Selasa, 11 Juli 2017

“BidadariKu Mengapa Kau Pergi ?”




"Allah Engkau tahu betapa tertatihnya hamba 
Dalam meniti jalan kesurga Mu
Berapa banyak peluang kebaikan yang terabaikan.
Maafkan hamba Ya Allah, sebab meski
Berlalu usia dalam bilangan yang banyak
Masih sedikit syukurku pada Mu”
Asma Nadia
            Seorang pemuda khusyu membaca kalam ilahi matanya fokus terarah pada sebuah Qur’an usang yang dipegangnya, diteras masjid tua kota Piramid ia duduk bersila seorang diri. Satu dua kali buliran air mata terhempas berkeping-keping diatas Qur’an tepat pada ayat-ayat yang mampu menggetarkan jiwanya. Tanpa kenal lelah tanpa kenal asa bahkan ia tak lagi merasakan kebas pada kedua kakinya.
            Wajah lusunya menandakan kalau dirinya sedang memiliki beban berat yang membuatnya hampir putus asa ia yakin hanya tuhanlah yang dapat membantunya. Di bawah matanya terdapat tanda hitam yang sudah melingkar mendandakan pemuda tersebut sudah tidak tidur beberapa hari.
            “Li kenapa ente jadi begini, beribadah memang boleh tetapi wallahi Allah tidak akan ridho dengan cara mu”
            “Ayolah bang sudah dua hari abang seperti ini, bisa sakit kalau terus memaksakan diri”
            “Rasyid, Umar tolong tinggalkan ana sendiri”
            “Bang memohon kepada Allah memang perkara wajib, tapi pakailah akal sehat dan beribadahlah tanpa harus mendzolimi diri”
            “Demi Allah Li, Allah tidak ridho dengan sesuatu yang berlebihan. Dan kami sebagai sahabat mu tidak habis fikir dengan tingkahmu”
            “Bagian manakah dari ibadah ana yang tak Allah ridhoi? Wahai sahabat cukup kalian ketahui Allah sedang menguji ku dengan cobaan yang teramat berat. Mungkin sudah terlalu menggunung dosa yang ana perbuat sehingga Ia menegur dengan amat keras. Ana hamba yang kotor dan berlumur dosa” tetes demi tetes air matanya pecah kedua kantung matanya tak mampu membendung derasnya air yang berebut ingin keluar, Ali terisak didepan Rasyid dan Umar.
Keduanya memandang Ali dengan iba, Umar sudah tidak tahan lagi deraian air mata sudah menganak sungai di kedua mata sipitnya. Dua tahun sudah mereka tinggal seatap belum pernah sekalipun ia memergoki orang yang sudah dianggapnya sebagai kakak  menangis seperti saat ini. Ali yang dilihatnya selalu tegar dan rapat-rapat dalam menyimpan masalahnya, pernah suatu kali ia melihat Ali menangis dan itu pun hanya satu kali pada saat Ali menceritakan kisah perjuangan baginda nabi dan para sahabat ia sangat meresapi kisah yang sedang di ceritakan, tetapi kenapa dengan dirinya saat ini apakah kelemahan sedang menggerogoti hatinya.
            “Ceritakanlah kepada kami bang, apa yang membuat abang seperti ini. masalah abang masalah kami juga. Insyallah kami akan bantu sekuat tenaga”
            “Betul kata Umar Li, demi Allah engkau sahabat terbaik ku bukankan kita sudah saling mengenal satu sama lain dari semasa di pondok”
            Sia-sia usaha Rasyid dan Umar, Ali belum bersedia membuka mulut perihal masalah yang sedang singgah dalam hidupnya walaupun keduanya sudah membujuk mati-matian selama tiga jam namun Ali bersikeras untuk di tinggalkan seorang diri.
            “Wahai sahabat tolonglah jangan ganggu ana, Insyallah waktu yang akan menjawab semua kekhawatiran kalian. Bersabarlah sedikit lagi saat ini dengan bertaubat kepadaNyalah jalan terbaik bagi ana untuk mensucikan diri”
            “Aku kecewa pada mu Li, tujuh tahun kita berbagi duka masih kah kau menganggapku orang asing” Rasyid naik pitam menghadapi tingkah sahabatnya ia melempar tatapan sinis kepada sahabatnya yang keras kepala itu
            “Yasudah bang kalau memang abang masih enggan untuk bercerita, kami maklum. Tetapi tetap fikirkanlah kesehatan tubuh abang bukankah itu yang lebih penting. Beribadah memang kewajiban tetapi kesehatan itu harga mati”
            “Ente harus tahu Li, sesungguhnya sahabat adalah dorongan ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, membiaskan senyuman sabar ketika engkau berduka, memapahmu ketika engkau hampir tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara doa pada dadamu” Bagi Rasyid, Ali adalah segalanya dalam kehidupannya. Ketika ia mengetahui gerak-gerik Ali yang menurutnya tak wajar tak henti-henti ia menanyakan kepada seluruh penghuni flat
                Dengan perasaan kecewa Rasyid dan Umar meninggalkan Ali. Setelah kepergiaan keduanya Ali melanjutkan aktivitasnya kembali tenggelam dalam lantunan ayat-ayat cinta sang Khalik.
