Bel
sekolah berbunyi tiga kali. Tanda kegiatan belajar mengajar dihentikan. Seperti
gerombolan semut yang keluar dalam sarang, penghuni SMA pertiwi keluar memadati
jalan. Suara klakson tidak henti-hentinya dibunyikan. Angkutan umum nangkring
dengan manis. Seperti kereta kuda yang sedang menunggu Cinderella menuju kastil
pangeran tampan. Tapi kali ini bukan
kendaraan romantis yang menghiasi gang depan sekolahku melainkan angkot butut
yang sedang mencari penumpang.
Belum lagi udara siang yang membuat
anak-anak mengkibas-kibaskan tangan mereka. Untuk sekedar mengusir kepanasan
dari si bola api raksasa. Dengan wajah kusam, baju aut-autan, rambut yang sudah
basah keringat sambil menggendong ransel yang beratnya melibihi monas aku melangkahkan
kaki memasuki angkot. Naasnya walaupun sudah padat supir angkot tetap tidak mau
tancap gas dengan alasan masih ada satu kursi kosong yang belum terisi.
Penumpang yang semuanya anak sekolah sudah berkali-kali menggerutu, sudah
hampir sepuluh menit kami berdiam diri dalam kaleng raksasa dengan mandi
keringat tentunya.
Penumpang
yang duduk di depan ku sedang asik membicarakan Bimo ketua OSIS yang wajahnya
mirip Varel Bramasta. Orang yang ada di sebelah kirinya sedang menikmati
sedotan terakhir es jeruk yang sedari tadi diminumnya. Aku hanya duduk diam sambil sesekali
menongolkan kepala keluar jendela demi mencari sehirup oksigen yang Tuhan
ciptakan. Seorang laki-laki dengan bet dan seragam yang sama memasuki angkot
yang aku naiki. Wajah yang selama ini sangat aku kenal. Kedua bola mata yang
belo, alis tebal, hidung runcing dan tentunya bibir tipis yang selalu menghiasi
senyumnya. Porsi wajah yang pas, kalau diibaratkan seperti masakan tentu ia
termasuk masakan lezat. Ternyata wajah charming
seperti magnet bagi para anak perempuan untuk berbondong-bondong masuk rohis.
Mas
Oby ketua rohis di sekolahku. Yang ketika berjalan selalu menundukkan
pandangan, “Assalamualaikum” kalimat
yang sering sekali diucapkan, prestasi yang berkali-kali diraih dan masih banyak
lagi nilai positif dirinya yang malas aku bahas.
“Bang
udah penuh jalan dong.”
“Iye
sabar Neng, baru juga gw mau naik.”
Angkot
membelah jalan. Seketika suasana menjadi sepi hanya derungan mesin yang
terdengar menghiasi telinga. Kenapa semua diam? Ada apa ini, kok tiba-tiba sepi
sekali. setelah Mas Oby masuk, ah memang aku pikirin.
***
Rasanya enak sekali setelah keluar
dari angkot, seperti hidup kembali dengan bebas menghirup oksigen. Tapi
keringat masih mendominasi bahkan aku bisa merasakan butiran air yang berjalan
di atas pungungku. Sudah tak terhitung aku menyeka keringat di kening tapi
produksi keringat dalam tubuh tidak ada habis-habisnya. Seketika aku membuka
jilbab yang dari pagi mengurung rambutku.
Rasanya nikmat sekali saat angin menyapa kulit kepala dan leher. Sambil
terus mengibas-ngibaskan jilbab aku menyusuri jalanan komplek rumah. Seorang
laki-laki yang tadi satu angkot denganku berjalan dengan gagah di depanku, kami
hanya terpisah jarak lima langkah saja. Persis di depan pagar rumah bewarna
putih ia melangkahkan kaki dan memasukinya. Saat ia mengunci kembali pagar
rumahnya kedua mata kami bertemu pandang. Saat itu juga ia mendadak kaget mata
belonya menjadi tambah besar, bibir tipisnya menganga lebar. Lalu dengan sinis
ia melempar pandangan.
