Minggu, 08 Oktober 2017

Dikejar-Kejar Surga


Bel sekolah berbunyi tiga kali. Tanda kegiatan belajar mengajar dihentikan. Seperti gerombolan semut yang keluar dalam sarang, penghuni SMA pertiwi keluar memadati jalan. Suara klakson tidak henti-hentinya dibunyikan. Angkutan umum nangkring dengan manis. Seperti kereta kuda yang sedang menunggu Cinderella menuju kastil pangeran tampan. Tapi  kali ini bukan kendaraan romantis yang menghiasi gang depan sekolahku melainkan angkot butut yang sedang mencari penumpang.

            Belum lagi udara siang yang membuat anak-anak mengkibas-kibaskan tangan mereka. Untuk sekedar mengusir kepanasan dari si bola api raksasa. Dengan wajah kusam, baju aut-autan, rambut yang sudah basah keringat sambil menggendong ransel yang beratnya melibihi monas aku melangkahkan kaki memasuki angkot. Naasnya walaupun sudah padat supir angkot tetap tidak mau tancap gas dengan alasan masih ada satu kursi kosong yang belum terisi. Penumpang yang semuanya anak sekolah sudah berkali-kali menggerutu, sudah hampir sepuluh menit kami berdiam diri dalam kaleng raksasa dengan mandi keringat tentunya.

Penumpang yang duduk di depan ku sedang asik membicarakan Bimo ketua OSIS yang wajahnya mirip Varel Bramasta. Orang yang ada di sebelah kirinya sedang menikmati sedotan terakhir es jeruk yang sedari tadi diminumnya.  Aku hanya duduk diam sambil sesekali menongolkan kepala keluar jendela demi mencari sehirup oksigen yang Tuhan ciptakan. Seorang laki-laki dengan bet dan seragam yang sama memasuki angkot yang aku naiki. Wajah yang selama ini sangat aku kenal. Kedua bola mata yang belo, alis tebal, hidung runcing dan tentunya bibir tipis yang selalu menghiasi senyumnya. Porsi wajah yang pas, kalau diibaratkan seperti masakan tentu ia termasuk masakan lezat. Ternyata wajah charming seperti magnet bagi para anak perempuan untuk berbondong-bondong masuk rohis.

Mas Oby ketua rohis di sekolahku. Yang ketika berjalan selalu menundukkan pandangan, “Assalamualaikum” kalimat yang sering sekali diucapkan, prestasi yang berkali-kali diraih dan masih banyak lagi nilai positif dirinya yang malas aku bahas.

“Bang udah penuh jalan dong.”

“Iye sabar Neng, baru juga gw mau naik.”

Angkot membelah jalan. Seketika suasana menjadi sepi hanya derungan mesin yang terdengar menghiasi telinga. Kenapa semua diam? Ada apa ini, kok tiba-tiba sepi sekali. setelah Mas Oby masuk, ah memang aku pikirin.
***
            Rasanya enak sekali setelah keluar dari angkot, seperti hidup kembali dengan bebas menghirup oksigen. Tapi keringat masih mendominasi bahkan aku bisa merasakan butiran air yang berjalan di atas pungungku. Sudah tak terhitung aku menyeka keringat di kening tapi produksi keringat dalam tubuh tidak ada habis-habisnya. Seketika aku membuka jilbab yang dari pagi mengurung rambutku.  Rasanya nikmat sekali saat angin menyapa kulit kepala dan leher. Sambil terus mengibas-ngibaskan jilbab aku menyusuri jalanan komplek rumah. Seorang laki-laki yang tadi satu angkot denganku berjalan dengan gagah di depanku, kami hanya terpisah jarak lima langkah saja. Persis di depan pagar rumah bewarna putih ia melangkahkan kaki dan memasukinya. Saat ia mengunci kembali pagar rumahnya kedua mata kami bertemu pandang. Saat itu juga ia mendadak kaget mata belonya menjadi tambah besar, bibir tipisnya menganga lebar. Lalu dengan sinis ia melempar pandangan.

            “Pleas deh emang aku sampah apa. Biasa saja kali.” Aku menggerutu pelan sambil terus berjalan. Rumah aku dan Mas Oby hanya berjarak tiga rumah.