***
36 jam kemudian
Matanya berkunang-kunang pandangan sudah tidak fokus lagi Ali tetap berusaha untuk mengembalikan fokusnya namun tubuhnya berkata lain ia jatuh tersungkur tak berdaya wajah teduhnya pucat dan mengeluarkan keringat dingin. Al-Qur’an yang di pegangnya terhempas menyentuh lantai tak satupun orang yang melihatnya.
“Rayid Umar, dimana tepatnya Ali duduk” Salim berjalan dengan tergesa-gesa
            “Sabar lah bang, kemarin bang Ali duduk disebelah kanan teras masjid” ketiganya berjalan sama cepatnya tidak sabar untuk segera menghampiri Ali. mereka tak mampu menghadapi tingkah Ali yang ingin mencelakakan dirinya sendiri. Kali ini Salim berazam untuk membujuk Ali agar mau kembali ke flat walaupun mereka harus bertengkar hebat dirinya akan memaksa Ali untuk mengiyahkan permintaannya. Karna ia tak mau di salahkan kalau sampai Ali meregang nyawa alasan apa yang ia sampikan kepada
            “Masya Allah Li kenapa ente jadi seperti ini” mereka berlari menghambur menghampir Ali yang terjatuh pingsan. Dengan terampil Salim memeriksa nafas Ali yang berhembus lemas. Tanpa tinggal diam Rasyid langsung segera berlali menuju ruang penjaga masjid untuk meminta bantuan.
            “Dasar keras kepala, anak ini berhasil membuat kami menyesali mengabaikan kegilaannya” Salim mengumpat sambil terus memeriksa kondisi Ali.
            Tak lama kemudian Rasyid bersama kedua penjaga masjid datang. Salim menjelaskan kepada keduanya bahwa mereka mahasiswa Al-Azhar, ia hendak meminta bantuan untuk membawa Ali ke RS. Dengan menyesal pihak masjid tak mampu menolong karena keterbatas sarana membuat suasan semakin sulit.
            “Gimana ni bang? Bang Ali sudah harus segera di bawa kerumah sakit”
            “Mar coba hubungi PPMI agar bisa kirim ambulance kesini” PPMI kepanjangan dari persatuan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang berada di Mesir. Semua pelajar dan mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan disana secara otomatis masuk menjadi anggota PPMI.
***
            Ali sudah berada dalam ruang perawatan Husein Hospital, rumah sakit tersebut adalah salah satu yang dimiliki Al-Azhar. Salim, Rasyid dan Umar bergantian menjaga dengan harap-harap cemas. Rasyid menyesali ucapannya terakhir kali saat semua belum menjadi seperti ini , ia menyesal karena tidak menghargai pendapat sahabatnya. Sudah 48 jam Ali tak sadarkan diri Alhamdulillah tepat pada waktu dzuhur Ali membuka matanya, Rasyid yang saat itu baru selesai melaksanakan sholat dzuhur tak henti-hentinya bersyukur melihat Ali siuman.
            “Alhamdulillah ente sudah sadar”
            “Dimana ini?” Ali memegang kedua kepalanya yang terasa pusing
            “RS, dua hari yang lalu ente pingsan karena kelelahan”
            “Astagfirullah,,, dua hari ana tak sadar” Ali terkejut mendengarnya. “Syid bawa ana kembali ke masjid”
            “Edan ente, Demi Allah ana menyesal akhirnya menjadi seperti ini. Tolonglah mengerti susah payah kami membawa ente kesini”
            “Kenapa ente tidak membiarkan ana saja kemarin” suaranya terdengar lemah Ali berusaha berdiri tetapi tubuhnya oleng, dengan cepat Rasyid menangkap tubuh Ali.
            “Astagfirullah Li badan kamu cukup ringan, kalau sampai kamu masih keras kepala untuk melakukan kegilaan kamu lagi terpaksa aku harus bertindak kasar” Rasyid mulai melontarkan kalimat ancaman. “Dan ana tidak seedan itu kalau ana membiarkan ente kembali lagi sama saja membiarkan ente mati” keduanya terlibat dalam perdebatan yang cukup panjang
            Seseorang membuka pintu ternyata Salim dan Umar sosok yang berada dibaliknya, Umar berlari memeluk Ali matanya sudah mulai mengembun lagi-lagi ia tidak dapat menahan sedihnya itu. Senang bukan kepalang mendapati teman satu flatnya sudah siuman
            “Alhamdulillah sudah siuman Li, pasti perutmu sudah menangih untuk seegera diisi ayo kita makan siang dulu aku dan Umar tadi mampir untuk membeli tho’miyah bil beid” tho’miyah bil beid adalah semacam isian untuk memakan roti khas mesir isyh. tho’miyah bil beid terbuat dari kacang yang digiling lalu digoreng dan di tambah telur. Kata mahasiswa Indonesia yang pernah tinggal di Kairo tho’miyah ini makanan yang paling ngangenin.
            “Ini makanan kesukaan abang tadi kita beli dari resto yang biasa abang beli. Apa perlu ana yang suapinin?”
