Dalam meniti jalan kesurga Mu
Berapa banyak peluang kebaikan yang
terabaikan.
Maafkan hamba Ya Allah, sebab meski
Berlalu usia dalam bilangan yang banyak
Masih sedikit syukurku pada Mu”
Asma Nadia
Seorang pemuda khusyu membaca kalam ilahi matanya fokus
terarah pada sebuah Qur’an usang yang dipegangnya, diteras masjid tua kota
Piramid ia duduk bersila seorang diri. Satu dua kali buliran air mata terhempas
berkeping-keping diatas Qur’an tepat pada ayat-ayat yang mampu menggetarkan
jiwanya. Tanpa kenal lelah tanpa kenal asa bahkan ia tak lagi merasakan kebas
pada kedua kakinya.
Wajah lusunya menandakan kalau dirinya sedang memiliki
beban berat yang membuatnya hampir putus asa ia yakin hanya tuhanlah yang dapat
membantunya. Di bawah matanya terdapat tanda hitam yang sudah melingkar
mendandakan pemuda tersebut sudah tidak tidur beberapa hari.
“Li kenapa ente jadi begini, beribadah memang boleh
tetapi wallahi Allah tidak akan ridho dengan cara mu”
“Ayolah bang sudah dua hari abang seperti ini, bisa sakit
kalau terus memaksakan diri”
“Rasyid, Umar tolong tinggalkan ana sendiri”
“Bang memohon kepada Allah memang perkara wajib, tapi
pakailah akal sehat dan beribadahlah tanpa harus mendzolimi diri”
“Demi Allah Li, Allah tidak ridho dengan sesuatu yang
berlebihan. Dan kami sebagai sahabat mu tidak habis fikir dengan tingkahmu”
“Bagian manakah dari ibadah ana yang tak Allah ridhoi?
Wahai sahabat cukup kalian ketahui Allah sedang menguji ku dengan cobaan yang
teramat berat. Mungkin sudah terlalu menggunung dosa yang ana perbuat sehingga
Ia menegur dengan amat keras. Ana hamba yang kotor dan berlumur dosa” tetes
demi tetes air matanya pecah kedua kantung matanya tak mampu membendung
derasnya air yang berebut ingin keluar, Ali terisak didepan Rasyid dan Umar.
Keduanya
memandang Ali dengan iba, Umar sudah tidak tahan lagi deraian air mata sudah
menganak sungai di kedua mata sipitnya. Dua tahun sudah mereka tinggal seatap
belum pernah sekalipun ia memergoki orang yang sudah dianggapnya sebagai kakak menangis seperti saat ini. Ali yang dilihatnya
selalu tegar dan rapat-rapat dalam menyimpan masalahnya, pernah suatu kali ia
melihat Ali menangis dan itu pun hanya satu kali pada saat Ali menceritakan
kisah perjuangan baginda nabi dan para sahabat ia sangat meresapi kisah yang
sedang di ceritakan, tetapi kenapa dengan dirinya saat ini apakah kelemahan
sedang menggerogoti hatinya.
“Ceritakanlah kepada kami bang, apa yang membuat abang
seperti ini. masalah abang masalah kami juga. Insyallah kami akan bantu sekuat
tenaga”
“Betul kata Umar Li, demi Allah engkau sahabat terbaik ku
bukankan kita sudah saling mengenal satu sama lain dari semasa di pondok”
Sia-sia usaha Rasyid dan Umar, Ali belum bersedia membuka
mulut perihal masalah yang sedang singgah dalam hidupnya walaupun keduanya
sudah membujuk mati-matian selama tiga jam namun Ali bersikeras untuk di
tinggalkan seorang diri.
“Wahai sahabat tolonglah jangan ganggu ana, Insyallah
waktu yang akan menjawab semua kekhawatiran kalian. Bersabarlah sedikit lagi
saat ini dengan bertaubat kepadaNyalah jalan terbaik bagi ana untuk mensucikan
diri”
“Aku kecewa pada mu Li, tujuh tahun kita berbagi duka
masih kah kau menganggapku orang asing” Rasyid naik pitam menghadapi tingkah
sahabatnya ia melempar tatapan sinis kepada sahabatnya yang keras kepala itu
“Yasudah bang kalau memang abang masih enggan untuk
bercerita, kami maklum. Tetapi tetap fikirkanlah kesehatan tubuh abang bukankah
itu yang lebih penting. Beribadah memang kewajiban tetapi kesehatan itu harga
mati”
“Ente harus tahu Li, sesungguhnya sahabat adalah dorongan
ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat,
membiaskan senyuman sabar ketika engkau berduka, memapahmu ketika engkau hampir
tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara doa pada dadamu” Bagi Rasyid,
Ali adalah segalanya dalam kehidupannya. Ketika ia mengetahui gerak-gerik Ali
yang menurutnya tak wajar tak henti-henti ia menanyakan kepada seluruh penghuni
flat
Dengan
perasaan kecewa Rasyid dan Umar meninggalkan Ali. Setelah kepergiaan keduanya
Ali melanjutkan aktivitasnya kembali tenggelam dalam lantunan ayat-ayat cinta
sang Khalik.
***
36 jam kemudian
Matanya
berkunang-kunang pandangan sudah tidak fokus lagi Ali tetap berusaha untuk
mengembalikan fokusnya namun tubuhnya berkata lain ia jatuh tersungkur tak
berdaya wajah teduhnya pucat dan mengeluarkan keringat dingin. Al-Qur’an yang
di pegangnya terhempas menyentuh lantai tak satupun orang yang melihatnya.