“Pleas
deh emang aku sampah apa. Biasa saja kali.” Aku menggerutu pelan sambil terus
berjalan. Rumah aku dan Mas Oby hanya berjarak tiga rumah.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumssaam. Itu jilbab kenapa
dilepas Neng?” Mamah menatapku dengan heran
“Abis panas, gerah tau Mah. Nih
lihat rambut Nia basah seperti orang habis keramas.” Sambil memegang sebagian
rambutku lalu menunjukkan ke Mamah.
“Ia tapi lepasnya di rumah saja,
malu atuh auratnya kelihatan.” Mamah masih terus membombardirku. Panjang deh urusannya.
“Iiih emang siapa yang mau lihat.
Orang sepi kok.” Setelah melepas sepatu aku duduk di samping mamah.
“Iya, tapi kan ada malaikat yang
ngeliatin kamu. Enggak malu sama malaikat?”
“Mulai deh, emang aku anak umur lima tahun apa? Pleas deh Mah aku paham kok harus bagaimana. Mamah malu ya anak Bu
Hajah tapi enggak pakai jilbab?”
“Nah itu salah satunya. Malu anak Bu
Hajah masa pamer aurat. Ibu dan kedua kakaknya berjilbab, masa anak bungsunya
enggak.”
“Mah jilbab tuh panggilan hati,
bukan panggilan tetangga.”
“Kenapa nih kok tengah hari bolong
pada ribut?” Ka Inez dengan jilbab panjang berwarna hijau melangkah masuk lalu
meraih tangan Mamah dan menciumnya.
“Inih Adik kamu, masa buka jilbab di
luar rumah.”
“Ohhh kenapa dibuka jilbabnya Dek?”
“Coba Ka Inez rasakan sendiri, di
balik jilbab panjang apa yang dirasakan?”
“Gerah maksud kamu?” Sambil menatap
kedua mataku.
“Iya.” Kini aku mulai kesal, sambil
memajukan kedua bibirku.
“Kamu tahu enggak kenapa bumi
semakin panas?”
“Iya aku tahu, karena ozon yang ada di bumi sudah semakin
menipis.”
“Pinter Adik ku ini.” Sambil
mencubit pipi tembem ku Ka Inez menggeser duduknya.
“Terus?” Aku mulai meninggika
suaraku.
“Ozon sudah tipis, saat ini kondisi
darurat untuk menutup aurat. Nanti bisa kena kanker kulit loh.”
Sambil
terus mengusap-usap pipiku yang masih sakit, aku enggan menanggapi Ka Inez.
***
Biasanya
selepas bel berbunyi aku langsung hengkang meninggalkan sekolah. Hari ini ada
pertemuan rohis terpaksa aku mampir dahulu ke musholla. Sebenarnya bisa saja
nekat kabur terus naik angkot dan pulang. Tetapi karena setiap anak baru wajib
mengikuti satu ekstrakulikuler kalau
tidak mau ikut nilai ancamannya. Karena alasan itu aku mengiyakan ajakan Umi teman
dekat sedari Sekolah Dasar untuk mengambil eskul yang sama.
Ternyata
musholla sudah dipadati para anggota rohis baru walaupun tidak semuanya
berjilbab, karena rohis terbuka untuk semua siswa-siswi yang beragam islam.
Kami bergegas masuk dan langsung berbaur dengan teman-teman. Oh ya masuknya aku
ke rohis karena kejeblos juga. Umi masuk maka aku mengikutinya, ditambah lagi
peran kedua kakak ku Inez dan Sally. Keduanya aktifis rohis walaupun sudah
sama-sama lulus namun satu minggu sekali Ka Inez dan Sally masih menyempatkan
waktunya untuk mengisi pengajian di sekolah. Nah peran kedua kakak ku yang
akhirnya menyeretku untuk masuk rohis. Ooh Tuhan mengapa dalam hidupku saja aku
tidak dapat menentukan arah? Selalu ada campur tangan pihak kedua yang mengatur
skenario hidupku.
Kalian
harus tahu sudah tiga tahun ini diriku terpenjara dengan hijab. Padahal banyak
sekali baju-baju cute dan unik di mall. Belum lagi itu loh pakaian para
K-Pop yang keren abis, semakin menambah kecantikan mereka. Gimana aku mau punya
pacar, kalau sampai saat ini saja aku terus-terusan memakai jilbab. Kesal.
Hampir seluruh baju yang memadati lemariku isinya pakaian muslimah dan kerudung
warna-warni.