“Yang ana butuhkan saat ini bukan makan, tolong bantu ana kembali ke masjid. Demi Allah tidak pernah sebelumnya ana meminta bantuan kalian, untuk kali ini tolonglah kabulkan permintaan ana”
            “Sahabat tenanglah dulu ini bentuk keperdulian kami kepada mu, Ali betapa terkejutnya kami mendapati dirimu pingsan di teras masjid seorang diri. Tahu apa yang terbesit dalam fikiran ana saat itu ya Rabb apakah sahabat ku yang ahli ibadah ini sudah kau panggil. Rasyid dan Umar menyesal meninggalkan mu, tak henti-hentinya Rasyid berdoa siang malam untuk kesembuhan mu” kalau sudah seperti ini hanya Salim yang mampu menenangkan semuanya “Sabarlah, belum sembuh betul kesehatan ente. Kalau seperti ini bukan hanya ente yang merasakan sakit tetapi kami semua merasakan hal serupa. Jika memang nanti Allah sudah mengembalikan nikmat sehat kepada mu silahkan kau lakukan kembali ibadah itu”
            “Istirahat dulu Li, kasihan keluarga ente kalau terjadi apa-apa. Jangan menambah beban yang sudah ada” Rasyid menepuk pundak Ali
            Ali sudah tak dapat berkata-kata lagi ia terisak mengetahui rasa sayang dari ketiga sahabatnya. Salim mahasiswa tertua yang ada di flat mereka ia berasal dari Bandung saat ini ia sedang menyelesaikan tesisnya. Sedangkan Ali dan Rasyid berada satu tingkat mereka sudah sama-sama memasuki semester akhir dan berasal dari kota yang sama Banyumas, Umar mahasiswa asli Medan yang baru memasuki semester empat. Rasanya hubungan mereka sudah seperti saudara. Karna hidup dalam perantauan mereka para mahasiswa asal Indonesia tersebut selalu menjaga satu sama lain.
            “Kiranya mau kah kau bercerita, apa yang mengusik fikiran mu sahabat? Sudi kah kau membaginya kepada kami?” Dengan bijaksana dan hati-hati Salim berusaha menghilangkan beban yang merangkul Ali
            Dengan menarik nafas dan berusaha untuk tegar didepan ketiga sahabatnya Ali berusaha membuka mulut. Tetapi saat ia ingin membuka mulutnya dirinya lagi-lagi tak dapat menahan rasa sedihnya, kedua tangannya menutup wajahnya air mata pun mulai membanjiri wajah dan tangannya. Hanya terdengar isak tangis suara Ali dalam ruangan itu. Rasyid memeluk Ali dengan iba seakan dirinya dapat merasakan hal yang sama, Ali menghamburkan dirinya dalam pelukan Rasyid. Satu dua kali Rasyid menepuk-nepuk punggung Ali. Akhirnya setelah lima menit hanyut dalam kesedihan Ali mulai berusaha untuk membagi kisah sedihnya.
“Ulfa.. Ulfa bidadari solihah yang ditakdirkan Allah untuk ana saat ini sedang berjuang melawan maut, sudah lima hari ia tak sadarkan diri. Hanya lewat bantuan alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya ia berusaha bertahan hidup” Ali terisak. Baru kali ini Ali merasakan rasa sedih yang teramat dalam tentang seorang wanita. Salim memeluknya dengan hangat berusaha memberikan ketegaran untuk Ali.
***
            “Le gimana kabar mu disana?”
            “Alhamdulillah baik Pak”
            “Berapa tahun lagi kamu disana”
            “Insyallah dua tahun lagi”
            “Dua tahun masih lama sekali toh, sedangkan usia mu tahun ini sudah menginjak 26, ada gadis mesir yang menarik hati mu?”
            “Tidak ada Pak, Ali sibuk belajar supaya bisa segera kembali ke tanah air dan mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat” jawabnya santai
            “Mas Ali apa kabar? Kangen ni Aisyah, bapak dan ibu juga. Sudah lima tahun hanya menonton mas lewat skype” Aisyah memonyongkan bibirnya
            “Loh ndo sabar toh bapak mau bicara dulu sama mas mu” ibu menegur sikap Aisyah yang kekanakan. Dengan sedikit malas ia menghindar dari layar laptop. Sekarang wajah bapak yang terlihat memenuhi layar
            “Semakin hari usia bapak dan ibu sudah semakin tua, sedangkan kamu tak kunjung memberi kabar tentang gadis yang kau suka. ibu sudah tak tahan ingin menimang cucu bapak juga sudah rindu mendengar tangisan bayi dirumah ini”
            “Maafkan Ali pak, mungkin Allah belum mentakdirkan seorang wanita untuk mendampingi Ali”
            “Jadi begini le, kemarin Kiyai Abdul Aziz mampir kalau Allah ridhoi beliau berniat menjodohkan putri terakhirnya dengan mu”
            Ali tersentak mendengar perkataan bapak tak sedikitpun memikirkan pernikahan karena menurutnya kepentingan umat saat ini menjadi prioritas utama. Ia baru menyadari keegoisannya tanpa memikirkan apa yang di harapkan kedua orang tuanya
            “Saran bapak coba dipertimbangkan, karena Kiyai Abdul Aziz keturunan yang baik”
            “Insyallah Ali pasti pertimbangkan saran bapak, kalau memang bapak dan ibu setuju Ali ikut saja”
            “Untuk foto dan biodatanya nanti dikirim Aisyah lewat opo namanya bapak lupa”
            “Email Pak” celetuk Aisyah yang duduk di samping bapak
            “Ya Email, Insyallah akan segera dikirimkan Aisyah”
***
            Selepas tahajud dan tilawah Ali memberanikan diri untuk mengecek email. Ternyata Aisyah sudah mengirikan email yang dijanjikan. Tanpa hitungan menit data diri dan foto calon isterinya sudah terlihat jelas dalam layar komputer bututnya, gadis berkerudung hijau toska dihiasi lesung pipit ditambah gigi kelinci menambah kemanisan wajahnya, tertulis nama gadis tersebut adalah Mariya Ulfa usia masih terbilang muda, usia kedunya terpaut tujuh tahun sudikah ia menikah dengannya yang pantas menjadi kakak bukan suami.