“Rayid
Umar, dimana tepatnya Ali duduk” Salim berjalan dengan tergesa-gesa
“Sabar lah bang, kemarin bang Ali duduk disebelah kanan
teras masjid” ketiganya berjalan sama cepatnya tidak sabar untuk segera
menghampiri Ali. mereka tak mampu menghadapi tingkah Ali yang ingin
mencelakakan dirinya sendiri. Kali ini Salim berazam untuk membujuk Ali agar
mau kembali ke flat walaupun mereka harus bertengkar hebat dirinya akan memaksa
Ali untuk mengiyahkan permintaannya. Karna ia tak mau di salahkan kalau sampai
Ali meregang nyawa alasan apa yang ia sampikan kepada
“Masya Allah Li kenapa ente jadi seperti ini” mereka
berlari menghambur menghampir Ali yang terjatuh pingsan. Dengan terampil Salim
memeriksa nafas Ali yang berhembus lemas. Tanpa tinggal diam Rasyid langsung
segera berlali menuju ruang penjaga masjid untuk meminta bantuan.
“Dasar keras kepala, anak ini berhasil membuat kami
menyesali mengabaikan kegilaannya” Salim mengumpat sambil terus memeriksa kondisi
Ali.
Tak lama kemudian Rasyid bersama kedua penjaga masjid
datang. Salim menjelaskan kepada keduanya bahwa mereka mahasiswa Al-Azhar, ia
hendak meminta bantuan untuk membawa Ali ke RS. Dengan menyesal pihak masjid
tak mampu menolong karena keterbatas sarana membuat suasan semakin sulit.
“Gimana ni bang? Bang Ali sudah harus segera di bawa
kerumah sakit”
“Mar coba hubungi PPMI agar bisa kirim ambulance kesini”
PPMI kepanjangan dari persatuan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang berada di
Mesir. Semua pelajar dan mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan disana
secara otomatis masuk menjadi anggota PPMI.
***
Ali sudah berada dalam ruang perawatan Husein Hospital,
rumah sakit tersebut adalah salah satu yang dimiliki Al-Azhar. Salim, Rasyid
dan Umar bergantian menjaga dengan harap-harap cemas. Rasyid menyesali
ucapannya terakhir kali saat semua belum menjadi seperti ini , ia menyesal
karena tidak menghargai pendapat sahabatnya. Sudah 48 jam Ali tak sadarkan diri
Alhamdulillah tepat pada waktu dzuhur Ali membuka matanya, Rasyid yang saat itu
baru selesai melaksanakan sholat dzuhur tak henti-hentinya bersyukur melihat
Ali siuman.
“Alhamdulillah ente sudah sadar”
“Dimana ini?” Ali memegang kedua kepalanya yang terasa
pusing
“RS, dua hari yang lalu ente pingsan karena kelelahan”
“Astagfirullah,,, dua hari ana tak sadar” Ali terkejut
mendengarnya. “Syid bawa ana kembali ke masjid”
“Edan ente, Demi Allah ana menyesal akhirnya menjadi
seperti ini. Tolonglah mengerti susah payah kami membawa ente kesini”
“Kenapa ente tidak membiarkan ana saja kemarin” suaranya terdengar
lemah Ali berusaha berdiri tetapi tubuhnya oleng, dengan cepat Rasyid menangkap
tubuh Ali.
“Astagfirullah Li badan kamu cukup ringan, kalau sampai
kamu masih keras kepala untuk melakukan kegilaan kamu lagi terpaksa aku harus
bertindak kasar” Rasyid mulai melontarkan kalimat ancaman. “Dan ana tidak
seedan itu kalau ana membiarkan ente kembali lagi sama saja membiarkan ente
mati” keduanya terlibat dalam perdebatan yang cukup panjang
Seseorang membuka pintu ternyata Salim dan Umar sosok
yang berada dibaliknya, Umar berlari memeluk Ali matanya sudah mulai mengembun
lagi-lagi ia tidak dapat menahan sedihnya itu. Senang bukan kepalang mendapati
teman satu flatnya sudah siuman
“Alhamdulillah sudah siuman Li, pasti perutmu sudah
menangih untuk seegera diisi ayo kita makan siang dulu aku dan Umar tadi mampir
untuk membeli tho’miyah bil beid” tho’miyah bil beid adalah semacam isian untuk
memakan roti khas mesir isyh. tho’miyah bil beid terbuat dari kacang yang
digiling lalu digoreng dan di tambah telur. Kata mahasiswa Indonesia yang
pernah tinggal di Kairo tho’miyah ini makanan yang paling ngangenin.
“Ini makanan kesukaan abang tadi kita beli dari resto
yang biasa abang beli. Apa perlu ana yang suapinin?”