***
Kini aku resmi menjadi anggota rohis
SMA Pertiwi, yang kalau nongkrong di musholla. Menghabiskan jam istirahat
dengan sholat dhuha lalu diskusi
sesama anak rohis. Sepanjang diskusi aku hanya menjadi pendengar pasif, tidak
perduli dengan apa yang mereka bicarakan. Pikiranku berkelana membayangkan oppa
Song Joong Ki yang gantengnya melebihi semua aktor Indonesia. Wajah mulusnya
yang ingin sekaliku pegang, lalu menghayal mendapatkan hadiah bisa bertemu dan
menghabiskan waktu bersama.
Terkadang diskusi kami malah menjadi
ajang curhat untuk sebagin teman. Seperti saat ini, satu persatu mereka
mengeluhkan tentang sulitnya mendapat dukungan keluarga untuk berhijab.
“Kalau
aku butuh perjuangan banget buat pakai jilbab, mamah marah besar. Katanya nanti
sulit cari kerjanya”
“Huffttt
ibu malah mengurangi uang jajan, katanya takut kalau uang yang dia berikan buat
beli jilbab”.
“Teman-teman
yang lebih parah lagi saya, kemarin pas pulang sekolah jilbab besar yang saya
beli dua hari lalu sama bunda disobek-sobek.”
“Alhamdulillah
keluarga ane mendukung, tapi sayangnya ini satu-satunya jilbab yang ane punya.
Maklumlah bapak ane hanya seorang satpam. Kalau mau beli sesuatu harus menyisihkan
uang jajan yang hanya pas-pasan ini.”
Inannalillahi
rata-rata dari semua teman rohis memiliki kendala untuk dapat memakai hijab,
bagaimana denganku yang setiap hari dukung demi dukungan selalu ku dapat. Belum
lagi semangatnya mamah yang setiap pulang pengajian selalu membawa baju atau
jilbab baru untukku. Tetapi dengan ketidak bersyukuranku ini membuatku seperti
orang sombong yang bangga memamerkan auratnya.
Penglihatanku
kabur, satu persatu kutatap sahabat terbaikku dengan nanar. Apa ini hidayah
yang Allah berikan? Inikah rasanya hidayah? Seperti dikupul dengan palu godam.
Sedih karena selama ini selalu melawan Mamah dan kedua kakakku ketika
menyinggung masalah jilbab. Ingin rasanya aku berlari pulang lalu memeluk tubuh
Mamah sambil membisikkan ucapan terima kasih atas dukungannya. Bersimbuh
dikakinya, lalu menghujaninya dengan ciuman.
Sekelibat
potongan demi potongan nasehat Mamah bermunculan dalam pikiranku.
“Jangan
sedih kalau dibilang kuper, yang penting kamu berjilbab.”
“Kata
siapa seperti orang-orangan sawah. Kecantikan wanita adalah saat diri mereka
dapat menjaga auratnya.”
“Mamah
enggak masalah kamu dijauhi teman, yang penting kamu didekati malaikat.”
“Engga
masalah kamu dipanggil anak terkuper di sekolah. Karena kamu penentu Mamah dan Papah
masuk surga.”
Tangisku pun pecah, terisak-isak di depan
sahabat-sahabaku. Mereka yang sedari tadi asik membagi kesedihan langsung
menatap ke arahku dengan heran. Umi yang duduk di samping kananku bertanya sambil
mengusap-usapkan tangan kepunggungku. Teman-temanpun menanyakan hal yang sama,
aku semakin tidak bisa menghentikan tangisan ini. Air mata sudah menganak
sungai membentuk jalannya di atas pipi.
***
Setelah kejadian itu aku semakin
mantab untuk mengenakan hijab. Sekarang jilbabku sudah semakin rapih menutupi
dada. Tidak akan ada lagi kejadian melepas jilbab di gang rumah. Ka Sally
pernah bilang “Sehelai rambut wanita yang dilihat oleh laki-laki bukan
mahramnya dengan sengaja. Balasannya tujuh puluh ribu tahun dalam neraka.
Sehari di akhirat sama dengan seribu tahun di dunia.” Diriku bergidik
membayangkannya. Dulu kalimat tersebut tak berefek untukku tapi kini seperti magic yang mampu menyihirku.