            Satu minggu bagi Ali untuk meminta jawaban dari Allah, selama itu pula ia berusaha untuk mengoptimalkan ibadahnya agar Allah memberikan jawaban terbaik untuk dirinya dan tentunya keluarga yang sudah menunggu dengan cemas jawaban dari istikorohnya. Hasil dari istiqorohnya menandakan kalau pernikahan ini akan baik jika dilangsungkan, tanpa membuang waktu dirinya langsung mengabarkan bapaknya tentang jawaban Allah atas doanya, bahkan ibunya sujud syukur dengan kabar baik yang Ali berikan. Ulfa pun setuju saja dengan laki-laki pilihan abahnya karna menurutnya abahnya pasti akan mencarikan suami yang terbaik bagi anaknya. Kalau menurut  Kiyai Abdul Aziz niat baik itu pamali kalau di tunda-tunda. Ali pun tidak ingin menyembunyikan kabar gembira ini dari ketiga sahabatnya dengan senang Ali menceritakan perilah rencana pernikahannya tersebut.
            “Subhanallah mambruk ya bang, senang aku dengarnya”
            “Mambruk ya Li, afwan ni kita ga bisa ikut merayakan”
            “Barakallah semoga ridho Allah menyertai pernikahan kalian”
            “Syukron ya akhi, afwan ana melangkah lebih dahulu”
            “Wah kalau soal jodoh hanya Allah yang tau bang, siapa tahu habis abang ana yang nyusul duluan”
            “Itu si maunya ente Mar, belajar yang giat dahulu sana agar nanti ada ilmu yang bisa kamu banggakan didepan isteri mu. Ente paling muda diatara kita dengarkan pesan abang-abang mu”
***
            Malam ini angkasa bagaikan lukisan alam yang ditorehkan oleh sang kuasa bintang-bintang malu-malu mengintip penghuni bumi, sesekali angin menyentuh kulit pemuda yang sedari tadi menatap keindahan ciptaan Allah dengan kelembutannya, menjadikan suasana semakin nyaman dan menenangkan jiwa. Lagi-lagi Allah menunjukkan kekuasanNya kepada Ali pemuda yang menjuluki dirinya hamba Allah yang fakir dalam ilmu. Tak henti-hentinya memuji Tuhannya atas kasih sayang yang diberikan kepada seluruh umat.
            “Mas ini teh hangatnya” seorang wanita berkulit kuning langsat membuyarkan lamunannya
            “Terima kasih dek” terlihat jelas sekali keduanya masih malu-malu, bahkan enggan untuk saling menatap. “Malam ini bintangnya sangat indah ya” Ali berusaha mencairkan suasana
            “Ya, subhanallah itu hanya sebagian kecil keindahan yang diciptakanNya” wanita tersebut bergeser satu langkah mendekati suaminya. “Bagaimana suasana malam hari ketika di Mesir?”
            “Suasan terindah di Mesir terletak pada malam musim panas, biasanya Mas dan teman-teman meluangkan sedikit waktu untuk sekedar ngobrol bersama di halaman toko minuman ditemani dengan asyir ashob (minuman yang dibuat dari sari tebu)” cerita Ali dengan semangat. Ulfa menganggukan kepalanya tanda ia mengerti dengan apa yang diceritakan
            “Wahh pasti Asik” 
            “Atau kalau punya lebih banyak waktu mengunjungi taman lebih menyenangkan, konsep lingkungannya yang tersusun secara rapi dan teratur, pohon-pohon yang terawat, rumput-rumput yang terlihat menyejukkan akan mengantarkan perasaan kita kembali ketanah air” Ali mengilustrasikan dengan indah pemandangan negeri Firaun membuat siapapun iri  mendengarnya
            “Kalau Allah ridho kita bisa mengunjungi Kairo bersama. Nanti Mas ajak melihat sungai yang selalu dibanggakan orang-orang Mesir” belum sempat Ali memberitahu nama sungai tersebut Ulfa sudah lebih dahulu menjawabnya. “Tidak sampai disana saja letak keindahannya, mengunjungi sungai nil pada malam akan bertambah sempurna dengan menaiki perahu-perahu ditambah iringan lagu-lagu khas Mesir. Cairo Tower dengan ilustrasinya yang begitu mempesona serta kapal-kapal yang tersandar dipinggir kanan kiri sungai yang kini dialih fungsikan sebagai restaurant semakin memperelok pemandangan sungai nil dan tentu pula semakin menjadikan panorama hati” Ali sudah cukup fasih menggambarkan setiap detail negara kebab tersebut. Karna sebagai mahasiswa Al-Azhar membuat mudah dirinya untuk mengunjungi semua tempat yang ada di Mesir, bahkan akan ada diskon khusus bagi para mahasiswa.