“Yang
ana butuhkan saat ini bukan makan, tolong bantu ana kembali ke masjid. Demi
Allah tidak pernah sebelumnya ana meminta bantuan kalian, untuk kali ini
tolonglah kabulkan permintaan ana”
“Sahabat tenanglah dulu ini bentuk keperdulian kami
kepada mu, Ali betapa terkejutnya kami mendapati dirimu pingsan di teras masjid
seorang diri. Tahu apa yang terbesit dalam fikiran ana saat itu ya Rabb apakah
sahabat ku yang ahli ibadah ini sudah kau panggil. Rasyid dan Umar menyesal
meninggalkan mu, tak henti-hentinya Rasyid berdoa siang malam untuk kesembuhan
mu” kalau sudah seperti ini hanya Salim yang mampu menenangkan semuanya
“Sabarlah, belum sembuh betul kesehatan ente. Kalau seperti ini bukan hanya
ente yang merasakan sakit tetapi kami semua merasakan hal serupa. Jika memang
nanti Allah sudah mengembalikan nikmat sehat kepada mu silahkan kau lakukan
kembali ibadah itu”
“Istirahat dulu Li, kasihan keluarga ente kalau terjadi
apa-apa. Jangan menambah beban yang sudah ada” Rasyid menepuk pundak Ali
Ali sudah tak dapat berkata-kata lagi ia terisak
mengetahui rasa sayang dari ketiga sahabatnya. Salim mahasiswa tertua yang ada
di flat mereka ia berasal dari Bandung saat ini ia sedang menyelesaikan
tesisnya. Sedangkan Ali dan Rasyid berada satu tingkat mereka sudah sama-sama
memasuki semester akhir dan berasal dari kota yang sama Banyumas, Umar
mahasiswa asli Medan yang baru memasuki semester empat. Rasanya hubungan mereka
sudah seperti saudara. Karna hidup dalam perantauan mereka para mahasiswa asal
Indonesia tersebut selalu menjaga satu sama lain.
“Kiranya mau kah kau bercerita, apa yang mengusik fikiran
mu sahabat? Sudi kah kau membaginya kepada kami?” Dengan bijaksana dan
hati-hati Salim berusaha menghilangkan beban yang merangkul Ali
Dengan menarik nafas dan berusaha untuk tegar didepan
ketiga sahabatnya Ali berusaha membuka mulut. Tetapi saat ia ingin membuka
mulutnya dirinya lagi-lagi tak dapat menahan rasa sedihnya, kedua tangannya
menutup wajahnya air mata pun mulai membanjiri wajah dan tangannya. Hanya terdengar
isak tangis suara Ali dalam ruangan itu. Rasyid memeluk Ali dengan iba seakan
dirinya dapat merasakan hal yang sama, Ali menghamburkan dirinya dalam pelukan
Rasyid. Satu dua kali Rasyid menepuk-nepuk punggung Ali. Akhirnya setelah lima
menit hanyut dalam kesedihan Ali mulai berusaha untuk membagi kisah sedihnya.
“Ulfa..
Ulfa bidadari solihah yang ditakdirkan Allah untuk ana saat ini sedang berjuang
melawan maut, sudah lima hari ia tak sadarkan diri. Hanya lewat bantuan
alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya ia berusaha bertahan hidup” Ali
terisak. Baru kali ini Ali merasakan rasa sedih yang teramat dalam tentang
seorang wanita. Salim memeluknya dengan hangat berusaha memberikan ketegaran
untuk Ali.
***
“Le gimana kabar mu disana?”
“Alhamdulillah baik Pak”
“Berapa tahun lagi kamu disana”
“Insyallah dua tahun lagi”
“Dua tahun masih lama sekali toh, sedangkan usia mu tahun
ini sudah menginjak 26, ada gadis mesir yang menarik hati mu?”
“Tidak ada Pak, Ali sibuk belajar supaya bisa segera
kembali ke tanah air dan mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat” jawabnya
santai
“Mas Ali apa kabar? Kangen ni Aisyah, bapak dan ibu juga.
Sudah lima tahun hanya menonton mas lewat skype” Aisyah memonyongkan bibirnya
“Loh ndo sabar toh bapak mau bicara dulu sama mas mu” ibu
menegur sikap Aisyah yang kekanakan. Dengan sedikit malas ia menghindar dari
layar laptop. Sekarang wajah bapak yang terlihat memenuhi layar
“Semakin hari usia bapak dan ibu sudah semakin tua,
sedangkan kamu tak kunjung memberi kabar tentang gadis yang kau suka. ibu sudah
tak tahan ingin menimang cucu bapak juga sudah rindu mendengar tangisan bayi
dirumah ini”
“Maafkan Ali pak, mungkin Allah belum mentakdirkan
seorang wanita untuk mendampingi Ali”
“Jadi begini le, kemarin Kiyai Abdul Aziz mampir kalau
Allah ridhoi beliau berniat menjodohkan putri terakhirnya dengan mu”
Ali tersentak mendengar perkataan bapak tak sedikitpun memikirkan
pernikahan karena menurutnya kepentingan umat saat ini menjadi prioritas utama.
Ia baru menyadari keegoisannya tanpa memikirkan apa yang di harapkan kedua
orang tuanya
“Saran bapak coba dipertimbangkan, karena Kiyai Abdul
Aziz keturunan yang baik”
“Insyallah Ali pasti pertimbangkan saran bapak, kalau
memang bapak dan ibu setuju Ali ikut saja”
“Untuk foto dan biodatanya nanti dikirim Aisyah lewat opo
namanya bapak lupa”
“Email Pak” celetuk Aisyah yang duduk di samping bapak
“Ya Email, Insyallah akan segera dikirimkan Aisyah”
***
Selepas tahajud dan tilawah Ali memberanikan diri untuk
mengecek email. Ternyata Aisyah sudah mengirikan email yang dijanjikan. Tanpa
hitungan menit data diri dan foto calon isterinya sudah terlihat jelas dalam
layar komputer bututnya, gadis berkerudung hijau toska dihiasi lesung pipit
ditambah gigi kelinci menambah kemanisan wajahnya, tertulis nama gadis tersebut
adalah Mariya Ulfa usia masih terbilang muda, usia kedunya terpaut tujuh tahun
sudikah ia menikah dengannya yang pantas menjadi kakak bukan suami.