            “Assalamualaikum.”

            “Waalaikumssaam. Itu jilbab kenapa dilepas Neng?” Mamah menatapku dengan heran

            “Abis panas, gerah tau Mah. Nih lihat rambut Nia basah seperti orang habis keramas.” Sambil memegang sebagian rambutku lalu menunjukkan ke Mamah.

            “Ia tapi lepasnya di rumah saja, malu atuh auratnya kelihatan.” Mamah masih terus membombardirku. Panjang deh urusannya.

            “Iiih emang siapa yang mau lihat. Orang sepi kok.” Setelah melepas sepatu aku duduk di samping mamah.

            “Iya, tapi kan ada malaikat yang ngeliatin kamu. Enggak malu sama malaikat?”

            “Mulai deh, emang aku anak umur  lima tahun apa? Pleas deh Mah aku paham kok harus bagaimana. Mamah malu ya anak Bu Hajah tapi enggak pakai jilbab?”

            “Nah itu salah satunya. Malu anak Bu Hajah masa pamer aurat. Ibu dan kedua kakaknya berjilbab, masa anak bungsunya enggak.”

            “Mah jilbab tuh panggilan hati, bukan panggilan tetangga.”

            “Kenapa nih kok tengah hari bolong pada ribut?” Ka Inez dengan jilbab panjang berwarna hijau melangkah masuk lalu meraih tangan Mamah dan menciumnya.

            “Inih Adik kamu, masa buka jilbab di luar rumah.” 

            “Ohhh kenapa dibuka jilbabnya Dek?”

            “Coba Ka Inez rasakan sendiri, di balik jilbab panjang apa yang dirasakan?”

            “Gerah maksud kamu?” Sambil menatap kedua mataku.

            “Iya.” Kini aku mulai kesal, sambil memajukan kedua bibirku.

            “Kamu tahu enggak kenapa bumi semakin panas?”

            “Iya aku tahu, karena ozon yang ada di bumi sudah semakin menipis.”

            “Pinter Adik ku ini.” Sambil mencubit pipi tembem ku Ka Inez menggeser duduknya.

            “Terus?” Aku mulai meninggika suaraku.

Ozon sudah tipis, saat ini kondisi darurat untuk menutup aurat. Nanti bisa kena kanker kulit loh.”

Sambil terus mengusap-usap pipiku yang masih sakit, aku enggan menanggapi Ka Inez.
***
Biasanya selepas bel berbunyi aku langsung hengkang meninggalkan sekolah. Hari ini ada pertemuan rohis terpaksa aku mampir dahulu ke musholla. Sebenarnya bisa saja nekat kabur terus naik angkot dan pulang. Tetapi karena setiap anak baru wajib mengikuti satu ekstrakulikuler  kalau tidak mau ikut nilai ancamannya. Karena alasan itu aku mengiyakan ajakan Umi teman dekat sedari Sekolah Dasar untuk mengambil eskul yang sama.

Ternyata musholla sudah dipadati para anggota rohis baru walaupun tidak semuanya berjilbab, karena rohis terbuka untuk semua siswa-siswi yang beragam islam. Kami bergegas masuk dan langsung berbaur dengan teman-teman. Oh ya masuknya aku ke rohis karena kejeblos juga. Umi masuk maka aku mengikutinya, ditambah lagi peran kedua kakak ku Inez dan Sally. Keduanya aktifis rohis walaupun sudah sama-sama lulus namun satu minggu sekali Ka Inez dan Sally masih menyempatkan waktunya untuk mengisi pengajian di sekolah. Nah peran kedua kakak ku yang akhirnya menyeretku untuk masuk rohis. Ooh Tuhan mengapa dalam hidupku saja aku tidak dapat menentukan arah? Selalu ada campur tangan pihak kedua yang mengatur skenario hidupku.

Kalian harus tahu sudah tiga tahun ini diriku terpenjara dengan hijab. Padahal banyak sekali baju-baju cute dan unik di mall. Belum lagi itu loh pakaian para K-Pop yang keren abis, semakin menambah kecantikan mereka. Gimana aku mau punya pacar, kalau sampai saat ini saja aku terus-terusan memakai jilbab. Kesal. Hampir seluruh baju yang memadati lemariku isinya pakaian muslimah dan kerudung warna-warni.