            “Subhanallah seindah itukah Mesir” Mata Ulfa berbinar-binar mengagumi cerita Ali. “Sebenarnya Ulfa mau sekali meneruskan pendidikan disana, tapi abah ga sependapat. Katanya terlalu jauh, padahal banyak sekali muslimah Indonesia yang bisa bertahan hidup disana”
            “Tenang dinda suatu saat kita akan berlabuh mengelilingi Mesir” wajah Ulfa tersipu menanggapi panggilan sayang suaminya. Ali yang baru menyadarinya tak kuasa memandang mata isterinya wajahnya memerah malu. Namun lambat laun keduanya sudah terlihat akrab bercerita satu sama lain. Tanpa canggung Ali menceritakan pengalaman menariknya selama di Mesir membuat Ulfa semakin terpukau mendengarnya. Satu dua kali mereka tertawa bersamaan entah hal lucu apa yang menjadi topik, yang jelas awal pernikahan mereka sungguh indah bagi keduanya.
***
            Hanya dua minggu waktu yang dapat Ali habiskan di tanah air ia harus segera kembali ke kota pyramid karena hari ujian akan segera tiba lembaran soal sudah bertengger dengan manis menunggu kedatangannya meminta tuannya untuk segera mengisi dirinya, hal tersebut memaksanya untuk berpisah sejenak dengan isteri yang amat ia cintai walaupun berat namun sudah harga mati yang tak dapat ditawar. Ulfa memeluk Ali dengan sekuat tenaga seperti enggan untuk melepas kepergiannya begitupula dengan Ali, satu-demi satu buliran air mata membasahi kemeja Ali, keduanya tak memperdulikan orang-orang yang melintas disekelilinya suasana bandara yang cukup padat tak mengusik keduanya melepas sayang.         
“Jangan menangis, Mas akan berusaha untuk mempercepat waktu kelulusan” sambil mengusap kedua mata bidadarinya. Ulfa hanya menanggapinya dengan senyuman, lagi-lagi ia memamerkan lesung pipit dan gigi kelincinya satu hal yang akan membuat Ali rindu dengan bidadarinya.
            “Ayo ndok kesian mas mu, nanti tidak kerasan disana” ibu memaksa Ulfa agar tidak sedih didepan Ali.
            “Baik-baik ya nak disana, tugas utama mu hanya belajar Insyallah Ulfa aman bersama kami” Kiyai Abdul Aziz menenangkan Ali.
            “Insyallah” Jawabnya singkat, ia berjalan menyalami satu pertasatu sanak saudara yang mengantarkan kepergianya. Saat tiba didepan isterinya Ali tak kuasa menahan isak tangisnya, dengan lembut ia mencium kening isteri yang baru dimilikinya selama dua minggu. Ia baru menyadari sedahsyat inikah rasa yang harus mereka tanggung kalau saja Kiyai Abdul Aziz mengizinkan ia membawa Ulfa tentunya skenario perpisahan pada hari ini pasti tidak akan seperti ini jadinya, namun apa boleh buat Kiyai Abdul Aziz takut dengan sikap Ulfa yang manja akan mempersulit Ali disana dan murni Ali hanya seorang mahasiswa kebutuhan akan bertambah dua kali lipat jika ia memboyong Ulfa.
            Kini hal tersebut meninggalkan tanda tanya besar yang bersemayam dalam otak mereka, kapankan keduanya akan saling bertemu lagi satu tahun, satu bulan, satu minggu atau kah esok hari pertanyaan ambigu yang tak jelas jawabannya. Semoga dengan ini Allah akan menambahkan bubuk-bubuk cinta yang teramat dahsyat untuk keduanya dan semoga takdir terbaik sudah terukir dengan manis untuk masa depan keduanya.
***
Dimalam penuh bintang diatas sajadah yang terbentang Ali menangis seorang diri, seduh sedan mengadu pada yang maha kuasa untuk kesembuhan bidadari yang amat ia cintai, walau baru sebentar kebersamaan yang terlewati, namun Ulfa memiliki hal yang berbeda membuat Ali kagum dengan muslimah manis nan solihah yang diciptakan oleh Allah untuk menjadi miliknya. Ulfa memiliki paras yang cantik, ketika bernyanyi merdu suaranya, saat membaca Al-Qur’an mampu membaca dengan baik, kalau tak uzur selalu bangun untuk melaksanakan sholat tahajud, maksurat menjadi amalan yang tak pernah terlupakan. Walaupun usianya masih teramat muda Ulfa isteri yang terbaik, anak terbaik, menantu terbaik, adik terbaik dan Ali yakin sahabat terbaik juga.
            Hari-hari indah yang sempat terlewati membuat Ali semakin sesak mengingatnya, setiap hari Ulfa mengucapkan kata sayang dan rindu karena zaman sekarang segala hal akan menjadi mudah walaupun jarak dan waktu terbentang jauh. Dihari pertama setelah pernikahan Ulfa sibuk didalam dapur ternyata ia sedang membuat sarapan pagi untuk Ali lama sekali padahal hanya seporsi nasi goreng plus terlur mata sapi yang dibuat, setelah selesai ia menatanya dengan manis diatas meja makan. Ali menyeringai mengingat tingkah Ulfa ternyata selain pintar mengaji Ulfa juga bisa masak satu hal yang jarang sekali dimiliki oleh wanita zaman sekarang.