Satu minggu bagi Ali untuk meminta jawaban dari Allah,
selama itu pula ia berusaha untuk mengoptimalkan ibadahnya agar Allah
memberikan jawaban terbaik untuk dirinya dan tentunya keluarga yang sudah
menunggu dengan cemas jawaban dari istikorohnya. Hasil dari istiqorohnya
menandakan kalau pernikahan ini akan baik jika dilangsungkan, tanpa membuang
waktu dirinya langsung mengabarkan bapaknya tentang jawaban Allah atas doanya,
bahkan ibunya sujud syukur dengan kabar baik yang Ali berikan. Ulfa pun setuju
saja dengan laki-laki pilihan abahnya karna menurutnya abahnya pasti akan
mencarikan suami yang terbaik bagi anaknya. Kalau menurut Kiyai Abdul Aziz niat baik itu pamali kalau di
tunda-tunda. Ali pun tidak ingin menyembunyikan kabar gembira ini dari ketiga
sahabatnya dengan senang Ali menceritakan perilah rencana pernikahannya
tersebut.
“Subhanallah mambruk ya bang, senang aku dengarnya”
“Mambruk ya Li, afwan ni kita ga bisa ikut merayakan”
“Barakallah semoga ridho Allah menyertai pernikahan
kalian”
“Syukron ya akhi, afwan ana melangkah lebih dahulu”
“Wah kalau soal jodoh hanya Allah yang tau bang, siapa
tahu habis abang ana yang nyusul duluan”
“Itu si maunya ente Mar, belajar yang giat dahulu sana
agar nanti ada ilmu yang bisa kamu banggakan didepan isteri mu. Ente paling
muda diatara kita dengarkan pesan abang-abang mu”
***
Malam ini angkasa bagaikan lukisan alam yang ditorehkan
oleh sang kuasa bintang-bintang malu-malu mengintip penghuni bumi, sesekali
angin menyentuh kulit pemuda yang sedari tadi menatap keindahan ciptaan Allah
dengan kelembutannya, menjadikan suasana semakin nyaman dan menenangkan jiwa.
Lagi-lagi Allah menunjukkan kekuasanNya kepada Ali pemuda yang menjuluki
dirinya hamba Allah yang fakir dalam ilmu. Tak henti-hentinya memuji Tuhannya
atas kasih sayang yang diberikan kepada seluruh umat.
“Mas ini teh hangatnya” seorang wanita berkulit kuning
langsat membuyarkan lamunannya
“Terima kasih dek” terlihat jelas sekali keduanya masih
malu-malu, bahkan enggan untuk saling menatap. “Malam ini bintangnya sangat
indah ya” Ali berusaha mencairkan suasana
“Ya, subhanallah itu hanya sebagian kecil keindahan yang
diciptakanNya” wanita tersebut bergeser satu langkah mendekati suaminya.
“Bagaimana suasana malam hari ketika di Mesir?”
“Suasan terindah di Mesir terletak pada malam musim
panas, biasanya Mas dan teman-teman meluangkan sedikit waktu untuk sekedar
ngobrol bersama di halaman toko minuman ditemani dengan asyir ashob (minuman
yang dibuat dari sari tebu)” cerita Ali dengan semangat. Ulfa menganggukan
kepalanya tanda ia mengerti dengan apa yang diceritakan
“Wahh pasti Asik”
“Atau kalau punya lebih banyak waktu mengunjungi taman
lebih menyenangkan, konsep lingkungannya yang tersusun secara rapi dan teratur,
pohon-pohon yang terawat, rumput-rumput yang terlihat menyejukkan akan
mengantarkan perasaan kita kembali ketanah air” Ali mengilustrasikan dengan
indah pemandangan negeri Firaun membuat siapapun iri mendengarnya
“Kalau Allah ridho kita bisa mengunjungi Kairo bersama.
Nanti Mas ajak melihat sungai yang selalu dibanggakan orang-orang Mesir” belum
sempat Ali memberitahu nama sungai tersebut Ulfa sudah lebih dahulu menjawabnya.
“Tidak sampai disana saja letak keindahannya, mengunjungi sungai nil pada malam
akan bertambah sempurna dengan menaiki perahu-perahu ditambah iringan lagu-lagu
khas Mesir. Cairo Tower dengan ilustrasinya yang begitu mempesona serta
kapal-kapal yang tersandar dipinggir kanan kiri sungai yang kini dialih
fungsikan sebagai restaurant semakin memperelok pemandangan sungai nil dan
tentu pula semakin menjadikan panorama hati” Ali sudah cukup fasih
menggambarkan setiap detail negara kebab tersebut. Karna sebagai mahasiswa
Al-Azhar membuat mudah dirinya untuk mengunjungi semua tempat yang ada di
Mesir, bahkan akan ada diskon khusus bagi para mahasiswa.
