dipaparkan dokter Rusdi. Posisi
dokter Rusdi saat itu memang harus berkata benar tentang kondisi Nina dan Galih,
karena jika tidak maka Nina dan Galih akan menyesal di masa depan.
“Tidak hanya sampai situ saja” lanjut dokter Rusdi “Resiko
terburuk yang akan terjadi pada anak yang menderita thalasemia adalah usia
darahnya tidak sampai 120 hari dan bersifat rapuh dan mengharuskan seumur
hidupnya cuci darah minimal 1-2 kali per bulan. Selain itu perkembangan
fisiknya tidak normal, terlihat begitu pucat dengan kulit menghitam karena
penumpukan zat besi (akibat cuci darah terus menerus) usia mereka biasanya
hanya bertahan di 20 tahunan karena tubuhnya tidak akan kuat untuk bertahan
lebih lama” dokter Rusdi langsung menghembuskan nafas yang berat dihadapan
mereka bertiga setelah menjelaskan hasil check up. Bahkan Galih pun menyeka
ujung matanya dengan sapu tangan, kenyataan perih yang mengiris hati. Kesimpulan
yang dapat Nina ambil dari pemaparan dokter Rusdi tadi siang adalah jika
penikahan ini berlangsung maka akan berakhir pada kemodharatan yang cukup besar,
tujuan menikah dalam mencetak generasi terbaik untuk agama ini akan menjadi
sirna ketika dirinya dan Galih sampai menikah. Dan yang paling menderita adalah
anak mereka karena harus menanggung sakit seumur hidupnya.
***
Tangerang, 14
Juli 2017
Indahnya Melukis
Hari
#30DaysWritingChallenge
#30DWC #Days9
0 komentar:
Posting Komentar