            Selain itu ia selalu berhati-hati saat berucap kepada semua orang yang dijumpai, terutama dengan kedua orang tuanya, terlihat dari kepatuhannya ketika dirinya diminta untuk menikah dengan lelaki yang usianya terpaut jauh, tidak ada ketakutan dengan status Ali yang belum rampung menyelesaikan study pasti tidak akan selalu bersamanya dengan ikhlas ia mengesampingkan egonya. Disaat anak-anak muda disibukan dengan gemerlapnya dunia lain halnya dengan Ulfa ia lebih suka menyibukkan diri dengan mengulang-ulang hafalan qur’annya dan membantu mengajar di pondok pesantren milik abahnya, ia pun tak marah saat orang tuanya tak mengizinkan ia belajar di Mesir padahal surat bea siswa sudah dikantonginya, mungkin saja dengan sedikit merajuk abahnya akan luluh namun hal tersebut tak ia jadikan senjata untuk memerangi perintah abah.
            Malam semakin beranjak pergi saat ini jarum jam sudah bertengger pada angka 4 Ali meraih komputer bututnya berusaha untuk mencari informasi perkembangan isterinya di tanah air siapa tau Aisya mengirimkan informasi terbaru. Dengan harap-harap cemas ia membuka kotak masuk “Alhamdulillah” Aisya masih ingat dengan janjinya. Dengan membaca basmallah dan memantabkan hati ia membukanya.
            “Assalamualaikum
Mas semoga sehat selalu dan dalam lindungan Allah, sudah hari keenam Ulfa tak menunjukkan perubahan. Kata dokter hanya keajaiban yang mampu membuatnya kembali siuman kami disini tidak henti-hentinya mendoakannya bahkan semua santri dimintai tolong untuk ikut mendoakannya.
Kecelakaan motor yang dialami Ulfa membuat pendarahan hebat dikepalanya tangan kanan serta kakinya patah saat ini Ulfa hanya mampu bertahan dengan kabel-kebel yang di tanam di sebagian tubuhnya. Alhamdulillah kemarin Ulfa sempat merespon saat mendengar nama mas. Tolong minta doa orang-orang soleh disana siapa tau salah satu dari doa mereka akan diijabah oleh Allah. Sudah dulu ya mas Insyallah Aisya akan memberikan kabar tentang Ulfa terus. Jaga diri mas dan tetap menjaga kesehatan. Ada salam dari Bapak, Ibu dan Kiyai Abdul Aziz.
Wassalamualaikum
Ali mengusap kedua matanya bagaimana pun ia harus pasrah dengan keputusan yang akan Allah berikan sebab segala hal didunia ini hanya milikNya dan semua akan kembali padanya, jika Allah berkehendak untuk mengambilnya kembali dariNya ia ridho, karena sebagai hamba senjatanya hanyalah doa.
***
            Bulan Desember hawa dingin menjadi teman sejadi penduduknya meski tak sampai turun salju membuat mereka yang keluar rumah harus besembunyi dibalik jaket tebal, karena kalau sampai menantang sama saja menjemput maut. Kebiasaan orang Mesir ketika memasuki musim dingin mereka memilih menghabiskan waktu dalam flat, lain halnya dengan Ali bagianya berkorban untuk sesuatu yang diinginkan itu lebih baik ketimbang hanya termenung didalam ruang kosong akan membuatnya semakin gila. Salim, Rasyid dan Umar saling melempar pandang melihat Ali sudah siap dengan jaket tebalnya untuk keluar flat “Mau kemana Li?” “Masjid Al Azhar” ketiganya kompak menghembuskan nafas untung Ali masih menggunakan akal sehatnya semenjak mereka mengetahui masalah yang sedang menimpa Ali  mereka selalu memperhatikan gerak-gerik pemuda Indonesia itu.
            “Pulang jam berapa bang?”
            “Insyallah ba’da ashar”
            “Malam ini bang Rasyid mau masak kusyari, jangan sampai telat bang” kusyari adalah nasi khas mesir yang dicampur dengan mie dan kacang-kacangan serta disiram dengan saus tomat khas. Ali hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Umar. Dengan langkah mantap Ali berjalan keluar flat. Hembusan angin dingin langsung menyapanya tetapi Ali terus melangkahkan kakinya, jalanan sangat sepi hanya satu dua orang yang melintas karna pada musim dingin seperti ini biasanya orang-orang Mesir hanya berdiam diri di rumah dengan menyalahkan penghangat ruangan. Karna jalan sepi seperti ini dan nafsu lelaki yang kurang iman membuat perempuan yang berada di luar rumah menjadi tidak aman. Saat Ali melintasi kawasan yang sangat sepi tiba-tiba ia mendengar jeritan seseorang yang meminta tolong. Ali langsung bergegas mencari sumber suara.
            “Ittaqillah” seorang perempuan berteriak dengan kencang. Sebenarnya ia bukan perempuan biasa sabuk hitam sudah dikantonginya semenjak ia mondok tetapi semua jurus yang dipelajarinya seakan-akan sirna tak tersisa saat dirinya di hadapkan pada lawan yang ada di depannya. Sumpah serapah sudah di lontarkannya namun laki-laki yang memiliki postur tubuh dua kali lebih besar dari dirinya masih terus mencengkeramnya. Perempuan itu sudah seperti mangsa yang dikit  lagi tumbang. Namun dengan kata yang ia lontarkan laki-laki tersebut langsung mengendorkan cengkaramannya.
            “Astagfirullah afwan ukhit afwan” ia langsung berlari meninggalkan perempuan itu.