“Subhanallah seindah itukah Mesir” Mata Ulfa
berbinar-binar mengagumi cerita Ali. “Sebenarnya Ulfa mau sekali meneruskan
pendidikan disana, tapi abah ga sependapat. Katanya terlalu jauh, padahal
banyak sekali muslimah Indonesia yang bisa bertahan hidup disana”
“Tenang dinda suatu saat kita akan berlabuh mengelilingi
Mesir” wajah Ulfa tersipu menanggapi panggilan sayang suaminya. Ali yang baru
menyadarinya tak kuasa memandang mata isterinya wajahnya memerah malu. Namun
lambat laun keduanya sudah terlihat akrab bercerita satu sama lain. Tanpa
canggung Ali menceritakan pengalaman menariknya selama di Mesir membuat Ulfa
semakin terpukau mendengarnya. Satu dua kali mereka tertawa bersamaan entah hal
lucu apa yang menjadi topik, yang jelas awal pernikahan mereka sungguh indah
bagi keduanya.
***
Hanya dua minggu waktu yang dapat Ali habiskan di tanah
air ia harus segera kembali ke kota pyramid karena hari ujian akan segera tiba
lembaran soal sudah bertengger dengan manis menunggu kedatangannya meminta
tuannya untuk segera mengisi dirinya, hal tersebut memaksanya untuk berpisah
sejenak dengan isteri yang amat ia cintai walaupun berat namun sudah harga mati
yang tak dapat ditawar. Ulfa memeluk Ali dengan sekuat tenaga seperti enggan
untuk melepas kepergiannya begitupula dengan Ali, satu-demi satu buliran air
mata membasahi kemeja Ali, keduanya tak memperdulikan orang-orang yang melintas
disekelilinya suasana bandara yang cukup padat tak mengusik keduanya melepas
sayang.
“Jangan
menangis, Mas akan berusaha untuk mempercepat waktu kelulusan” sambil mengusap
kedua mata bidadarinya. Ulfa hanya menanggapinya dengan senyuman, lagi-lagi ia
memamerkan lesung pipit dan gigi kelincinya satu hal yang akan membuat Ali
rindu dengan bidadarinya.
“Ayo ndok kesian mas mu, nanti tidak kerasan disana” ibu
memaksa Ulfa agar tidak sedih didepan Ali.
“Baik-baik ya nak disana, tugas utama mu hanya belajar
Insyallah Ulfa aman bersama kami” Kiyai Abdul Aziz menenangkan Ali.
“Insyallah” Jawabnya singkat, ia berjalan menyalami satu
pertasatu sanak saudara yang mengantarkan kepergianya. Saat tiba didepan
isterinya Ali tak kuasa menahan isak tangisnya, dengan lembut ia mencium kening
isteri yang baru dimilikinya selama dua minggu. Ia baru menyadari sedahsyat
inikah rasa yang harus mereka tanggung kalau saja Kiyai Abdul Aziz mengizinkan
ia membawa Ulfa tentunya skenario perpisahan pada hari ini pasti tidak akan
seperti ini jadinya, namun apa boleh buat Kiyai Abdul Aziz takut dengan sikap
Ulfa yang manja akan mempersulit Ali disana dan murni Ali hanya seorang
mahasiswa kebutuhan akan bertambah dua kali lipat jika ia memboyong Ulfa.
Kini
hal tersebut meninggalkan tanda tanya besar yang bersemayam dalam otak mereka,
kapankan keduanya akan saling bertemu lagi satu tahun, satu bulan, satu minggu
atau kah esok hari pertanyaan ambigu yang tak jelas jawabannya. Semoga dengan
ini Allah akan menambahkan bubuk-bubuk cinta yang teramat dahsyat untuk
keduanya dan semoga takdir terbaik sudah terukir dengan manis untuk masa depan
keduanya.
***
Dimalam
penuh bintang diatas sajadah yang terbentang Ali menangis seorang diri, seduh
sedan mengadu pada yang maha kuasa untuk kesembuhan bidadari yang amat ia
cintai, walau baru sebentar kebersamaan yang terlewati, namun Ulfa memiliki hal
yang berbeda membuat Ali kagum dengan muslimah manis nan solihah yang
diciptakan oleh Allah untuk menjadi miliknya. Ulfa memiliki paras yang cantik,
ketika bernyanyi merdu suaranya, saat membaca Al-Qur’an mampu membaca dengan
baik, kalau tak uzur selalu bangun untuk melaksanakan sholat tahajud, maksurat
menjadi amalan yang tak pernah terlupakan. Walaupun usianya masih teramat muda
Ulfa isteri yang terbaik, anak terbaik, menantu terbaik, adik terbaik dan Ali
yakin sahabat terbaik juga.
Hari-hari indah yang sempat terlewati membuat Ali semakin
sesak mengingatnya, setiap hari Ulfa mengucapkan kata sayang dan rindu karena
zaman sekarang segala hal akan menjadi mudah walaupun jarak dan waktu
terbentang jauh. Dihari pertama setelah pernikahan Ulfa sibuk didalam dapur
ternyata ia sedang membuat sarapan pagi untuk Ali lama sekali padahal hanya
seporsi nasi goreng plus terlur mata sapi yang dibuat, setelah selesai ia
menatanya dengan manis diatas meja makan. Ali menyeringai mengingat tingkah
Ulfa ternyata selain pintar mengaji Ulfa juga bisa masak satu hal yang jarang
sekali dimiliki oleh wanita zaman sekarang.