***
            Kini aku resmi menjadi anggota rohis SMA Pertiwi, yang kalau nongkrong di musholla. Menghabiskan jam istirahat dengan sholat dhuha lalu diskusi sesama anak rohis. Sepanjang diskusi aku hanya menjadi pendengar pasif, tidak perduli dengan apa yang mereka bicarakan. Pikiranku berkelana membayangkan oppa Song Joong Ki yang gantengnya melebihi semua aktor Indonesia. Wajah mulusnya yang ingin sekaliku pegang, lalu menghayal mendapatkan hadiah bisa bertemu dan menghabiskan waktu bersama.

            Terkadang diskusi kami malah menjadi ajang curhat untuk sebagin teman. Seperti saat ini, satu persatu mereka mengeluhkan tentang sulitnya mendapat dukungan keluarga untuk berhijab.

“Kalau aku butuh perjuangan banget buat pakai jilbab, mamah marah besar. Katanya nanti sulit cari kerjanya”

“Huffttt ibu malah mengurangi uang jajan, katanya takut kalau uang yang dia berikan buat beli jilbab”.

“Teman-teman yang lebih parah lagi saya, kemarin pas pulang sekolah jilbab besar yang saya beli dua hari lalu sama bunda disobek-sobek.”

“Alhamdulillah keluarga ane mendukung, tapi sayangnya ini satu-satunya jilbab yang ane punya. Maklumlah bapak ane hanya seorang satpam. Kalau mau beli sesuatu harus menyisihkan uang jajan yang hanya pas-pasan ini.”

Inannalillahi rata-rata dari semua teman rohis memiliki kendala untuk dapat memakai hijab, bagaimana denganku yang setiap hari dukung demi dukungan selalu ku dapat. Belum lagi semangatnya mamah yang setiap pulang pengajian selalu membawa baju atau jilbab baru untukku. Tetapi dengan ketidak bersyukuranku ini membuatku seperti orang sombong yang bangga memamerkan auratnya.

Penglihatanku kabur, satu persatu kutatap sahabat terbaikku dengan nanar. Apa ini hidayah yang Allah berikan? Inikah rasanya hidayah? Seperti dikupul dengan palu godam. Sedih karena selama ini selalu melawan Mamah dan kedua kakakku ketika menyinggung masalah jilbab. Ingin rasanya aku berlari pulang lalu memeluk tubuh Mamah sambil membisikkan ucapan terima kasih atas dukungannya. Bersimbuh dikakinya, lalu menghujaninya dengan ciuman.

Sekelibat potongan demi potongan nasehat Mamah bermunculan dalam pikiranku.
“Jangan sedih kalau dibilang kuper, yang penting kamu berjilbab.”

“Kata siapa seperti orang-orangan sawah. Kecantikan wanita adalah saat diri mereka dapat menjaga auratnya.”

“Mamah enggak masalah kamu dijauhi teman, yang penting kamu didekati malaikat.”

“Engga masalah kamu dipanggil anak terkuper di sekolah. Karena kamu penentu Mamah dan Papah masuk surga.”

 Tangisku pun pecah, terisak-isak di depan sahabat-sahabaku. Mereka yang sedari tadi asik membagi kesedihan langsung menatap ke arahku dengan heran. Umi yang duduk di samping kananku bertanya sambil mengusap-usapkan tangan kepunggungku. Teman-temanpun menanyakan hal yang sama, aku semakin tidak bisa menghentikan tangisan ini. Air mata sudah menganak sungai membentuk jalannya di atas pipi. 
***
            Setelah kejadian itu aku semakin mantab untuk mengenakan hijab. Sekarang jilbabku sudah semakin rapih menutupi dada. Tidak akan ada lagi kejadian melepas jilbab di gang rumah. Ka Sally pernah bilang “Sehelai rambut wanita yang dilihat oleh laki-laki bukan mahramnya dengan sengaja. Balasannya tujuh puluh ribu tahun dalam neraka. Sehari di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia.” Diriku bergidik membayangkannya. Dulu kalimat tersebut tak berefek untukku tapi kini seperti magic yang mampu menyihirku.