            Di saat yang bersamaan laki-laki tersebut bertemu dengan Ali, kalau saja Ali tidak menghindar mereka akan bertubrukkan dan jatuh ke tanah. Ali kebingungan dengan laki-laki yang sedang lari ketakutan. Ia mendapati seorang perempuan sedang tersungkur dan menangis.
            “Astagfirullah Rumi kenapa anti?” Ali bertanya dengan panik. Ternyata itu Rumi teman mahasiswa Indonesia yang sama-sama belajar di Mesir.
            “Ada seorang laki-laki yang mau memperkosa ana” ia mengusap air matanya, tubuhnya bergetar karna takut. Kakinya masih lemas dan tak sanggup untuk menopang tubuhnya.
            “Apa laki-laki yang berlari tadi?”
            “Ya” jawabnya bergetar
            “Kenapa anti keluar? semua mahasiswa sudah hafal betul tabiat laki-laki Mesir pada musim dingin”
            “Ana sedang ingin berkunjung ke rumah teman, dan bodohnya karna semua gang terlihat sama jadi membuat ana bingung” jelasnya. Saat ini Rumi sudah terlihat lebih baik dan ia langsung berdiri dan menyeimbangkan tubuhnya.
            “Yasudah supaya aman ana akan mengikuti anti dari belakang”
***
Kurang lebih satu jam waktu yang ditempuh dari flat menuju masjid Al Azhar dengan menggunakan metro. Sesampainya di masjid Ali bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat dhuha. Dirinya khidmat dalam lantunan ayat suci Al-Qur’an
“Assalamualaikum” sebuah salam menghancurkan kekhusyuannya
“Waalaikumusslam” Ali menoleh dan meraih tangan seseorang dihadapannya
“Hai anak muda ku perhatikan kau seperti seseorang yang sedang memikul beban berat dipundak mu”
Ali menatap keheranan dengan tebakan lelaki dihadapanya tepat sekali menggambarkan kondisinya saat itu, wajah lelaki tersebut di penuhi janggut yang sudah berubah menjadi putih. Ia memakai gamis putih dan imama pakaian kehormatan di negeri itu. Ini kali pertamanya Ali melihat wajah lelaki paruh baya tersebut ia hafal betul orang-orang tua yang sering berkunjung ke masjid ini karna masjid Al Azhar sudah seperti rumah kedua Ali, aura ke solehan terpancar dari wajahnya dan tubuhnya pun mengeluarkan aroma yang sangat wangi.
“Jika ada yang mengganggu fikiranmu ceritakanlah, karena tidak ada masalah yang tak dapat diselesaikan” Dengan lugas ia bersedia menanggung kesedihan Ali.
Perasaan itu menguap, memorinya kembali terisap pada pesan elektronik adiknya. Tanpa fikir panjang Ali menceritakan beban pada seseorang yang baru saja dikenalnya, namun kali ini ia sudah terlihat lebih tenang saat bercerita. Mungkin karena atmosfer yang dibawa lelaki tersebut mampu merubah suasana.
“Subhanallah, pasti ada pesan menarik yang ingin Allah sampaikan untuk mu nak” pria paruh baya itu menepuk pundak Ali “Sudah kah kau ikhlas dengan takdir ini?”
Ali menghembuskan nafas “sebenarnya masih berat bagi saya menerima semua ini, belum genap tiga bulan kami membina rumah tangga. Banyak harapan yang saya impikan dengan hidup bersamanya”
“Nak, bukankah semua ini milik Allah, begitupula dengan isteri mu. Bisakah kita mengatur kehendakNya tanpa terkeculia Rasulullah satu-satunya manusia yang dijuluki kekasihNya. Kadang kita berfikir takdir yang menjadi garis hidup terlalu berat untuk dilalui. Dan akhirnya kita mengambil kesimpulan kita adalah satu-satunya makhluk yang memiliki beban terberat di alam ini. Bukankah kau sudah mengetahui Allah tidak akan menguji hambaNya kalau ia tidak mampu dengan ujian tersebut, karena Allah tahu kau pasti mampu melewati takdir ini. Berbahagialah dengan takdir yang sudah Allah tetapkan” Nasihat lelaki tersebut sambil menepuk bahu kanan Ali.
“Saya tidak yakin dapat memiliki isteri solihah seperti ia kembali?” Tampak sedikit keraguan dari wajahnya
“Tenanglah para Rasul, Nabi dan orang-orang soleh selalu diberikan cobaan oleh Allah, kamu tak sendiri nak. Ada Allah, keluarga dan sahabat mu yang siap berbagi duka. Fikirkan apa yang Allah minta dari mu saat ini”.
“Sulit bagi saya untuk mencerna maksud Allah dari semua ini” Ali mulai terlihat putus asa .
“Maka dari itu, jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setiap keadaan pasti berubah. Dan sebaik-baik ibadah adalah menanti kemudahan dengan sabar, betapapun hari demi hari akan terus berguli, malam demi malam pun datang silih berganti. Meski demikian yang gaib pun akan tersenyum dan sang Maha Bijaksana tetap pada keadaan dan segala sifat-Nya. Dan Allah mungkin akan menciptakan sesuatu yang baru setelah itu semua. Tetapi sesungguhnya setelah kesulitan itu tetap akan muncul kemudah” Sungguh luar biasa pemaparan lelaki tersebut seakan-akan ia ikut merasakan kesedihan Ali.