Selain itu ia selalu berhati-hati saat berucap kepada
semua orang yang dijumpai, terutama dengan kedua orang tuanya, terlihat dari
kepatuhannya ketika dirinya diminta untuk menikah dengan lelaki yang usianya
terpaut jauh, tidak ada ketakutan dengan status Ali yang belum rampung
menyelesaikan study pasti tidak akan selalu bersamanya dengan ikhlas ia
mengesampingkan egonya. Disaat anak-anak muda disibukan dengan gemerlapnya
dunia lain halnya dengan Ulfa ia lebih suka menyibukkan diri dengan
mengulang-ulang hafalan qur’annya dan membantu mengajar di pondok pesantren
milik abahnya, ia pun tak marah saat orang tuanya tak mengizinkan ia belajar di
Mesir padahal surat bea siswa sudah dikantonginya, mungkin saja dengan sedikit
merajuk abahnya akan luluh namun hal tersebut tak ia jadikan senjata untuk
memerangi perintah abah.
Malam semakin beranjak pergi saat ini jarum jam sudah
bertengger pada angka 4 Ali meraih komputer bututnya berusaha untuk mencari
informasi perkembangan isterinya di tanah air siapa tau Aisya mengirimkan
informasi terbaru. Dengan harap-harap cemas ia membuka kotak masuk
“Alhamdulillah” Aisya masih ingat dengan janjinya. Dengan membaca basmallah dan
memantabkan hati ia membukanya.
“Assalamualaikum
Mas
semoga sehat selalu dan dalam lindungan Allah, sudah hari keenam Ulfa tak
menunjukkan perubahan. Kata dokter hanya keajaiban yang mampu membuatnya
kembali siuman kami disini tidak henti-hentinya mendoakannya bahkan semua
santri dimintai tolong untuk ikut mendoakannya.
Kecelakaan
motor yang dialami Ulfa membuat pendarahan hebat dikepalanya tangan kanan serta
kakinya patah saat ini Ulfa hanya mampu bertahan dengan kabel-kebel yang di
tanam di sebagian tubuhnya. Alhamdulillah kemarin Ulfa sempat merespon saat
mendengar nama mas. Tolong minta doa orang-orang soleh disana siapa tau salah
satu dari doa mereka akan diijabah oleh Allah. Sudah dulu ya mas Insyallah
Aisya akan memberikan kabar tentang Ulfa terus. Jaga diri mas dan tetap menjaga
kesehatan. Ada salam dari Bapak, Ibu dan Kiyai Abdul Aziz.
Wassalamualaikum
Ali
mengusap kedua matanya bagaimana pun ia harus pasrah dengan keputusan yang akan
Allah berikan sebab segala hal didunia ini hanya milikNya dan semua akan kembali
padanya, jika Allah berkehendak untuk mengambilnya kembali dariNya ia ridho,
karena sebagai hamba senjatanya hanyalah doa.
***
Bulan Desember hawa dingin menjadi teman sejadi
penduduknya meski tak sampai turun salju membuat mereka yang keluar rumah harus
besembunyi dibalik jaket tebal, karena kalau sampai menantang sama saja
menjemput maut. Kebiasaan orang Mesir ketika memasuki musim dingin mereka
memilih menghabiskan waktu dalam flat, lain halnya dengan Ali bagianya
berkorban untuk sesuatu yang diinginkan itu lebih baik ketimbang hanya
termenung didalam ruang kosong akan membuatnya semakin gila. Salim, Rasyid dan Umar
saling melempar pandang melihat Ali sudah siap dengan jaket tebalnya untuk
keluar flat “Mau kemana Li?” “Masjid Al Azhar” ketiganya kompak menghembuskan
nafas untung Ali masih menggunakan akal sehatnya semenjak mereka mengetahui
masalah yang sedang menimpa Ali mereka
selalu memperhatikan gerak-gerik pemuda Indonesia itu.
“Pulang jam berapa bang?”
“Insyallah ba’da ashar”
“Malam ini bang Rasyid mau masak kusyari, jangan sampai
telat bang” kusyari adalah nasi khas mesir yang dicampur dengan mie dan
kacang-kacangan serta disiram dengan saus tomat khas. Ali hanya tersenyum tipis
menanggapi ucapan Umar. Dengan langkah mantap Ali berjalan keluar flat. Hembusan
angin dingin langsung menyapanya tetapi Ali terus melangkahkan kakinya, jalanan
sangat sepi hanya satu dua orang yang melintas karna pada musim dingin seperti
ini biasanya orang-orang Mesir hanya berdiam diri di rumah dengan menyalahkan
penghangat ruangan. Karna jalan sepi seperti ini dan nafsu lelaki yang kurang
iman membuat perempuan yang berada di luar rumah menjadi tidak aman. Saat Ali
melintasi kawasan yang sangat sepi tiba-tiba ia mendengar jeritan seseorang
yang meminta tolong. Ali langsung bergegas mencari sumber suara.
“Ittaqillah” seorang perempuan berteriak dengan kencang. Sebenarnya
ia bukan perempuan biasa sabuk hitam sudah dikantonginya semenjak ia mondok tetapi
semua jurus yang dipelajarinya seakan-akan sirna tak tersisa saat dirinya di
hadapkan pada lawan yang ada di depannya. Sumpah serapah sudah di lontarkannya
namun laki-laki yang memiliki postur tubuh dua kali lebih besar dari dirinya
masih terus mencengkeramnya. Perempuan itu sudah seperti mangsa yang dikit lagi tumbang. Namun dengan kata yang ia
lontarkan laki-laki tersebut langsung mengendorkan cengkaramannya.
“Astagfirullah afwan ukhit afwan” ia langsung berlari
meninggalkan perempuan itu.