Mamah dan kedua kakakku senang
sekali melihat perubahannku. Terkadang pulang dari mengajar keduanya
membawakanku jilbab, gamis atau sekedar bros cantik. Ini termasuk rezeki dari
Allah yang diharapkan semua muslimah. Tidak lupa aku berbagi dengan teman-teman
yang kesulitan membeli kerudung, baju, rok atau gamis. Akan ada senyum seindah
pelangi yang terukir di wajah mereka.
Sabtu pagi di sekolah adalah waktu
khusus untuk ekskul, hampir semua ruang dan lapangan dipakai. Pagi ini aku
semangat sekali untuk bertemu dengan sahabat-sahabat rohis, dan yang paling
menggembirakan adalah bertemu dan diskusi bareng dengan Ka Dewi ketua keputrian
sekaligus mentor.
“Kemerosotan mental seorang muslimah
adalah saat dirinya dengan pongah berjalan di atas perut bumi sambil
mempertontonkan aurat mereka. Memberikan hidangan kepada mata-mata haram untuk
menikmati aurat kita.”
Dengan
sorotan matanya yang tajam ka Dewi melihat satu persatu lawan bicaranya, kalau
sudah sepert ini kami siap duduk berjam-jam mendengarkan apa yang
disampaikannya.
“Perintah
hijab bukan baru datang di zaman kita, ribuan tahun lalu pakaian takwa sudah
menjadi perintah khusus para isteri nabi untuk menggunakannya. Sebab dengan
menggunakan hijab sebagai tameng bagi muslimah agar tidak diganggung dan
menjadi terhormat setiap saat.
Lanjutnya
dengan tetap semangat membara.
“Itu
bukan perkataan ane. Dalam Al-Qur’an
surat Al-Ahzam ayat 59, tercetak jelas
perintah tersebut.”
“Silahkan
ada yang mau bertanya sebelum ane lanjut.” Ka Dewi mengedarkan pandangannya.
“Ka
kira-kira ada tidak wanita muslimah yang tetap berhijab namun dia tetap
berprestasi?”
“Subhanallah
pertanyaan yang bagus.”
Dona
tersenyum riang mendengar pujian yang dialamatkan padanya.
“Khadijah
binti Khuwaylid, Nusaybah binti Ka’ab, Khawla binti Al-Azwar, Aisyah binti Abu
Bakar, Zainab binti Ali, Rabi’ah Al-Adawiyah, Lubna of Cordoba, Al-Maliki
Al-Hurra Arwa Al Sulayhi binti Ahmad, Shajar Al-Durr dan Zainab binti Ahmad.”
Ka
Dewi menyebutkan satu-persatu nama-nama yang ia ketahui. Membuat kami semua
senang mendengarnya.
“Itu
baru sebagian, kalian bisa menjadi salah satu di antaranya. Ane tunggu sepuluh
tahun kemudian nama kalian yang akan ramai di Indonesia, tentunya karena
prestasi.”
Seketika
ruangan menjadi ramai. Kami sibuk berbisik dengan teman sebelah.
“Berjilbab
bukan penghalang kalangkah kita. Malah kebalikannya dengan berjilbab maka
prestasi akan selalu mendatangi kita.”
Kalimat
inspiratif sebagai penutup diskusi pagi yang sudah beranjak siang. Karena
hidayah bukan di tunggu tapi diraih. Surganya Allah mampu menampung semua
makhluk yang diciptakannya, kini saatnya kita bersaing dalam mengejar surga
Allah. Manfaatkan waktu terbaik dan fasilitas ternikmat yang Allah berikan di
negeri ini. Aku berdoa kepada Allah agar Ia selalu menguatkanku dalam menjaga
hidayah yang sudah diberikanNya.
Tangerang, 8
Oktober 2017
Indahnya Melukis
Hari
Keren
BalasHapusTerima kasih
BalasHapusKINI DEWALOTTO MENYEDIAKAN DEPOSIT VIA PULSA TELKOMSEL / XL
BalasHapusUNTUK KEMUDAHAN TRANSAKSI , ONLINE 24 JAM BOSKU ^-^
WWW.DEWA-LOTTO.NAME
WA : +855 88 876 5575