“Apa menurut ustad dengan ikhlas dan sabar kunci dalam menyelesaikan kesedihan saya ini?” Ali bertanya dengan antusias.
“Ya ikhlas dan sabarlah, terimalah ini sebagai hadiah terbaik yang Allah berikan kepadamu, bidadari mu akan menunggu ditempat keabadian. Bukankah kau mau menjadikannya sebagai bidadari dalam surga Allah?”.
“Apakah dengan ikhlas dan bersabar semua akan baik-baik saja?”
“Akan ada ganjaran terbaik yang Allah berikan untuk orang-orang ikhlas. Terdengar mudah tetapi berat sekali untuk dijalankan, ikhlas kan lah semua akan berjalan sesuai dengan kehendak Allah. Janganlah sedih karena Allah selalu bersama kita” lelaki paruh baya itu pamit pergi.
“Afwan siapakah nama ustad?”
Lelaki tersebut tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Ali dan berjalan menjauhinya.
***
            “Dinda…. Mariya Ulfa…” Ali berteriak kencang berusaha memanggil Ulfa namun yang dipanggilnya acuh meninggalkannya “Tega kah kau, berlaku seperti ini kepada suami mu. Bukankah dirimu berikrarkan untuk setia menunggu ku” Ali tersunggur tak berdaya.
            Perlahan cahaya putih menghampiri dirinya, kedua tangan meraih wajah teduh Ali menyeka air mata dan memeluknya.
            “Maaf jika membuat mu seperti ini, janji yang sempat terucap tak mampu dinda tepati dengan indah. Maafkan Ulfa mas Ali. Terima kasih mas sudah memberikan kenangan termanis walaupun singkat tetapi hari-hari yang sempat kita lewatkan bersama adalah hari termanis yang pernah Ulfa rasakan seumur hidup”.
            “Bisakah kita terus seperti itu”.
            “Tidak bisa”.
            “Dinda mengapa kau berkata seperti itu, mas akan korbankan segalanya untuk mu, mas janji akan memberikan yang terbaik bagimu sehingga dinda akan menjadi isteri paling beruntung”
            “Bukankan hanya Allah saja yang patut kita cintai sepenuh hati” 
            “Allah mentakdirkan mu untuk menemani kehidupan ku, mengapa dinda berkata seperti itu”
            “Ya betul Allah yang mentakdirkan ini semua. Siapa kah yang mampu berkehendak selain Allah. Manusia hanya mampu berencana tetapi semua kembali kepada Allah. Bisakah mas mengikhlaskan ini semua” Ulfa mencium kening Ali.
            “Tolong tetaplah hidup bersama ku” ia mengenggam dengan keras kedua tangan Ulfa
            “Ulfa tetap akan menunggu mas, tetapi bukan di dunia. Nanti disaat hari keabadian semoga Allah akan mentakdirkan kita untuk berjumpa. Mintalah kepada Allah untuk mempersatukan kita kembali” Ulfa memberikan senyuman terindahnya dan melepas genggaman Ali.
            “Dinda tolong jangan pergi, kembali lah.. kembali”
            Suara teriakan dan ketukan pintu mengembalikan kesadaran Ali.
            “Li bangun”
            “Bang kenapa”
            “Li kamu kenapa, bisakah buka pintu kami hanya ingin memastikan dirimu”
            Ali hanya diam tak merespon panggilan teman-teman yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. Dalam malam yang dingin ini Ali mengigau memanggil-manggil nama Ulfa, sonta membuat ketiga temannya terperanjat menghampiri kamarnya.
“Ya teman-teman ana tidak apa-apa”.
            “Benar abang tidak apa-apa”  .
            “Insyallah”.
            Ali mengusap keningnya yang dipenuhi keringat bahkan seluruh tubuhnya lepek seperti baru disiram air. Hanya mimpi Ali menyadari pertemuan dengan Ulfa hanya didalam mimpi ia berusaha untuk mengingat kembali perkataan yang diucapkan Ulfa dalam mimpinya, paling tidak perkataan itu bisa dijadikan sebagai pesan yang belum sempat terucapkan.
            “Ya Rabb apakah dengan ikhlas aku bisa bertemu kembali dengan Ulfa? maafkan hamba yang sempat larut dalam kesedihan”.
            Ali menghawatirkan kesedihan yang menimpa dirinya murka dengan kehendak Allah, mungkinkah dirinya terlena karena mimpi dunia menggoda jiwanya. Malam itu juga ia memohon ampun kepada Allah untuk menghapuskan lelah dan air matanya dan memohon mencukupkan duka yang menemani beberapa hari belakangan ini. semoga Allah akan menghadirkan cahaya dan menerangi jiwanya kembali.
            Tiga hari kemudian Ali mendapatkan kabar Mariya Ulfa anfal dan menghembuskan nafas terakhirnya. Walaupun kabar tersebut terdengar pahit namun ia sudah cukup tegar menghadapinya.
 Bidadariku mengapa kau pergi?
Tuhanku puaskan aku dengan aturanMu bukan aturanku
dengan pilihanMu bukan pilihanku
dan tempatkan Mariya Ulfa di tempat terbaik menurutMu
***
Tangerang, 11 Juli 2017
Indahnya Melukis Hari
#30DaysWritingchallenge #30DWC #Day6 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Melukis Hari dengan Kata Template by Ipietoon Cute Blog Design