Di saat yang bersamaan laki-laki tersebut bertemu dengan
Ali, kalau saja Ali tidak menghindar mereka akan bertubrukkan dan jatuh ke
tanah. Ali kebingungan dengan laki-laki yang sedang lari ketakutan. Ia mendapati
seorang perempuan sedang tersungkur dan menangis.
“Astagfirullah Rumi kenapa anti?” Ali bertanya dengan panik.
Ternyata itu Rumi teman mahasiswa Indonesia yang sama-sama belajar di Mesir.
“Ada seorang laki-laki yang mau memperkosa ana” ia
mengusap air matanya, tubuhnya bergetar karna takut. Kakinya masih lemas dan
tak sanggup untuk menopang tubuhnya.
“Apa laki-laki yang berlari tadi?”
“Ya” jawabnya bergetar
“Kenapa anti keluar? semua mahasiswa sudah hafal betul tabiat
laki-laki Mesir pada musim dingin”
“Ana sedang ingin berkunjung ke rumah teman, dan bodohnya
karna semua gang terlihat sama jadi membuat ana bingung” jelasnya. Saat ini
Rumi sudah terlihat lebih baik dan ia langsung berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya.
“Yasudah supaya aman ana akan mengikuti anti dari
belakang”
***
Kurang
lebih satu jam waktu yang ditempuh dari flat menuju masjid Al Azhar dengan
menggunakan metro. Sesampainya di masjid Ali bergegas mengambil air wudhu dan
melaksanakan sholat dhuha. Dirinya khidmat dalam lantunan ayat suci Al-Qur’an
“Assalamualaikum”
sebuah salam menghancurkan kekhusyuannya
“Waalaikumusslam”
Ali menoleh dan meraih tangan seseorang dihadapannya
“Hai
anak muda ku perhatikan kau seperti seseorang yang sedang memikul beban berat
dipundak mu”
Ali
menatap keheranan dengan tebakan lelaki dihadapanya tepat sekali menggambarkan
kondisinya saat itu, wajah lelaki tersebut di penuhi janggut yang sudah berubah
menjadi putih. Ia memakai gamis putih dan imama pakaian kehormatan di negeri itu.
Ini kali pertamanya Ali melihat wajah lelaki paruh baya tersebut ia hafal betul
orang-orang tua yang sering berkunjung ke masjid ini karna masjid Al Azhar
sudah seperti rumah kedua Ali, aura ke solehan terpancar dari wajahnya dan
tubuhnya pun mengeluarkan aroma yang sangat wangi.
“Jika
ada yang mengganggu fikiranmu ceritakanlah, karena tidak ada masalah yang tak
dapat diselesaikan” Dengan lugas ia bersedia menanggung kesedihan Ali.
Perasaan
itu menguap, memorinya kembali terisap pada pesan elektronik adiknya. Tanpa
fikir panjang Ali menceritakan beban pada seseorang yang baru saja dikenalnya,
namun kali ini ia sudah terlihat lebih tenang saat bercerita. Mungkin karena
atmosfer yang dibawa lelaki tersebut mampu merubah suasana.
“Subhanallah,
pasti ada pesan menarik yang ingin Allah sampaikan untuk mu nak” pria paruh
baya itu menepuk pundak Ali “Sudah kah kau ikhlas dengan takdir ini?”
Ali
menghembuskan nafas “sebenarnya masih berat bagi saya menerima semua ini, belum
genap tiga bulan kami membina rumah tangga. Banyak harapan yang saya impikan
dengan hidup bersamanya”
“Nak,
bukankah semua ini milik Allah, begitupula dengan isteri mu. Bisakah kita
mengatur kehendakNya tanpa terkeculia Rasulullah satu-satunya manusia yang
dijuluki kekasihNya. Kadang kita berfikir takdir yang menjadi garis hidup
terlalu berat untuk dilalui. Dan akhirnya kita mengambil kesimpulan kita adalah
satu-satunya makhluk yang memiliki beban terberat di alam ini. Bukankah kau
sudah mengetahui Allah tidak akan menguji hambaNya kalau ia tidak mampu dengan
ujian tersebut, karena Allah tahu kau pasti mampu melewati takdir ini.
Berbahagialah dengan takdir yang sudah Allah tetapkan” Nasihat lelaki tersebut
sambil menepuk bahu kanan Ali.
“Saya
tidak yakin dapat memiliki isteri solihah seperti ia kembali?” Tampak sedikit
keraguan dari wajahnya
“Tenanglah
para Rasul, Nabi dan orang-orang soleh selalu diberikan cobaan oleh Allah, kamu
tak sendiri nak. Ada Allah, keluarga dan sahabat mu yang siap berbagi duka.
Fikirkan apa yang Allah minta dari mu saat ini”.
“Sulit
bagi saya untuk mencerna maksud Allah dari semua ini” Ali mulai terlihat putus
asa .
“Maka
dari itu, jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setiap keadaan
pasti berubah. Dan sebaik-baik ibadah adalah menanti kemudahan dengan sabar,
betapapun hari demi hari akan terus berguli, malam demi malam pun datang silih
berganti. Meski demikian yang gaib pun akan tersenyum dan sang Maha Bijaksana
tetap pada keadaan dan segala sifat-Nya. Dan Allah mungkin akan menciptakan
sesuatu yang baru setelah itu semua. Tetapi sesungguhnya setelah kesulitan itu
tetap akan muncul kemudah” Sungguh luar biasa pemaparan lelaki tersebut
seakan-akan ia ikut merasakan kesedihan Ali.