            Mamah dan kedua kakakku senang sekali melihat perubahannku. Terkadang pulang dari mengajar keduanya membawakanku jilbab, gamis atau sekedar bros cantik. Ini termasuk rezeki dari Allah yang diharapkan semua muslimah. Tidak lupa aku berbagi dengan teman-teman yang kesulitan membeli kerudung, baju, rok atau gamis. Akan ada senyum seindah pelangi yang terukir di wajah mereka.

            Sabtu pagi di sekolah adalah waktu khusus untuk ekskul, hampir semua ruang dan lapangan dipakai. Pagi ini aku semangat sekali untuk bertemu dengan sahabat-sahabat rohis, dan yang paling menggembirakan adalah bertemu dan diskusi bareng dengan Ka Dewi ketua keputrian sekaligus mentor.

            “Kemerosotan mental seorang muslimah adalah saat dirinya dengan pongah berjalan di atas perut bumi sambil mempertontonkan aurat mereka. Memberikan hidangan kepada mata-mata haram untuk menikmati aurat kita.”

Dengan sorotan matanya yang tajam ka Dewi melihat satu persatu lawan bicaranya, kalau sudah sepert ini kami siap duduk berjam-jam mendengarkan apa yang disampaikannya. 

“Perintah hijab bukan baru datang di zaman kita, ribuan tahun lalu pakaian takwa sudah menjadi perintah khusus para isteri nabi untuk menggunakannya. Sebab dengan menggunakan hijab sebagai tameng bagi muslimah agar tidak diganggung dan menjadi terhormat setiap saat. 

Lanjutnya dengan tetap semangat membara.

“Itu bukan perkataan ane. Dalam  Al-Qur’an surat Al-Ahzam  ayat 59, tercetak jelas perintah tersebut.”

“Silahkan ada yang mau bertanya sebelum ane lanjut.” Ka Dewi mengedarkan pandangannya.

“Ka kira-kira ada tidak wanita muslimah yang tetap berhijab namun dia tetap berprestasi?”

“Subhanallah pertanyaan yang bagus.”

Dona tersenyum riang mendengar pujian yang dialamatkan padanya.

“Khadijah binti Khuwaylid, Nusaybah binti Ka’ab, Khawla binti Al-Azwar, Aisyah binti Abu Bakar, Zainab binti Ali, Rabi’ah Al-Adawiyah, Lubna of Cordoba, Al-Maliki Al-Hurra Arwa Al Sulayhi binti Ahmad, Shajar Al-Durr dan Zainab binti Ahmad.”

Ka Dewi menyebutkan satu-persatu nama-nama yang ia ketahui. Membuat kami semua senang mendengarnya.

“Itu baru sebagian, kalian bisa menjadi salah satu di antaranya. Ane tunggu sepuluh tahun kemudian nama kalian yang akan ramai di Indonesia, tentunya karena prestasi.”

Seketika ruangan menjadi ramai. Kami sibuk berbisik dengan teman sebelah.

“Berjilbab bukan penghalang kalangkah kita. Malah kebalikannya dengan berjilbab maka prestasi akan selalu mendatangi kita.”

Kalimat inspiratif sebagai penutup diskusi pagi yang sudah beranjak siang. Karena hidayah bukan di tunggu tapi diraih. Surganya Allah mampu menampung semua makhluk yang diciptakannya, kini saatnya kita bersaing dalam mengejar surga Allah. Manfaatkan waktu terbaik dan fasilitas ternikmat yang Allah berikan di negeri ini. Aku berdoa kepada Allah agar Ia selalu menguatkanku dalam menjaga hidayah yang sudah diberikanNya.

Tangerang, 8 Oktober 2017
Indahnya Melukis Hari

           




3 komentar:

  1. KINI DEWALOTTO MENYEDIAKAN DEPOSIT VIA PULSA TELKOMSEL / XL
    UNTUK KEMUDAHAN TRANSAKSI , ONLINE 24 JAM BOSKU ^-^
    WWW.DEWA-LOTTO.NAME
    WA : +855 88 876 5575

    BalasHapus

 

Melukis Hari dengan Kata Template by Ipietoon Cute Blog Design