“Apa
menurut ustad dengan ikhlas dan sabar kunci dalam menyelesaikan kesedihan saya
ini?” Ali bertanya dengan antusias.
“Ya
ikhlas dan sabarlah, terimalah ini sebagai hadiah terbaik yang Allah berikan
kepadamu, bidadari mu akan menunggu ditempat keabadian. Bukankah kau mau
menjadikannya sebagai bidadari dalam surga Allah?”.
“Apakah
dengan ikhlas dan bersabar semua akan baik-baik saja?”
“Akan
ada ganjaran terbaik yang Allah berikan untuk orang-orang ikhlas. Terdengar
mudah tetapi berat sekali untuk dijalankan, ikhlas kan lah semua akan berjalan
sesuai dengan kehendak Allah. Janganlah sedih karena Allah selalu bersama kita”
lelaki paruh baya itu pamit pergi.
“Afwan
siapakah nama ustad?”
Lelaki
tersebut tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Ali dan berjalan menjauhinya.
***
“Dinda…. Mariya Ulfa…” Ali berteriak kencang berusaha
memanggil Ulfa namun yang dipanggilnya acuh meninggalkannya “Tega kah kau,
berlaku seperti ini kepada suami mu. Bukankah dirimu berikrarkan untuk setia
menunggu ku” Ali tersunggur tak berdaya.
Perlahan cahaya putih menghampiri dirinya, kedua tangan
meraih wajah teduh Ali menyeka air mata dan memeluknya.
“Maaf jika membuat mu seperti ini, janji yang sempat
terucap tak mampu dinda tepati dengan indah. Maafkan Ulfa mas Ali. Terima kasih
mas sudah memberikan kenangan termanis walaupun singkat tetapi hari-hari yang
sempat kita lewatkan bersama adalah hari termanis yang pernah Ulfa rasakan
seumur hidup”.
“Bisakah kita terus seperti itu”.
“Tidak bisa”.
“Dinda mengapa kau berkata seperti itu, mas akan
korbankan segalanya untuk mu, mas janji akan memberikan yang terbaik bagimu
sehingga dinda akan menjadi isteri paling beruntung”
“Bukankan hanya Allah saja yang patut kita cintai sepenuh
hati”
“Allah mentakdirkan mu untuk menemani kehidupan ku,
mengapa dinda berkata seperti itu”
“Ya betul Allah yang mentakdirkan ini semua. Siapa kah
yang mampu berkehendak selain Allah. Manusia hanya mampu berencana tetapi semua
kembali kepada Allah. Bisakah mas mengikhlaskan ini semua” Ulfa mencium kening
Ali.
“Tolong tetaplah hidup bersama ku” ia mengenggam dengan
keras kedua tangan Ulfa
“Ulfa tetap akan menunggu mas, tetapi bukan di dunia.
Nanti disaat hari keabadian semoga Allah akan mentakdirkan kita untuk berjumpa.
Mintalah kepada Allah untuk mempersatukan kita kembali” Ulfa memberikan senyuman
terindahnya dan melepas genggaman Ali.
“Dinda tolong jangan pergi, kembali lah.. kembali”
Suara teriakan dan ketukan pintu mengembalikan kesadaran
Ali.
“Li bangun”
“Bang kenapa”
“Li kamu kenapa, bisakah buka pintu kami hanya ingin
memastikan dirimu”
Ali hanya diam tak merespon panggilan teman-teman yang
masih berdiri di depan pintu kamarnya. Dalam malam yang dingin ini Ali mengigau
memanggil-manggil nama Ulfa, sonta membuat ketiga temannya terperanjat
menghampiri kamarnya.
“Ya
teman-teman ana tidak apa-apa”.
“Benar abang tidak apa-apa” .
“Insyallah”.
Ali mengusap keningnya yang dipenuhi keringat bahkan
seluruh tubuhnya lepek seperti baru disiram air. Hanya mimpi Ali menyadari
pertemuan dengan Ulfa hanya didalam mimpi ia berusaha untuk mengingat kembali
perkataan yang diucapkan Ulfa dalam mimpinya, paling tidak perkataan itu bisa
dijadikan sebagai pesan yang belum sempat terucapkan.
“Ya Rabb apakah dengan ikhlas aku bisa bertemu kembali
dengan Ulfa? maafkan hamba yang sempat larut dalam kesedihan”.
Ali menghawatirkan kesedihan yang menimpa dirinya murka
dengan kehendak Allah, mungkinkah dirinya terlena karena mimpi dunia menggoda
jiwanya. Malam itu juga ia memohon ampun kepada Allah untuk menghapuskan lelah
dan air matanya dan memohon mencukupkan duka yang menemani beberapa hari belakangan
ini. semoga Allah akan menghadirkan cahaya dan menerangi jiwanya kembali.
Tiga hari kemudian Ali mendapatkan kabar Mariya Ulfa
anfal dan menghembuskan nafas terakhirnya. Walaupun kabar tersebut terdengar
pahit namun ia sudah cukup tegar menghadapinya.
Bidadariku mengapa kau pergi?
Tuhanku puaskan
aku dengan aturanMu bukan aturanku
dengan pilihanMu
bukan pilihanku
dan tempatkan Mariya
Ulfa di tempat terbaik menurutMu
***
Tangerang, 11
Juli 2017
Indahnya Melukis
Hari
#30DaysWritingchallenge #30DWC #Day6
0 komentar:
Posting Komentar